"𝓛𝓲𝓯𝓮 𝓲𝓼 𝓪 𝓶𝓪𝓽𝓽𝓮𝓻 𝓸𝓯 𝓬𝓱𝓸𝓲𝓬𝓮𝓼, 𝓪𝓷𝓭 𝓮𝓿𝓮𝓻𝔂 𝓬𝓱𝓸𝓲𝓬𝓮 𝔂𝓸𝓾 𝓶𝓪𝓴𝓮 𝓶𝓪𝓴𝓮𝓼 𝔂𝓸𝓾." - 𝓙𝓸𝓱𝓷 𝓒. 𝓜𝓪𝔁𝔀𝓮𝓵𝓵
*.*.*.
Setiap hari, aku mulai belajar bangun lebih awal daripada Keenan. Hal pertama yang aku lakukan tentu saja membuat wajahku sesegar mungkin, mengganti pakaian tidur dengan gaun rumahan yang nyaman tetapi tetap menarik.
Misal pagi ini, aku mengenakan gaun biru selutut dengan dengan tali spageti. Agar tidak begitu terbuka, aku memadukan dengan kaos putih polos berlengan pendek. Tidak ada namanya aku mengenakan daster seperti ibu rumah tangga kebanyakan, Keenan tidak suka. Waktu sebelum hamil, aku masih bisa mengenakan kaos dan celana pendek seperti saat gadis dulu, sekarang tidak lagi.
Setelah sentuhan terakhir, bibir yang kupulasi lipstik soft pink, aku menuju dapur. Dua gelas lemon hangat tekad siap saat Keenan muncul dengan baju kaos tanpa lengan dan celana pendek. Arirpod terpasang di telinganya.
"Selamat pagi, Sayang," sapanya, lalu mengecup keningku lama.
Keenan duduk pada kursi di depan meja yang terhubung langsung dengan dapur. Aku pun menyodorkan segelas lemon hangat yang langsung diangkatnya dan diteguk perlahan hingga tandas.
"Aku olahraga dulu."
Perlakuan manis itulah yang membuatku merasa semangat melalui hari. Meski Keenan sangat ketat dalam berbagai hal, tetapi dia tidak pernah membentak ataupun berkata kasar. Terkadang aku susah untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang kadang aneh bagiku. Senyum dan mulut manisnyalah yang menjaga kewarasanku selama hidup bersamanya.
Hal yang selalu aku katakan kepada diri sendiri adalah bahwa tidak ada manusia sempurna. Aku menyadari ini setelah menikah dengan Keenan. Dia yang dikenal oleh semua orang sebagai sosok tak bercela, juga memiliki kekurangannya sendiri.
Aku menatap punggung Keenan yang makin mengecil, lantas menghilang setelah berbelok ke ruang tengah. Kedua sudut bibirku tertarik ke samping mengingat lagi saat di pesta perayaan ulang tahun Keenan. Keakraban Olivia dan Keenan sempat memanaskan hatiku.
"Tahun ini adalah tahun yang sangat luar biasa. Selain peningkatan profit, istri dan calon anak kami menjadi pelengkap segalanya." Begitu kata Keenan saat naik ke panggung dan mengajakku turut serta. Dia mengecup punggung tanganku dan menatapku seolah-olah hanya ada aku di keramaian itu.
Sarapan kami sejak aku hamil adalah sereal yang terbuat dari beragam biji-bijian dicampur yoghurt dan buah, berupa pisang dan stroberi. Jujur saja, rasanya mau membuatku muntah. Aku merindukan sarapan dengan lontong sayur, bubur ayam, dan nasi goreng. Namun, kata Keenan makanan-makananni itu tidak sehat, terlalu tinggi kalori.
Untunglah aku seorang istri penurut. Lagipula, hidupku nyaman selama menikah. Aku bisa memiliki banyak barang mahal yang dulu hanya bisa kulihat. Menurutku, seimbang dengan apa yang aku relakan, kebebasan dan jiwa mudaku.
Hidupku ikut terjadwal berkat Keenan. Setiap pagi menyiapkan sarapan, mengantar Keenan bekerja. Setelahnya, aku berolahraga dengan bantuan Coach Wenny, instruktur yoga yang disewa khusus oleh Keenan. Kemudian beristirahat dan mandi, berselancar di media sosial, menonton, atau sekadar berbaring.
Saat siang, aku pergi les memasak diantar sopir kantor Keenan. Sepulang dari sana aku memeriksa rumah terlebih dahulu, meminta Riri untuk membereskan jika ada yang tidak sesuai dengan aturan Keenan. Belajar dari masa lalu, agar tidak kehilangan asisten rumah tangga lagi, aku mutuskan untuk sidak terlebih dahulu. Setelahnya, barulah aku berdandan untuk menunggu Keenan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Sempurna
RomanceNindy, seorang remaja yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Keenan, kakak sahabatnya. Saat tiba-tiba dilamar oleh cinta pertamanya, dia langsung menerima. Menganggap dirinya adalah Cinderella yang beruntung menikahi pangeran berkuda putih. ...