Pasangan Hebat

751 77 9
                                    

“𝘑𝘶𝘴𝘵 𝘣𝘦𝘤𝘢𝘶𝘴𝘦 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘰𝘯𝘦 𝘥𝘦𝘴𝘪𝘳𝘦𝘴 𝘺𝘰𝘶, 𝘥𝘰𝘦𝘴 𝘯𝘰𝘵 𝘮𝘦𝘢𝘯 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘩𝘦 𝘷𝘢𝘭𝘶𝘦𝘴 𝘺𝘰𝘶.” — 𝘑𝘶𝘭𝘪𝘢𝘯𝘯𝘦 𝘊𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘦𝘭𝘭𝘢

*.*.*.

"Aku nggak ikut ke rumah Mama. Bilang aja kalau aku ada kerjaan, ya." Begitu kata Keenan bagi tadi, sebelum dia berangkat kerja.

"Ya, Mama juga pasti mengerti kalau kamu sibuk," balasku saat itu.

Hari Sabtu, Keenan hanya ke kantor setengah hari. Namun, dia tetap pulang saat Magrib karena harus ke tempat gym langganannya. Meski rutin lari pagi sebelum berangkat kerja, dia juga tidak pernah bolos membentuk otot di salah satu pusat binaraga. Dia benci jika ada setengah kotak saja yang hilang dari otot perutnya. Aku tidak tahu gunanya apa, padahal siapa yang melihat perutnya selain aku? Aku pun tidak peduli jika memang hanya ada satu bakpao di sana.

Alasan itulah yang membuatku pergi ke rumah Mama bertiga dengan anak-anakku. Aku duduk di kursi kemudi dan anak-anakku di kursi belakang, masing-masing berada di kursi khusus balita dan bayi. Sudah dari tadi Louis menangis dan aku memilih fokus pada jalanan yang padat.

"Ma, sepertinya Louis lapar. Dia menangis terus," kata Sofia.

Aku memilih diam. Ada ketidakpedulian dalam diriku tentang Louis. Dia menangis ataupun tertawa, aku seolah tuli. Ada penolakan setiap kali mendengar atau melihat hal yang berhubungan dengannya. Kadang aku bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa hal itu terjadi? Namun, aku pun tidak mendapat jawabannya. Aku hanya membencinya, seolah-olah segala duka yang ada di hidupku disebabkan olehnya. Meskipun aku juga tahu bahwa dia hanya bayi yang tidak tahu apa-apa.

"Tunggu, ya, Dedek. Sabar," ucap Sofia. Dari kaca mobil aku melihat dia sedang menepuk-nepuk kaki Louis yang bisa diraihnya, tetapi Louis tidak berhenti menangis.

Saat aku tiba di persimpangan lampu merah, aku menoleh ke belakang karena mendnegar Louis terbatuk-batuk. Sofia memegang botol susu dan wajah Lois dipenuhi tetesan susu. Rupanya Sofia mencoba meminumkan susu itu saat Louis menangis, pantas saja jika bayi itu tersedak.

Aku menatap tajak Sofia. "Kenapa Louis diminumin susu, Sofia? Lihat, dia makin menangis, sangat ribut," omelku.

Sofia menunduk, memangku botol adiknya. Tidak ada gunanya aku memarahi anak itu, kalau tidak berteriak, dia akan menangis. Aku sudah pusing karena tangisan Louis. Suara klakson melengking keras dari belakang. Lampu hijau telah menyala, pantas saja pengendara-pengendara tidak sabaran itu terus membunyikan klakson.

Setelah dua puluh menit dari lampu merah itu, aku pun memarkir mobil di depan tembok pagar Mama. Pekarangan rumah Mama tidak luas, hanya muat satu mobil, tidak ada garasi pula. Louis tertidur lima sekitar lima menit yang lalu, mungkin lelah menangis sendiri.

Aku membuka seatbelt Sofia dan menurunkannya dari mobil terlebih dahulu. "Tunggu di sini!" pintaku.

Aku memomong Louis masuk ke rumah Mama dan Sofia yang menurut ikut di sampingku. Di dalam rumah, keluarga kecil Kak Nadia sudah lengkap, begitupun Mama dan Kak Aryes. Ah, ada seorang perempuan yang belum pernah aku temui, sepertinya pacar baru Kak Aryes.

"Keenan mana, Dek?" Kak Nadia bertanya.

"Ada kerjaan, Kak. Ada proyek baru, jadi sibuk banget."

Mama menimpali sinis, "Kerjaan suamimu lancar banget. Sedikit-sedikit proyek baru, tender goal, usaha baru, tapi masa kerjaan buat Aryes tidak ada. Dia itu kakak iparnya, loh."

Aku tidak menjawab perkataan Mama, dan beralih kepada Sofia utnuk memintanya duduk di sofa.

"Aku ada kue dan kado di mobil, tapi nggak sempat ambil karena harus gendong Louis." Aku mengatakan hal itu, berharap Kak Aryes yang bersantai bisa peka dan mengambil barang-barang itu. Namun, kakakku itu tetap anteng di tempatnya dan mengobrol bersama pacar barunya.

Jengah, aku memutuskan meletakkan Louis di sofa tepat di samping Sofia. Aku menitipkan Louis kepada Sofia karena Kak Nadia sudah masuk ke dapur dan suaminya--Kak Ruli--sebelumnya menerima telepon. Untuk Kinara, dia sedang sibuk dengan bonekanya.

Tangisan Louis terdengar lagi saat aku sudah menaiki anak tangga untuk ke teras. Mau tidak mau, aku mempercepat langkah. Louis sudah digendong oleh pacar Kak Aryes sambil mengelus-elus kepala kepalanya.

"Bisa-bisanya kamu ninggalin anak di sofa, Nin!" omel Mama.

Aku melongok mencari-cari Sofia. Anak itu berlari dari dalam dengan memegang boneka yang tadi dipegang Kinara. Mataku membesar kepada Sofia membuat anak itu menggigit bibir bawahnya, mengingatkan kebiasaanku saat takut.

Louis telah berpindah ke gendonganku. Tangisannya mulai reda, meski omelan Mama terus berlanjut. Dia berkata bahwa aku tidak becus mengurus anak, tahunya hanya bersolek. Aku hanya diam, membiarkan Mama berkata apa saja yang diinginkannya.

"Mama," sebut Sofia, memanjat ke sofa tempatku duduk. Dia berbisik ke samping telingaku, "Aku juga mau boneka seperti Kakak Kinara."

Aku mengangguk. "Nanti, kita bilang sama Papa dulu."

Sofia tertawa. Aku merasa terpantul pelan karena Sofia yang melompat-lompat di sampingku.

"Sofia, duduk tenang. Ingat kata Papa, tidak boleh melompat-lompat di sofa."

Gerakan di sofa berhenti. Ketika menoleh ke samping, Sofia telah duduk tenang dengan tangan terlipat di depan perut.

Rangkaian acara makan malam di rumah Mama sudah usai. Kak Aryes keluar dari tadi untuk mengantar pacarnya pulang. Panggilan video dengan Kak Naura yang sedang menikmati ulang tahun pertama pernikahannya baru saja diakhir oleh Kak Nadia.

Sementara Kinara dan Sofia bermain di ruang tengah, aku dan Kak Nadia berada di kamar menidurkan Louis yang dari tadi rewel. Kak Nadia sedang membuka media sosialnya dan menunjukkan foto-foto di akun Keenan. Dia berhenti di foto yang memuat aku dan Keenan yang sedang duduk berhadapan pada salah satu restoran di Prancis, saat liburan tahun lalu. Kami tersenyum dan saling memandang dalam gambar itu.

Hal yang terpancar dari foto itu adalah bahwa kami saling mencintai, seolah-olah dunia hanya milik kami malam itu. Namun, tidak seperti itu adanya. Aku masih ingat bagaimana susahnya saat aku mengulang pengambilan gambar berkali-kali karena Keenan yang tidak puas dengan hasilnya. Saat itu aku sedang mengandung Louis, berat badanku naik sehingga pipiku terlihat chubby. Dan Keenan ingin aku tetap terlihat tirus.

"Awalnya, aku sebenarnya tidak setuju kamu menikah muda, Dek. Tapi, melihat kamu bahagia sekarang, aku senang sekali."

Aku tersenyum. "Iya, Kak. Aku tidak salah pilih, kan?"

Setiap gerakan Kak Nadia tidak pernah lepas dari penglihatanku. Dia meletakkan ponselnya, beralih kepada Louis yang terlelap.

"Aku, tuh, kadang iri sama kamu, Dek. Kamu menikah dengan Keenan yang super baik. Hamil pun tidak butuh waktu lama, bahkan sudah lengkap cewek cowok," ungkap Kak Nadia.

"Alhamdulillah, Kak. Titipan dari Tuhan." Aku berusaha terdengar bijaksana.

Kak Nadia mengelus kepalaku. "Adik kecilku sudah dewasa sekarang," pujinya. "Tapi, selama menikah kamu pernah, nggak, sih, mengomel karena Keenan taruh handuk basah di ranjang atau sepatu Keenan tercecer di lantai?"

Aku menggeleng, mengungkapkan bahwa lima tahun menikah, aku belum pernah mengomel kepada Keenan, begitupun sebaliknya. Aku mengangungkan pernikhanku sebagai pernikahan sempurna yang tidak memiliki masalah apa pun.

Kening Kak Nadia mengernyit. "Kalian tidak pernah beda pendapat, sekali pun?"

"Iya, nggak ada alasan untuk kami bertengkar. Aku penurut dan Keenan juga pengertian."

Mata Kak Nadia menyipit, menatapku lama, lalu berkata, "Aku nggak tahu kalau ada hubungan pernikahan yang seadem itu. Kamu yakin, kalian baik-baik aja?"

*.*.*.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang