Cinta Pertama

2.9K 168 5
                                    

"I was in love, and the feeling was even more wonderful than I ever imagined it could be."

- Nicholas Sparks

*.*.*.
Siang itu, matahari terik seperti hari-hari sebelumnya. Meski sering mengeluh panas, tetapi aku lebih suka seperti ini, daripada hujan berkepanjangan yang membuat sebagian daerah Ibu Kota terendam.

Saat itu hari Minggu, aku beralasan ingin belajar untuk tes masuk universitas di rumah sahabatku, Delfi. Aku sengaja duduk melantai di teras lantai dua rumah besar itu, mengintip dari celah terali kepada lelaki yang sedang berenang di bawah sana. Suara air berkecipak bersamaan dengan tangannya yang berenang gaya dada.

"Masih aja stalking abangku." Delfi yang entah sejak kapan berada di belakangku menarik rambutku pelan.

Aku menampilkan senyum terbaik. "Mau gimana lagi, ganteng, sih."

"Lah, aku cantik jelaslah abangku ganteng juga."

Aku menatap Delfi yang sudah duduk di sampingku dengan sebungkus camilan keripik ubi. Dia cantik, tetapi tidak bisa disandingkan dengan kakaknya.

Lelaki yang sedang berenang itu Keenan Malik Moretti, saudara seibu Delfi. Ayahnya berdarah Timur Tengah dan Italia. Dan menurut Delfi, wajah Keenan adalah fotokopian ayahnya. Kulitnya memang tidak putih, bahkan lebih eksotis dari kebanyakan lelaki yang aku kenal. Namun, itu yang membuatnya makin manis dan memesona.

Mata Keenan tidak begitu besar dan tidak kecil pula, berwarna cokelat bening dibingkai bulu mata lentik dan panjang. Alisnya tebal, hitam seperti rambutnya. Untuk hidung jangan ditanya, tingginya mungkin dua kali lipat dari hidungku. Namun, hal yang paling aku suka adalah bibirnya yang selalu melengkungkan senyum.

"Gila, ya, sudah tiga tahun dan kamu belum move on juga. Bukannya apa, ya, dia itu terlalu tua dan kamu bisa dapat yang lebih baik," gerutu Delfi.

"Kalau aku cari orang yang lebih baik dari Keenan, itu berarti aku akan jadi perawan tua sampai modar," imbuhku.

Ya, apa yang kurang dari seorang Keenan? Dia memiliki fisik yang diimpikan semua lelaki. Usaha yang terus berkembang. Lebih dari segalanya, dia adalah sosok ramah dan penyayang. Pokoknya, dia suamiable.

"Kamu tahu, kan, hatiku seperti BURUNG MERPATI. Sekalinya jatuh cinta, tidak akan berpindah."

Mendengar perkataanku, Delfi langsung mengetok kepalaku dua kali. Tidak peduli aku yang meringis kesakitan sejak ketokan yang pertama.

"Ogah, pokoknya cari lelaki lain. Tunggu Alfian gedean dikit, deh. Nanti boleh kamu pacari."

Aku menarik camilan Delfi dan menyantapnya sambil menatap sebal sahabatku itu. Alfian adalah adiknya yang masih berusia enam tahun.

"Aku bukan pedofil, Dedel!"

"Aku juga gak bilang sekarang, Ninin! Nanti si Alfian bakal gede dan nggak kalah ganteng dari Kak Keenan."

"Masalahnya, kalau Alfian gede akunya udah tante-tante," balasku. "Lagian, aku udah bilang hatiku cuma buat Keenan. Period."

"Bisa kamu saingan sama Kak Olivia?"

Aku menaikkan alis berkali-kali. "Mereka, kan udah putus."

Mata Delfi membesar. "Kok kamu tahu? Aku, kan nggak pernah bilang."

Aku menghempas rambutku ke kanan dan kiri, membuat Delfi protes karena wajahnya terserempet.

"Aku, kan asistennya Sherlock Holmes."

"Parah, kamu kasta bucinmu sudah naik ke Brahmana."

Delfi masih mengoceh tentang kegiatan stalking-ku yang katanya akan membuat orang lain tidak nyaman. Dia juga menambahkan bahwa aku seharusnya ikut belajar, bukan mengintip Keenan berenang.

Aku meletakkan telunjuk di bibir Delfi. "Sshht, kamu mulai bawel kayak mamaku."

Saat berbalik lagi ke kolam tempat Keenan berenang, lelaki itu sudah naik. Seketika aku mengalihkan pandangan. "Ya Tuhan, ciptaan-Mu sungguh sempurna."

"Kak Keenan!" teriak Delfi, membuatku kalang kabut karena Keenan telah menatap ke arah kami.

Meski tegang karena takut ketahuan menguntit, tetap saja aku terenyuh oleh senyum di wajah tampan itu.

"Nindy dari tadi ngintip ...!" Delfi berteriak lagi, tetapi sigap aku membekap mulutnya.

Hilang harga diriku di depan gebetan kalau tahu aku sering mengintip. Aku tersenyum kecil kepada Keenan, lalu menarik adiknya masuk.

"Dedel, apa-apaan, sih. Nanti gagal aku jadi kakak iparmu."

"Sudah, cukup jadi sahabatku aja. Aku bisa gila kalau kamu jadi iparku."

Aku dan Delfi memutuskan masuk ke kamar sahabatku itu. Alih-alih belajar, kami sibuk maraton drama Pacar Halu Delfi, Lee Min Ho. Aku tidak tahu kenapa dia sangat menyukai lelaki Korea itu, padahal kakaknya jauh lebih tampan.

Jarum jam terus berputar, aku keluar ke teras tempatku mengintip tadi.

"Aku lagi main game, jangan telepon terus!" Kalimat keras itu yang aku dapat dari kakakku.

"Kak, jemput, dong. Sopirnya Delfi lagi cuti," pintaku.

"Kamu pergi sendiri. Ya, pulang sendiri, lah," balasnya, terdengar sangat jengkel. "Jangan telepon lagi!"

Sambungan kami pun terputus. Kakak lelakiku itu kalau sudah main game tidak bisa diganggu. Andai saja dia seperti Keenan yang mau saja mengantar-jemput Delfi saat berkunjung ke rumahku.

"Ada apa?"

Aku tersentak mendengar suara berat agak serak itu. Saat menoleh, Keenan berdiri di depanku. Aku langsung menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang mendadak kering.

"I-ini, Kak Aryes nggak bisa jemput."

"Kalau begitu biar aku yang antar. Kebetulan aku mau keluar juga," tawar Keenan, membuat jantungku memberontak.

*.*.*.

Aku sudah sering berada di dalam mobil itu. Akan tetapi, tidak duduk di samping Keenan seperti sekarang. Aku biasanya di jok belakang dan yang duduk di tempatku saat ini adalah Delfi. Meski berbunga-bunga karena bisa berdampingan dengan gebetan, ada gelisah yang terus bertahan di hatiku. Sejak tadi, mulutku mengatup.

"Rencananya mau kuliah jurusan apa?" Keenan memecah hening yang dari tadi memenuhi mobil.

"Ehm ... sebenarnya aku mau Desain Grafis. Tapi, Mama mau aku kuliah hukum, kedokteran, atau bisnis."

"Loh, prospek kerja desain grafis sekarang sangat bagus."

"Aku harap Mama mengatakan hal yang sama," ucapku lemah, terdiam sebentar dan melanjutkan, "Aku jadi malas lanjut kuliah."

"Kenapa tidak pilih opsi lain? Menikah misalnya."

Aku menoleh kepada Keenan yang terkekeh pelan dengan mata yang tertuju di jalanan yang cukup padat. Dia melirik sebentar ke arahku.

"Kalau menikah, kamu bisa saja tinggal di rumah atau kalau beruntung bisa melanjutkan kuliah di jurusan yang kamu mau."

Tatapanku beralih ke kaca mobil di sampingku, memilih menatap mobil merah dan motor yang berusaha mencari celah. Rasa hangat mengaliri pipiku dan aku yakin warnanya sudah serupa kepiting rebus.

*.*.*.

Seperti janjiku, duoble Up 🥰🥰

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang