Perubahan

1.5K 108 17
                                    

"𝘠𝘰𝘶 𝘤𝘢𝘯’𝘵 𝘤𝘩𝘢𝘯𝘨𝘦 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘰𝘯𝘦 𝘸𝘩𝘰 𝘥𝘰𝘦𝘴𝘯’𝘵 𝘴𝘦𝘦 𝘢𝘯 𝘪𝘴𝘴𝘶𝘦 𝘪𝘯 𝘩𝘪𝘴 𝘢𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴." ~𝘖𝘶𝘳𝘔𝘪𝘯𝘥𝘧𝘶𝘭𝘓𝘪𝘧𝘦.𝘤𝘰𝘮

*.*.*.

Ada banyak hal yang sering bermain di kepalaku. Aku duduk dan bersandar di kepala ranjang. Sesekali, memperhatikan Keenan yang terlelap. Dia tampak sangat tenang dengan dengan dada naik-turun secara teratur. Aku dulu berpikir bahwa hidupku akan jauh lebih baik jika menikah dengan Keenan. Segala kesedihan yang aku rasakan di rumah Mama akan terlupakan karena kesenangan yang aku dapatkan dari suamiku. Namun, aku bahkan sudah lupa cara tertawa lepas karena pernikahan ini.

Terngiang perkataan Kak Naura yang tidak ingin aku menikah muda. Dia ingin berdiri dengan kakiku sendiri sebelum menikah. Saat ini, tidak ada yang bisa aku lakukan untuk terbebas dari kekangan Keenan. Aki istrinya dan kami memiliki dua anak yang masih kecil-kecil. Kalau aku nekat berpisah dnegannya, aku akan hidup seperti apa. Aku tidak mungkin pulang ke rumah Mama. Aku juga tidak bisa menghidupi anak-anaku. Atau mungkin saja aku akan benar-benar gila kalau kedua anak itu hanya tinggal bersamaku.

Saat aku memandangi Keenan lagi, dia terlihat mengernyit dengan mata yang makin terpejam erat. Ini bukan pertama kalinya aku melihat dia seperti itu. Entah apa mimpinya, tetapi dia terlihat ketakutan. Namun, aku terkesiap ketika mata Keenan tiba-tiba terbuka lebar. Dia menoleh sedikit, menatap tepat ke mataku.

"Kenapa kamu belum tidur, Sayang?" tanya Keenan, suaranya agak serak.

"Tadi habis ke toilet dan belum bisa tidur," jawabku. "Kenapa bangun? Mimpi buruk atau mau ke toilet?"

Keenan tidak menjawab pertanyaanku. "Ayo tidur! Besok kamu akan mulai yoga, kan?" Dia mengusap lenganku sebentar, kemudian memejamkan mata lagi.

Aku pun beringsut, membaringkan tubuh dan menarik selimut sebatas dada. Aku tidak tahu berapa lama aku terus menghitung domba dalam benakku, sampai akhirnya aku hilang kesadaran dan beralih ke alam mimpi.

*.*.*.

"Aku sudah antar Sofia ke tempat les. Ini lagi mau ke salon," ucapku melalui ponsel, laporan kegiatan kepada Keenan.

"Diantar sopir, 'kan?"

"Iya, sopirnya nongkrong di warkop dekat mal. Nanti tinggal telepon kalau udah kelar."

"Ya udah, aku harus kerja lagi. Sampai ketemu di rumah."

Sambungan telepon kami pun berakhir. Aku menaiki eskalator menuju lantai tiga mal megah itu. Tujuan utamaku adalah salah satu salon yang sudah menjadi langgananku sejak menikah dengan Keenan. Dia yang pertama Ki membawaku ke sana. Katanya, tempat itu bersih dan terjamin kualitasnya. Seingatku, dia tidak pernah mengganti hairstylist-nya.

"Selamat datang," sapa seorang perempuan berambut merah yang ikal.

Seorang lelaki bercelana pendek dan kemeja pink menghampiriku. "Hai, Sis,"sapa Cindy--lelaki kemayu---begitu aku menyebutnya, melambai pelan. "Tumben datang sendiri?"

Aku tersenyum, lalu membalas, "Dia, kan, harus kerja. Bayar salon mahal."

Cindy menutupi mulutnya dan terkikih-kikih. "Benar banget, Sis. Eike kalau punya laki juga harus kerja keras bagai kuda. Biaya bergaya mahal," timpalnya. "Tapi, Sis mau perawatan apa, nih? Pokoknya, eike siap melayani. Kecuali, pijat, ya, Sis."

Aku tertawa, melangkah menuju resepsionis yang di atas meja barnya terdapat beberapa daftar perawatan. Cindy mengikutiku, menyarankan beberapa perawatan rambut.

"Aku mau potong sama warnai aja, deh, Cyn. Aku nggak bisa lama, mau jemput anak dari les."

Aku duduk pada kursi hitam empuk, tepat di depan cermin besar yang memiliki meja putih di bawahnya. Berbagai rangkaian perawatan rambut ada di sana.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang