Arti Bahagia

771 73 12
                                    

“𝘊𝘩𝘪𝘭𝘥𝘳𝘦𝘯 𝘢𝘳𝘦𝘯’𝘵 𝘤𝘰𝘭𝘰𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘰𝘰𝘬𝘴. 𝘠𝘰𝘶 𝘥𝘰𝘯’𝘵 𝘨𝘦𝘵 𝘵𝘰 𝘧𝘪𝘭𝘭 𝘵𝘩𝘦𝘮 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘧𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵𝘦 𝘤𝘰𝘭𝘰𝘳𝘴.”
― 𝘒𝘩𝘢𝘭𝘦𝘥 𝘏𝘰𝘴𝘴𝘦𝘪𝘯𝘪

*.*.*.

Bahagia? Aku tidak mengerti lagi apa perasaan itu. Katanya bahagia seorang ibu adalah tawa anaknya. Katanya bahagia seorang istri adalah peluk suaminya. Namun, aku tidak mendapatkannya dari mereka.

Aku berdiri di balkon, tempat taman kecil berada dan kolam plastik untuk Sofia bermain. Anakku itu merengek selama seminggu demi kolam itu. Lelah mendengar rengekan, aku pun membelikannya. Meski harus menyembunyikan rapat-rapat dari Keenan agar dia tidak marah. Namun, pada akhirnya dia tahu juga. Saat ini, aku disuruh untuk membuang kolam itu.

Kilat berkelebat di awan kelabu disusul guntur yang mempercepat debaran jantungku. Aku mulai menunduk, membuka tutup udara kolam berwarna kuning itu. Perlahan kolam mainan Sofia mengecil, lantas aku lipat begitu udaranya habis.

Rintik hujan mulai turun mengenai pipiku yang menengadah menatap langit. Setelah memasukkan plastik yang terlipat ke dalam kantong hitam, aku berlari masuk.

Sofia berdiri di belakang pintu, menatapku dengan bibir bawah digigit. "Kolamku mau diapakan, Mama?"

Aku tidak menjawab, hanya menatap sejenak dan berlalu. Kudengar langkah kecilnya mengikut di belakangku, juga panggilannya. Dia mengekor bahkan saat aku turun dari tangga.

"Sofia, kenapa turun? Kalau jatuh bagaimana?" omelku, saat di pertengahan tangga.

"Kolamku mau dibawa ke mana?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Sini Mama pegang." Aku meraih satu tangannya. "Diam di situ! Jangan ikuti Mama!" Aku mengacungkan telunjuk ke depan wajah Sofia.

Dia menunduk sambil meremas-remas tangan. Rambutnya yang ikal tidak diikat sehingga menutupi sebagian wajahnya. Aki lantas keluar dan membuang mainan itu di tempat sampah kering dekat pos satpam, menerobos hujan yang mulai menderas.

Aku berbalik untuk kembali ke dalam rumah, tetapi Sofia sudah berlari keluar sambil meraung-raung.

"Kolamku! Kolamku!"

Sofia yang berlari seolah tidak melihatku langsung aku tangkap. Aku menggendongnya, tidak peduli di terus meronta-ronta.

"Kolamnya harus dibuang. Kata Papa, nanti kita buat kolam renang di belakang." Aku menghibur Sofia di sepanjang jalan.

Anak itu tidak mengerti. Dia mulai menarik-narik rambutku, juga memukul-mukul wajahku.

"Kolamku! Kolamku!" jeritnya, terus menjambak dan memukul.

Sesampainya di dalam, aku langsung menurunkan Sofia. Namun, dia masih menangis tidak keruan. Tangannya bergoyang ingin memukul. Sebal, aku langsung menunduk dan mencubit betisnya.

"Mama bilang diam, ya, diam." Aku mencubit lagi.

Bukannya diam, Sofia makin menangis. Dia menjatuhkan badan di lantai dan meronta sejadi-jadinya. Riri yang tadi setahuku ada di dapur mendatangi kami. Dia mengangkat Sofia ke gendongannya, mengelus punggung anakku itu.

"Tidak usah dibujuk, Ri. Anak nakal memang harus dicubit."

Riri hanya menatapku sejenak sebelum melenggang sambil mengucap kata penghiburan kepada Sofia. Sementara aku langsung menjatuhkan tubuh di sofa, menutupi wajah dengan kedua tangan. Air mataku menetes menimbulkan sesak yang tiba-tiba menyergap. Isakan demi isakan bersahutan lolos dari bibirku. Sakit sekali, tetapi aku tidak tahu penyebabnya. Aku capek, dan aku ingin pergi jauh dari tempat ini.

Baru saja suara tangis Sofia berhenti, dia digantikan oleh Louis. Bersama air mata yang terus menetes, aku menaiki tangga dan masuk ke kamar bayi. Saat menggendong Louis, kami menangis bersama dengan kesedihan yang berbeda.

Aku yakin Louis menangis hanya karena lapar, diberi susu akan diam. Aku? Aku sendiri bingung dengan kesedihanku. Satu sisi aku ingin menerima segalanya dan berbahagia dengan apa yang aku miliki, tetapi ada sisi yang mendorongku untuk terus menjauh, membisik agar aku pergi dari tempat yang serupa surga dan nyatanya neraka.

Waktu berlalu lambat hari itu. Aku hanya berada di lantai atas, tidak nafsu makan. Sofia masih di bawah, mungkin bermain dengan Riri. Louis aku biarkan di atas karpet dan kuberi banyak mainan di sampingnya. Dia bergerak-gerak, menendang-nendang sambil berceloteh sendiri.

Matahari mulai menjauh dan bersiap untuk ke sisi lain bumi. Aku meletakkan Louis ke dalam boks setelah tertidur di atas karpet. Keenan yang sebentar lagi tiba membuatku cepat turun.

Sofia sedang bermain di ruang tengah dengan buku dan pensil warna. Dia mencorat-coret tidak jelas dan di sampingnya ada Lego bertebaran. Aku mengabaikannya, langsung ke ruang tamu. Satu per satu barang aku pindai seksama, memastikan bahwa tidak ada salah letak atau kemiringan sedikit pun.

Selesai di ruang tamu, aku ke ruang tengah dan membiarkan Riri yang memeriksa dapur dan meja makan.

"Sofia, Papa sebentar lagi pulang. Beresin mainannya!" perintahku, tetapi Sofia bergeming. "Sofia, cepat bereskan mainannya atau mau Mama buang lagi!" ancamku, membuat anak itu mendongak ke arahku dengan tatapan marah.

"Kamu berani menatap Mama seperti itu?! Mau Mama cubit lagi?!"

Sofia sontak menunduk, melanjutkan pekerjaannya tadi. Dia mengacuhkan perintahku. Kini terkesan tidak menganggap aku ada di sini.

"Dasar anak nakal!" umpatku, menarik pewarna hijau dari tangan Sofia. Namun, dia mengambil pewarna lain. Begitu terus sampai semua pewarna ada di genggamanku.

"Mama jahat!" rutuknya, membuatku makin jengkel.

Suara mobil terdengar, aku menoleh ke belakang. Lalu, aku cepat-cepat memunguti mainan Sofia. Keenan pasti akan berpikir kalau aku tidak bisa mengurus Sofia jika melihat mainannya berserakan.

Saat suara pintu terbuka terdengar, Sofia menghilang dari hadapanku. Anak itu berlari menyambut Keenan. Aku mengejarnya setelah perkejaanku usai. Dan Sofia sudah memeluk betis Keenan begitu aku keluar.

"Papa," ucap Sofia, suaranya serak.

"Kenapa menangis, Sayang?"

*Mama ... Mama tadi cubit Sofia," adu Sofia, lalu terisak-isak.

Keenan menatap Sofia, mengusap puncak kepala anak itu. Setelahnya mengalihkan pandangan kepadaku.

"Sini, Sayang!" panggil Keenan, dan aku turuti. "Kenapa kamu cubit Sofia?"

"Itu karena dia bakal dan menghambur mainannya." Aku berbohong, tidak berniat menceritakan kejadian kolam tadi.

"Apa pun alasannya, kamu nggak seharusnya mencubit Sofia," tegas Keenan. "Kalau dia mengaburkan mainan, tugas kamu membereskan. Lagian, aku sudah sering bilang nggak boleh ada mainan nggak penting di rumah ini."

"Maaf, tadi aku salah," ucapku, tidak ingin berlarut-larut karena pada akhirnya, kesalahan ada padaku.

"Kamu nggak ada salah sama aku. Minta maafnya sama Sofia."

Aku jongkok di depan Keenan, tepatnya di depan Sofia yang sedang menatapku takut. Aku mengusap pipinya dan berkata, "Maafin Mama, ya, Sayang. Mama tadi salah."

Sofia mengangguk, lalu memelukku.

"Aku sayang Mama," ucapnya.

"Mama juga sayang sama Sofia," balasku.

Setelah aku dan Sofia berbaikan, Keenan meninggalkan kami dan naik ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Aku pun mengubah tatapan penuh kasihku kepada Sofia menjadi mata memicing dan bibir tanpa senyum.

"Kenapa kamu mengadu sama Papa?" semburku.

Sofia terdiam, mungkin heran dengan perubahan sikapku dalam sekejap.

"Sekali lagi kamu mengadu sama Papa, Mama akan berhenti jadi mama kamu," ancamku, lantas berlalu dari hadapan Sofia bersama amarah yang bergemuruh di dada.

*.*.*.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang