Hubungan

855 80 6
                                    


"𝙴𝚟𝚎𝚛𝚢𝚘𝚗𝚎'𝚜 𝚖𝚊𝚛𝚛𝚒𝚊𝚐𝚎 𝚒𝚜 𝚍𝚒𝚏𝚏𝚎𝚛𝚎𝚗𝚝. 𝙱𝚞𝚝 𝚎𝚟𝚎𝚛𝚢𝚘𝚗𝚎'𝚜 𝚖𝚊𝚛𝚛𝚒𝚊𝚐𝚎 𝚒𝚜 𝚊 𝚌𝚘𝚖𝚙𝚛𝚘𝚖𝚒𝚜𝚎." - 𝙰𝚛𝚒𝚎𝚕 𝙻𝚎𝚟𝚢

*.*.*.

Terkantuk-kantuk, aku menggendong Sofia sampai pulas dan meletakkannya di kotak bayi. Aku baru saja pulang menemani Keenan menonton pertunjukan musik klasik. Utungnya, Sofia cukup dekat dengan Riri, sehingga dia aku tinggal di rumah tidak apa-apa. Namun, satu hal yang susah dan membuatku tidak bisa pergi lama, Sofia tidak tahu minum susu dari dot. Maunya hanya dariku secara langsung, mungkin karena teksturnya berbeda.

Selama aku tinggal, dia hanya makan buah dan makanan pendamping ASI karena usianya sudah tujuh bulan. Kantuk yang tertahan sejak di gedung Simfonia tadi membuat kepalaku pening. Bayangkan, aku duduk di bangku paling depan, menatap komposer yang jarinya lincah bergoyang-goyang di udara. Pemain alat musil seperti, piaono, biola, dan cello lincah menekan dan menggesek alat musik mereka, menghasilkan simfoni yang dinikmati pendengarnya, kecuali aku.

Aku lebih memilih mendengar suara orkes dangdut dan nyanyian biduan daripada musik mendayu-dayu yang jujur saja aku tidak tahu letak menghiburnya di mana. Mungkin untuk pengantar tidur memang bagus karena kepalaku terantuk-antuk berkat permainan musik itu. Kalau tidak mengingat Keenan yang tidak akan suka kalau aku tertidur di sana, aku akan pulas. Aku menghargai kegemaran orang dengan musik klasik, tetapi referensi musikku berbeda.

"Yang tadi bagus, kan? Mereka itu grup orkestra nomor satu di Indonsia. Sudah tampil Tokyo Opera Consert Hall, bahkan beberapa negara Eropa," jelas Keenan saat aku kembali ke kamar.

Aku tresenyum dan melebarkan mata, berusaha agar bisa tampak terkesima. "Hebat sekali."

"Kalau Sofia sudah agak besaran, kita bisa ke Tokyo langsung untuk menikmati opera dan orkestra. Kamu pasti suka," tambah Keenan.

Aku mengangguk, terus berpura-pura. "Iya, boleh. Baru pertama kali dengar, aku langsung suka."

"Aku suka musik kedua, itu karya Tchaikovsky, musik pengiring balet The Nutcracker. Nanti kamu juga harus menonton balet. Aku akan minta Asha untuk mengatur waktu, jadi tahun depan bisa ke Saint Petersburg langsung."

Senyumku makin mengembang, lalu melingkarkan tangan ke lengan Keenan. Tentu saja ku sennag diajak ke luar negeri, apalagi Rusia. Siapa tahu aku bisa main salju di sana. Namun, ada dongkol karena harus menikmati apa yang tidak aku sukai.

*.*.*.

"Sayang, ini apa?" Keenan yang baru saja keluar dari kamar mandi memperlihatkan bebek karet yang dipegangnya.

Seharusnya Keenan tidak bertanya lagi. Sudah jelas kalau itu mainan bebek Sofia. Namun, bukan itu maksud Keenan yang sebenarnya. Pertanyaan sesungguhnya adalah kenapa benda itu ada di kamar mandi.

"Tadi aku mandi sama Sofia. Kalau mandi, dia suka ada bebek-bebek."

"Kalau begitu seharusnya kamu kembalikan mainan ke tempatnya," kata Keenan, mendekat padaku dan menyodorkan bebek itu. "Belajar lebih rapi lagi, ya, Sayang."

Setelah Keenan masuk ke ruang sebelah untuk berganti pakaian, aku membawa bebek karet tadi ke kamar Sofia. Riri sedang bermain dengan bayiku sehingga banyak mainan yang bertebaran di sana. Satu-satunya tempat yang berantakan di rumah ini adalah kamar Sofia. Keenan tidak suka masuk ke sana. Pernah sekali dia datang dan katanya kepalanya au pecah melihat barant-barang yang bentuknya tidak beraturan dan warnanya pun campur-campur tidak jelas.

"Ma, ma, ma," celoteh Sofia, kedua tangannya terangkat terarah kepadaku.

"Tahu aja Mama datang," ucapku, langsung duduk di samping Sofia yang sudah digantikan baju oleh Riri.

Bayiku itu mengenakan gaun yang bagian bawahnya mengembang merah muda, sedangkan bagian atasnya putih terbuat dari katun. Bandana putih dengan motif hello kitty. Rambutnya hitam agak bergelombang masih sepanjang telinga dan tidak begitu tebal. Dia ceria, selalu tersenyum. Saat senyum ia makin lucu, hidunganya mengerut dan dua gigi bagian atasnya tampak.

Aku dan Keenan akan ke rumah Mama Dewi karena Papa Fariz sedang ulang tahun. Kami akan makan merayakan ulang tahun Papa kecil-kecilan, hanya makan malam sederhana khusus keluarga.

"Ri, kami mungkin pulangnya agak malaman. Nanti biar kamu tidur duluan tidak apa-apa. Tapi, jangan lupa kopinya Pak Bagus."

Pak Bagus adalah salah satu satpam yang bertugas untuk menjaga di pos depan. Ada total tiga satpam yang dipekerjakan Keenan. Namun, kesemuanya hanya boleh berada di pos, dan paling jauh di teras. Untuk kopi dan makan, Riri yang bertugas untuk membawa untuk mereka.

Setelah perjalanan selama sejam, kami sampai di rumah Mama Dewi. Di sana sudah ada Ardian, pacar Delfi, dan juga orang-orang yang memang tinggal di rumah itu. Keenan lansung memberi ucapan ulang tahun kepada ayah tirinya itu, memeluk sejenak sebelum menyodorkan kotak hadiah yang langsung dibuka.

"Masa langsung dibuka, Pa. Aku jadi tidak enak," ucap Keenan.

Papa hanya tersenyum simpul, melanjutkan kegiatan buka kadonya. Sementara Sofia yang kugendong bergoyang-goyang dan teratawa mebuatku langsungmencium pipinya.

"Astaga, jam ini terlalu mahal," ucap Papa, menatap kotak hitam dengan tulisan salah satu jama tangan asal Swiss.

Keenan megangguk. "Mana mungkin ada yang mahal buat Papa."

Acara makan malam itu lancar, meski aku masih lapar. Tadi ada banyak makanan, tetapi Keenan yang mengisi piringku, bahkan sesekali menyuapi. Katanya karena aku sibuk menggendong Sofia. Namun, dia benar-benar hanya mengambil porsi sedikit dan didominasi sayuran. Aku tahu kenapa dia tiba-tiba perhatian sampai menyuapiku, pasti agar aku tidak makan kebanyakan. Biar tubuhku tidak gendutan.

"Sekarang kamu makan sayuran?" tanya Delfi saat kami sudah duduk berdua di sofa tengah. "Gado-gado saja kamu bilang makanan kambing."

"Aku coba karena Keenan. Tapi, ternyata enak juga dan keterusan sampai sekarang."

Delfi mengangguk. "Iya juga, sih. Namanya juga pasangan, pasti saling ada pengaruh. Ardian sejak pacaran sama aku mulai nonton drakor. Kau juga mulai suka nonton anime. Jadi, kloplah." Dia menjelaskan, sesekali senyam-senyum. "Jangan-jangan di perpustakaan Keenan sudah banyak komik, ya?"

Aku memilih tersenyum sebagai respons. Rumah kami adalah rumah Keenan dan semua kebiasaan yang teradopsi dalam rumah tangga kami adalah kebiasaan Keenan. Satu al yang menjelaskan abhwa aku ada di sana adalah kehadiranku.

"Tapi, sebenarnya aku baru baikan sama Ardian kemarin."

"Loh, kenapa?"

"Dia nyebelin. Masa dia bilang kalau Kang Ha Neul lebih genteng daripada Lee Min Ho."

Aku terkekeh mendengar alasan mereka bertikai. Hal kecil seperti itu masa sampai-sampai memengaruhi hubungan.

"Sebagai orang yang sudah menikah, aku akan memberi saran ke kamu. Hubunga itu kompromi, kamu harus menghargai pendapat pasangan, dong."

"Memangnya Keenan menghargai pendapat kamu?"

Aku menatap Delfi dengan mata yang agak melebar. Pandangan kami bertemu sejenak, sebelum aku menoleh ke arah lain.

"Tentu saja," jawabku, berusaha terdengar ceria.

"Tapi, aneh rasanya saat dia bilag tadi kalau kamu menyukai brokoli. Padahal, kamu snagat anti dengan brokoli."

"Itu namanya kompromi."

Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di kepalaku. Setahun lebih menikah, apa pernah Keenan mendengar keinginanku? Tidak. Selama ini, hanya aku yang mendengar pintanya, layaknya seorang istri yang teramat berbakti. Aku berkompromi banyak hal, tetapi tidak dengan Keenan. Namun, sekali lagi, inilah kompromiku.

*.*.*

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang