"𝘐 𝘸𝘪𝘴𝘩 𝘦𝘷𝘦𝘳𝘺 𝘥𝘢𝘺 𝘤𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘣𝘦 𝘏𝘢𝘭𝘭𝘰𝘸𝘦𝘦𝘯. 𝘞𝘦 𝘤𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘢𝘭𝘭 𝘸𝘦𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘴𝘬𝘴 𝘢𝘭𝘭 𝘵𝘩𝘦 𝘵𝘪𝘮𝘦. 𝘛𝘩𝘦𝘯 𝘸𝘦 𝘤𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘸𝘢𝘭𝘬 𝘢𝘳𝘰𝘶𝘯𝘥 𝘢𝘯𝘥 𝘨𝘦𝘵 𝘵𝘰 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘦𝘢𝘤𝘩 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳 𝘣𝘦𝘧𝘰𝘳𝘦 𝘸𝘦 𝘨𝘰𝘵 𝘵𝘰 𝘴𝘦𝘦 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘸𝘦 𝘭𝘰𝘰𝘬𝘦𝘥 𝘭𝘪𝘬𝘦 𝘶𝘯𝘥𝘦𝘳 𝘵𝘩𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘬𝘴."
― 𝘙.𝘑. 𝘗𝘢𝘭𝘢𝘤𝘪𝘰*.*.*.
Keenan duduk di sofa dengan buku di tangan. Dia mendongak begitu aku ada di sampingnya. Tidak ada senyum di wajahnya, sukar untuk mengatakan dia marah karena rautnya datar-datar saja. Namun, aku mengenalnya. Saat diam begitu, artinya dia sedang menahan emosi.
"A--aku," ucapku gugup.
"Duduk dulu, Sayang. Kamu pasti capek." Keenan menepuk bagian sofa di sampingnya.
Jantungku serasa akan melompat menembus rusuk. Harusnya Keenan pulang jam sembilan malam dan sekarang baru jam delapan. Betisku yang lemas terangkat bersama kakiku menuju tempat yang diminta oleh Keenan. Saat duduk di sana, Keenan meraih bukunya dan melanjutukan bacaannya. Sekitar beberapa menit membaca, dia meletakkan bukunya.
"Kamu sepertinya nggak peduli lagi sama keluarga," tuduh Keenan, suaranya terdengar santai. Namun, dia sangat pandai memilih kata yang bisa mengiris hatiku. "Aku baru tahu kalau begini kelakuan kamu di belakangku."
Mendengar tuduhan dari Keenan membuat air mataku menetes. Kedua tanganku di atas paha saling meremas, hingga rasa sakitnya terasa karena kuku-ku yang panjang-panjang. Aku memilih diam, tertunduk seperti orang bodoh, tidak tahu cara membela diri sendiri.
"Kamu bukan anak kecil lagi, Sayang. Bagaimana bisa kamu tanpa tanggung jawab sama sekali nitipin Louis ke Riri? Dan Sofia, dia harusnya les balet hari ini. Hanya karena ingin makan-makan nggak penting kami korbanin anak sendiri."
Korbankan anak? Aku setiap hari berada di rumah, mengurus anak-anak kami. Aku berjaga tiap malam untuk mengganti popok dan menyusui, bahkan menemani Sofia dan Louis bermain, tidak peduli kantuk dan capek. Baru sekali aku keluar untuk melepas penat, Keenan menuduhku dengan banyak hal yang sama sekali tidak aku lakukan.
Aku menoleh ke arah Keenan yang juga sedang menatapku. Aku terpaku sejenak pada mata cokelat bening yang dulu menjadi sumber keteduhan untuk segala gundahku. Bagaimana bisa aku diperdayai oleh tatapan dan senyuman? Aku begitu buta sampai berpikir sederhana bahwa pemilik mata itu adalah muara dari bahagia. Harusnya aku tahu bahwa tidak selamanya yang bercahaya itu indah.
"Aku cuma keluar sebentar. Anak-anak juga baik-baik aja." Aku berusaha membela diri, menekan kesedihan dan amarah yang bercampur aduk di hati.
Kening Keenan mengerut. "Sebentar? Aku sudah menunggu dari dua jam yang lalu," katanya. "Dan anak-anak nggak baik-baik saja. Sofia tadi jatuh di taman dan Louis baru saja tidur setelah menangis lama."
"Aku nggak tahu kalau ...," ucapku, berhenti sejenak, "aku cuma mau refreshing sebentar. Aku tidak bermaksud menelantarkan anak-anak kalau itu yang kamu pikirkan."
Keenan menggeleng-geleng pelan. "Refreshing? Kita bisa pergi liburan kalau itu mau kamu."
Aku mengalohkan pandangan dari Keenan, menunduk sambil terisak. "Kamu nggak ngerti. Aku capek. Aku cuma butuh beberapa jam saja untuk sendiri. Aku mau sehari saja hidup tanpa kamu atau anak-anak!" Suaraku mengeras, nyaris berteriak di kalimat terakhir.
Aku mendengar Keenan berdesis dan meminta agar aku mengecilkan suara, tetapi tidak aku turuti. Dia tidak tahu betapa aku muak dengan segala kelakuannya. Aku justru terus menambahkan kalimat dengan suara yang makin keras. "Kamu nggak tahu gimana susahnya mengurus dua anak. Setiap hari kamu sibuk bekerja sampai-sampai nggak sempat bertanya kabarku bagaimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Sempurna
RomanceNindy, seorang remaja yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Keenan, kakak sahabatnya. Saat tiba-tiba dilamar oleh cinta pertamanya, dia langsung menerima. Menganggap dirinya adalah Cinderella yang beruntung menikahi pangeran berkuda putih. ...