Pilihan

1.4K 122 9
                                    

“Life has no remote, get up and change it yourself.” – Mark A Cooper

*.*.*.

Aku duduk di bangku cokelat sambil memegang gelas dingin berisi red velvet latte yang tersisa setengah. Coffe Shop ini ada di Kemang dengan gaya modern kontemporer.  Suasananya cukup ramai oleh pengunjung. Ada yang datang berdua dan ada yang berombongan seperti empat perempuan yang dari tadi heboh berbincang pada meja di sampingku. Karena suara keras mereka, aku jadi tahu kalau mereka sedang bercerita tentang salah seorang teman mereka yang kebetulan tidak datang. Bukan sejenis cerita yang baik.

Keenan sedang duduk di meja sudut, menjauh dari keramaian utnuk menerima telepon yang katanya dari kantor. Dari yang aku dengar dari Delfi, Keenan memiliki banyak bisnis. Properti adlaah salah satunya dan yang palin baru dan terkenal adalah sebagai founder salah satu aplikasi Online Shopping. Dia bahkan masuk sebagai 30 under 30 versi majalah forbes Indonesia. Aku tidak tahu tentang majalla itu, Delfi yang mengatakannya kepadaku sambil memperlihatkan artikel yang memuatnya.

Rasanya aku seperti orang asing di tempat ini. Tidak memiliki teman dan hanya duduk seperti orang bodoh. Aku tidak tahu kenapa Keenan mengajakku ke tempat ini. Dia berkata ingin membicarakan sesuatu, tetapi dari tadi dia terkesan ahany berbasa-basi. Sesekali menanyakan perkembangan untuk pendaftaran kuliahku atau bertanya bagaimana keadaan Kinara. Aku jadi heran sendiri, untuk apa dia mengajak ke tempat ini kalau ingin mengtahui kabarku dan keluargaku. Melalui chat saja bisa.

"Maaf," ucap Keenan setelah duduk lagi di tempatnya, tepat di depanku.

"Nggak apa-apa, kok."

Keenan menyentcangkir putih di meja, mengerutkan kening. Setelahnya, dia mengangkat satu tangan sebagai kode agar pegawai di tempat itu menghampiri. Dia memesan minuman yang sama seperti sebelumnya, espresso double shot. Padahal, cangkir pertama belum tersentuh karena minuman itu datang saat dia baru saja menerima telepon.

"Sudah dingin, aku tidak suka," katanya.

Sebagai respons, aku hanya menganggu pelan sambil tersenyum kecil. Aku mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan yang ada di dalamnya. Tidak berani menatap Keenan yang sepertinya sedang mengamatiku. Aku, kan mati kutu jadinya.

"Masalah opsi Minggu lalu, apa kamu nggak mempertimbangkan menikah?"

Aku yang saat itu sedang menyedot minuman, langsung terbatuk-batuk. Sebagian minumanku muncrat keluar. Untungnya aku sempat menutup mulut dengan tangan. Kalau sampai mengenai wajah Keenan, bisa-bisa aku tidak akan berani muncul di hadapannya.

"Pelan-pelan." Dia menyodorkan tisu yang ada di meja kepadaku.

"Terima kasih," ucapku setelah menyeka mulut.

Pegawai lelaki berseragam krem tadi membawa secangkir espresso baru untuk Keenan, meletakkan cangkir putih itu di meja sesuai instruksi. Senyum ramah Keenan diberikan kepada pegawai coffe shop itu, membuatku tidak bisa berpaling dari wajahnya. Terkadang aku berpikir Tuhan tidak adil menciptakan Keenan dengan segala yang dimilikinya. Orang bilsang tidak ada manusia sempurna, tetapi di mataku Keenan tidak bercelah.

Mulutku sedikit terbuka saat melihat Keenan mengangkat cangkir dan meneguk cairan hitam pekat di dalamnya. Otak kotorku jadi berpikir bagaiman rasanya menjadi cangkir itu. Aku segera menunduk setelah Keenan meletakkan cangkir dan mengarahkan pandangan ke arahku.

"Maaf, kalau ini tiba-tiba. Tapi, mungkin kamu mau mempertimbangkan untuk menikah denganku," ucap Keenan, masih dengan wajah penuh senyum memesona.

Udara di sekitarku seakan-akan menghilang dan sesak terus tertahan di dadaku. Dunia seperti berhenti berputar dan menyisakan aku dan Keenan di tempat ini. Dan semua yang aku tahu menghilang. Di dalam kepalaku hanya kekosongan, tidak mampu menafsirkan maksud perkataan Keenan.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang