Diriku

783 85 11
                                    

“𝘛𝘩𝘦 𝘮𝘰𝘴𝘵 𝘱𝘢𝘪𝘯𝘧𝘶𝘭 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘴 𝘭𝘰𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘺𝘰𝘶𝘳𝘴𝘦𝘭𝘧 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘳𝘰𝘤𝘦𝘴𝘴 𝘰𝘧 𝘭𝘰𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘰𝘯𝘦 𝘵𝘰𝘰 𝘮𝘶𝘤𝘩, 𝘢𝘯𝘥 𝘧𝘰𝘳𝘨𝘦𝘵𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘢𝘳𝘦 𝘴𝘱𝘦𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘵𝘰𝘰.”- 𝘌𝘳𝘯𝘦𝘴𝘵 𝘏𝘦𝘮𝘪𝘯𝘨𝘸𝘢𝘺

*.*.*.

Perempuan di depanku itu mengenakan gaun floral selutut, berlengan pendek. Gincu merah terpulas di bibirnya. Pipi yang dulu amat tirus, tampak sedikit berisi. Aku merasa dia makin cantik berkat perawatan wajah yang tidak pernah dia bayangkan bisa digunakannya. Aku mengenalnya, tetapi juga tidak mengenalnya. Meski ada yang berubah, aku pikir dia masih cantik. Hanya saja, ada hal yang hilang darinya.

Aku menatap lagi pantulanku itu. Sebagian dari diriku terus bertanya, apakah benar perempuan itu adalah diriku? Entah ke mana perginya perempuan yang dulu sangat kukenal? Seseorang yang aku kenal adalah gadis riang ketika remaja.

Jika kisah Cinderella dan Pangeran yang menikah tidak berakhir dengan kalimat, "Mereka bahagia selama-lamanya." Apakah Cinderella juga mengalami apa yang kurasakan saat ini?

Aku terlalu naif sehingga percaya kepada bualan dalam dongeng. Tidak ada yang namanya bahagia untuk selama-lamanya. Aku menikah dengan Keenan, melalui banyak hal yang tidak akan perah berani aku impikan. Aku mendapatkan banyak hal, tetapi kehilangan diriku dalam prosesnya.

"Sejak menikah kamu makin dewasa, ya." Begitu komentar yang sering aku dapat, baik dari teman atau keluarga. Mama bahkan berkata kalau Keenan berhasil mendidikku menjadi istri penurut dan baik.

Sampai sekarang, aku tidak tahu hal itu pujian yang harus aku banggakan atau justru tangisi? Orang-orang hanya melihat dari apa yang ditangkap oleh matanya. Tidak pernah sekali pun mencoba untuk melihat jauh di dalam hatiku. Mereka tidak mendengar betapa lelahnya aku dengan kehidupan yang kini aku jalani.

"Sayang."

Panggilan itu membuatku menoleh seketika, mengulas senyum terindah yang aku miliki, berpaling dari wanita yang tidak lagi kukenali. Keenan sudah siap dengan jas kantornya. Rapi seperti biasa. Rambutnya mengilap disisir ke samping, model yang tidak pernah berubah meski usia pernikahan kami telah lima tahun lamanya.

"Setelah Sofia pulang sekolah, langsung antar les balet. Dia sudah sembuh, kan?"

Aku mendekat kepada Keenan, mengusap pelan jasnya di bagian dada. "Iya, jadwal les pianonya juga sudah aku pindahkan besok sore."

Aku dan Keenan keluar dari kamar bersama. Saat turun ke bawah, Sofia yang rambutnya dikuncir kuda telah duduk di sofa mengenakan seragam putih biru kotak-kotak, dengan tas di pungungnya. Anak sulungku itu sebentar lagi empat tahun, Sejak usia tiga tahun, dia mulai sekolah di playgroup dan mengikuti beragam les sesuai arahan Keenan.

"Sofia," panggil Keenan.

Sofia menoleh ke arahku dan Keenan. Dia turun dari sofa, berjalan pelan ke arah kami.

"Ayo kita berangkat," ajak Keenan, meraih satu jemari mungil Sofia.

Aku mengantar mereka sampai teras. Setelah mendapatkan kecupan di kening oleh Keenan, aku berjongkok, mengakup kedua pipi Sofia dan menyampaikan wejangan yang sama setiap harinya, agar dia belajar dengan baik.

"Mama, aku berangkat dulu," pamit Sofia, melambai kepadaku sebelum naik ke mobil Keenan.

Aku berdiri lama di teras, bahkan saat mobil Keenan telah menghilang di balik pagar.  Inilah kehidupan yang dulu aku impikan. Setiap hari aku akan mengantar anak dan suamiku keluar rumah, mendapat kecupan dari suami dan lambaian dari anak. Setelah mendaptkan segalanya, harusnya aku bahagia. Namun, di dalam sini ada kehampaan yang tidak bisa diisi bahkan dengan tawa anak-anakku, juga senyum suamiku yang dulu sangat aku kagumi. Perasaanku kepada Keenan, serupa bangkai di hatiku.

Saat aku masuk kembali, Riri masih sibuk dengan peekrjaannya. Bertahun-tahun, dia tahan di rumah ini. Tahun lalu, dia sempat ingin mengundurkan diri. Aku menahannya karena sangat jarang orang yang tahan bekerja di rumah ini, entah karena Keenan yang tidak suka atau mungkin saja mereka sendiri yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan Keenan.

"Bu, Loius sepertinya menangis," ucap Riri, mengentikan pengisap debunya dan tampak menatap ke lantai atas letak kamar Louis.

Aku hanya tersenyum, lantas melenggang ke dapur untuk memeriksa persediaan bahan makanan di kulkas, begitupun di laci-laci dapur. Keenan ingin makan ayam parmigiana, salah satu sajian yang terkenal di Italia. Ada beberapa bahan yang kosong.

Riri mendatangiku di dapur. "Bu, Lois terus menangis."

"Aku tahu, Ri. Biarkan saja dulu, nanti capek sendiri. Setelah ini, baru aku naik."

"Kalau begitu aku yang naik ke atas, Bu."

Aku menoleh kepada Riri. "Kerjakan saja kerjaanmu! Louis adalah urusanku."

Riri akhirnya pergi. Aku mendnegar alat pengisap debu berfungsi kembali yang berarti Riri melanjutkan pekerjaanya. Aku pun turut melanjutkan kegiatanku, mencatat barang-barang yang kurang agar bisa beli sekalian.

Suara Louis masih terdengar saat aku menyelesaikan semua catatan dan meletakkannya di atas meja makan. Aku sempat menatap Riri yang juga sedang mentapku, tapi dia langsung buang wajah. Dia memang sering bertingkah aneh akhir-akhir ini, seeprti mengamatiku diam-diam. Tidak mau ambil pusing dengan Riri, langkahku teru berlanjut dengan menaiki anak tangga dan berarah ke kamar Loius.

Bayiku yang lahir tiga bulan yang lalu itu masih terus menangis, tangan dan kakinya bergoyang-goyang. Kulitnya yang putih, memerah. Aku memilih untuk mengamatinya lama di samping boks bayi. Mulutnya terbuka lebar menunjukka gusi dan lidahnya. Suara tangis Louis sangat mengganggu. Dia bayi yang rewel dan sangat aktif, berbeda dengan Sofia.

"Diamlah, Louis. Mama capek dengar kamu menangis terus," ocehku, tetapi tidak ada hasil apa-apa, sehingga aku memutuskan untuk mengambil Louis, menimangnya. Namun, dia belum berhenti menangis juga.

Saat aku memeriksa popoknya, dia ternyata buang air besar. "Kamu selalu saka pup, Louis. Mama capek ganti popok terus."

Bayiku yang memang belum paham apa-apa, hanya menangis. Usai digantikan popoknya pun, dia tidak berhenti menangis juga. Aku mencoba memberi ASI, tetapi belum kenyang, dia menangis lagi. Aku tidak tahu apa bedanya Louis dan Sofia, tetapi ASI-ku tidak pernah lancar sejak awal Louis lahir. Aku sudah mengonsumsi makanan yang disarankan dokter, datang konsultasi laktasi, persis seperti yang aku lakoni ketika Sofia masih bayi. Namun, tidak ada yang berhasil. Kata dokter, aku tidak boleh banyak pikiran. Bagaimana bisa? Jika setiap melihat penghuni rumah ini, tekanan di pundakku makin berat.

*.*.*.

Aku mendorong troli yang terisi penuh menuju kasir untuk membayar. Sementara Riri yang mendorong troli Louis keluar terlebih dahulu. Aku tidak berdiri lama karena antrian yang tidak panjang. Setelah membayar, aku mednorong troli itu lagi menuju ke tempat Riri menunggu. Saat tiba di sana, aku mendengar Riri berbincang dengan Lois yang berceloteh tidak jelas.

"Louis makin lucu, ya, Bu?" Riri menatap Louis mebuatku ikut menatap anak keduaku itu. Aku mencari rasa yang mungkin tersisip jauh di dalam hatiku untuk Louis, tetapi tidak ada sama sekali.

"Ayo kita beli boba, aku haus," keluhku, membelokkan troli dan terus mendorongnya menuju kedai minuman asal Taiwan yang akhir-akhir ini sedang viral.

Di kedai itu ada banyak orang berjaket hijau yang ikut antre. Aku memilih duduk dan membiarkan Riri yang memesan. Kakiku pegal berkeliling supermarket. Satu tanganku memegang hape dan menggulir asal untuk melihat-lihat beranda media sosialku, dan tangan satunya lagi memegang botol susu formula untuk Louis yang berbaring di trolinya.

"Nindy."

Mendengar namaku disebut, aku pun mendongak. Seorang lelaki mengenakan kemeja abu-abu berdiri di depanku.

"Udah lama nggak ketemu, ya," katanya.

Aku masih terdiam, menatap Niel yang tersenyum kepadaku. Meski kami sama-sama menetapa di Jakarta, tetapi terakhir kali bertemu adalah saat perpisahan di sekolah. Aku mengundangnya saat menikah, tetapi dia sepertinya tidak datang.

"Anak kamu?" tanyanya, mengalihkan pandangan kepada Louis.

Aku mengangguk, menjawab untuk pertaa kalinya, "Iya."

"Aku selalu cari kamu kalau anak-anak ngumpul. Tapi, kamu nggak pernah datang. Padahal, aku, kan, kangen."

...

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang