Selamat Tinggal (Ending)

6K 229 29
                                    

"𝘋𝘦𝘱𝘳𝘦𝘴𝘴𝘪𝘰𝘯 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘴 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘱𝘱𝘰𝘪𝘯𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵. 𝘞𝘩𝘦𝘯 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘱𝘱𝘰𝘪𝘯𝘵𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘧𝘦𝘴𝘵𝘦𝘳𝘴 𝘪𝘯 𝘰𝘶𝘳 𝘴𝘰𝘶𝘭, 𝘪𝘵 𝘭𝘦𝘢𝘥𝘴 𝘵𝘰 𝘥𝘪𝘴𝘤𝘰𝘶𝘳𝘢𝘨𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵."
~𝘑𝘰𝘺𝘤𝘦 𝘔𝘦𝘺𝘦𝘳

*.*.*.

Perasaanku kian campur aduk. Terkadang aku tidak mengerti apa yang aku inginkan. Ketika menatap pantulanku di cermin pun, aku sudah lupa bahwa pantulan itu adalah diriku. Aku sudah berusaha. Lima tahun aku bertahan dan aku menyerah. Inilah akhir dari kisah Cinderella yang kuanggap memiliki akhir bahagia bersama pangerannya.

Aku hanyalah remaja naif yang belum mengenal dunia. Rumah yang katanya merupakan tempat untuk pulang, tidak pernah menjadi tujuan untuk aku kembali. Dan rumah yang kini aku miliki tak layak untuk dianggap sebagai rumah. Aku sendiri, bahkan saat di tengah riuh tawa keluargaku.

Hujan telah turun sejak tadi, seolah-olah semesta tahu apa yang tertahan dalam benak. Aku telah selesai menata meja saat Keenan datang dengan menggendong Louis. Sementara Sofia mengekor di belakangnya.

"Biar aku gendong Louis, kamu makan aja dulu," ucapku, mendekat kepada Keenan dan mulai mengambil Louis darinya.

Sofia mengangkat kedua tangannya menuju Keenan, sebagai tanda agar segera dinaikkan ke kursinya. Kakinya mengehentak-hentak. "Papa, Papa!" panggilnya riang.

"Sofia, minta yang benar," tegas Keenan.

Sofia menurunkan tangan dan diam di tempat. "Papa, tolong, aku mau duduk di kursiku."

Setelah Sofia meminta dengan sopan, Keenan mengangkat anak kami ke kursi. Dia kemudian ke kursi yang berada di ujung meja. Hanya suara rengekan Louis yang kadang memenuhi meja makan. Keenan dan Sofia fokus memotong daging kecokelatan di piring mereka. NAmun, di tengah-tengah makan, Sofia menoleh kepadaku yang berada di belakangnya menyodorkan daging yang tertancap di garpu kecilnya.

"Mama, sini aku suap!" panggilnya menawarkan.

Senyumku mengembang dan dadaku seolah dialiri sesuatu yang hangat. Baru saja aku ingin menunduk dan mengambil daging dari garpu Sofia, tetapi perkataan Keenan menahanku.

"Sofia, makan makananmu! Mama punya makanannya sendiri."

Tangan Sofia turun dan pandangannya kembali ke depan. Daging tadi memasuki mulutnya dan dia kunyah pelan. Suasana menjadi diam seperti sebelumnya. Louis pun tenang dalam gendonganku, hanya sesekali dia bergerak-gerak.

"Terima kasih, makanannya enak," ucap Keenan setelah berdiri dari kursinya. Dia pun mengambil Louis dariku, membawanya keluar dari meja makan.

"Mama, rasanya enak. Besok aku mau makan ini lagi," ungkap Sofia, menyusun garpu dan sendok di piring kosongnya dengan posisi terbalik.

Aku memegang sendok dan garpuku erat, memandang Sofia yang tersenyum. Aku ingat saat aku pertama kali melihatnya. Kulitnya memerah dan masih dipenuhi bercak darah di beberapa bagian. Dia telah tumbuh dari bayi kecil merah menjadi anak perempuan cantik yang aku pun mengaguminya. Rasanya tidak rela jika harus meninggalkannya setelah banyak bahagia yang kami lalui bersama. Namun, aku harus pergi. Berada di sini tidak hanya melukai diriku, tetapi juga anak-anak yang aku cintai.

"Besok, kamu makan di rumah Oma Dewi, ya. Mama kayaknya nggak bisa masak."

"Kalau begitu lusa, ya, Ma. Aku paling suka masakan Mama."

Aku hanya tersenyum, tidak mengangguk ataupun menggeleng. Sebelum mulai makan, aku memilih menurunkan Sofia dari kursinya sehingga dia bisa ikut keluar bersama Keenan. Aku kembali duduk di depna makananku, menusuk brokoli dengan garpu. Aku memasukkannya ke mulut, mengunyah sambil meneteskan air mata.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang