Pemberontakan

1.6K 112 14
                                    

𝙏𝙝𝙚𝙧𝙚 𝙖𝙧𝙚 𝙥𝙚𝙤𝙥𝙡𝙚 𝙬𝙝𝙤 𝙗𝙧𝙞𝙣𝙜 𝙮𝙤𝙪 𝙙𝙤𝙬𝙣 𝙗𝙮 𝙟𝙪𝙨𝙩 𝙗𝙚𝙞𝙣𝙜 𝙩𝙝𝙚𝙢. 𝙏𝙝𝙚𝙮 𝙣𝙚𝙚𝙙 𝙣𝙤𝙩 𝙙𝙤 𝙖𝙣𝙮𝙩𝙝𝙞𝙣𝙜.
- 𝙈𝙖𝙡𝙚𝙗𝙤 𝙎𝙚𝙥𝙝𝙤𝙙𝙞

*.*.*.

Pertunangan Delfi digelar bersamaan dengan lamaran di salah satu ballroom hotel ternama. Pesta itu cukup meriah. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana meriahnya pesta pernikahan sahabat sekaligus adik iparku itu.

Delfi memakai gaun off shoulder lilac berbahan brokat. Rambutnya disanggul rendah, diberi mutiara sebagai hiasan dan beberapa rambut depan dibiarkan tergerai ikal. Dia terlihat sangat cantik. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya, mengingatkan aku kepada hari saat cincin yang Keenan tersemat di jemariku.

Sebelum ke pesta ini, rambutku harus ditata sangat lama. Selain memasang rambut ekstension yang baru, Cindy juga harus membuatnya terlihat sangat alami sehingga tidak ada yang menyadari kalau rambutku pendek.

Di sinilah aku, memasang raut bahagia atas pertunangan Delfi dengan kekasihnya. Aku terus memegang tangan Sofia, tidak mau dia ke mana-mana dan mengacau. Louis berada di gendongan Keenan sejak tadi. Mereka berada di salah satu meja sambil mengobrol. Sementara aku memilih untuk berada bersama mertuaku untuk memantau pesta. Sesekali mendatangi pihak WO.

"Mama, aku mau kue itu." Sofia menunjuk potongan kue red velvet dengan krim putih dan potongan stroberi di atasnya.

Aku menggeleng. "Kata Papa, kan, nggak boleh makan kue manis."

Sofia mencebik, menatapku dengan mata memicing.

Aku menoleh kepada Keenan yang sedang mengobrol. Ada Alvin, kakak Olivia, di sana. Bisa kulihat Keenan yang kadang mencium Louis seolah-olah mereka adalah ayah dan anak yang sangat akrab. Aku bahkan mendengar komentar beberapa orang bahwa Keenan adalah ayah yang sangat baik dan penyayang.

Tidak mereka tahu kalau Keenan bahkan tidak mau memasuki kamar bayi karena dianggapnya berantakan. Namun, entah kenapa dia tidak mau lepas sedikit pun dari Louis jika berada di tempat umum.

"Mama, hanya sedikit," minta Sofia, matanya kini membesar untuk membujukku. Sayangnya, aku tidak terpengaruh seperti apa pun wajahnya.

"Baiklah, pergi ke dekat Papa! Mama ambilkan satu kue," pintaku.

"Nanti Papa marah sama Sofia," ucapnya.

Aku tersenyum, mengangguk dan berkata, "Nggak, biar Mama yang bela, ya."

Sofia menurut. Begitu aku melepas tangannya, dia pergi ke dekat Keenan. Sementara aku menuju meja tempat kue itu berada, mengambil satu untuk Sofia.

Senyumku terulas kepada semua orang yang bertemu muka denganku. Ingin menunjukkan bahwa aku adalah perempuan yang bahagia dan beruntung seperti yang mereka pikirkan.

"Selamat malam," sapaku kepada orang-orang di meja itu yang didominasi oleh keluarga Keenan.

Orang yang duduk di seberang Keenan adalah saudara tirinya, Ashab, anak Papa Faiz dari pernikahan sebelumnya. Aku hanya bertemu beberapa kali dengannya karena dia tinggal di Kuala Lumpur bersama keluarganya. Ashab seusia dengan Keenan. Aku mengenalnya sebagai sosok yang bijaksana dan penyayang. Terbukti Delfi lebih dekat dengannya, meski mereka tinggal berjauhan.

"Ini kuenya, Sayang." Aku menyodorkan sepiring kue tadi kepada Sofia.

Aku sengaja menoleh kepada Keenan yang juga menatapku. Kedua alisnya naik dan hanya aku balas dengan bahu terangkat. Aku tahu dia protes karena memberi Sofia makanan manis. Namun, aku yakin dia tidak akan menyampaikan keberatannya secara langsung karena kami sedang di depan orang.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang