Keputusan

2.6K 169 12
                                    

“𝘊𝘰𝘯𝘵𝘳𝘰𝘭𝘭𝘦𝘳𝘴, 𝘢𝘣𝘶𝘴𝘦𝘳𝘴, 𝘢𝘯𝘥 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘱𝘶𝘭𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘱𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦 𝘥𝘰𝘯’𝘵 𝘲𝘶𝘦𝘴𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦𝘮𝘴𝘦𝘭𝘷𝘦𝘴. 𝘛𝘩𝘦𝘺 𝘥𝘰𝘯’𝘵 𝘢𝘴𝘬 𝘵𝘩𝘦𝘮𝘴𝘦𝘭𝘷𝘦𝘴 𝘪𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮 𝘪𝘴 𝘵𝘩𝘦𝘮. 𝘛𝘩𝘦𝘺 𝘢𝘭𝘸𝘢𝘺𝘴 𝘴𝘢𝘺 𝘵𝘩𝘦 𝘱𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮 𝘪𝘴 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘰𝘯𝘦 𝘦𝘭𝘴𝘦.” – 𝘋𝘢𝘳𝘭𝘦𝘯𝘦 𝘖𝘶𝘪𝘮𝘦𝘵

*.*.*.

Tangan Sofia merah-merah karena cubitanku. Dia terisak, tidak berani meraung meski aku tahu dia kesakitan. Itu salahnya sendiri. Aku hilang muka di depan Bu Donna dan Miss Tia. Apalagi setelah tahu kalau kejadian itu bukan yang pertama kalinya.

Sofia tidak keluar kamar sejak habis aku marahi. Namun, ketika aku dan Keenan naik, dia tiba-tiba keluar dari kamar sambil menangis, menghampiri Keenan.

"Kenapa? Ada apa?"

Dia masih terisak-isak, menunjukkan kedua lengannya yang memerah. Keenan pun mengernyit, memandangku.

"Sofia kasar di tempat les. Dia mengambil mainan dan memukul temannya," ucapku.

"Iya, terus kenapa dia yang menangis dan tangannya merah begini?"

Tangis Sofia mengeras. Saat aku menunduk, dia telah memeluk betis Keenan. "Ma-ma, Ma-ma."

Aku menatap kosong ke depan. "Aku cubit tadi," akuku, dalam hati sebal karena Sofia mengadu.

"Nindy, are you lost your mind?"

Memanggil namaku langsung dan menggunakan bahasa Inggris berarti Keenan marah besar, meski nadanya tetap rendah.

Pandangan kami bertemu. Aku menggeleng kepadanya. "Dia mencuri dan kasar sama temannya. Dia pantas dihukum."

"She learnt it from you," tekan Keenan. "Aku nggak tahu kamu sekasar ini. Di mana Nindy yang manis dan lembut?"

Jantungku berdetak kencang. Seolah-olah ada beban berat yang menghantam di dadaku. Keenan tidak tahu bagaimana dia mengubahku menjadi seorang monster. Aku bahkan kadang takut kepada diriku sendiri. Takut akan pikiran yang menghantuiku.

"Aku nggak tahu Nindy yang mana yang kamu maksud?" Aku menatap tajam Keenan dengan mata yang mulai menghangat.

Keenan menunduk. "Sofia, masuk ke kamar dulu. Papa mau bicara sama Mama."

Sofia yang terisak, meninggalkanku dan Keenan. Aku ikut ke kamar saat Keenan memintaku mengikutinya. Dia berdiri memunggungiku. Satu tangannya bertolak di pinggang dan satu ke depan, sepertinya di wajah.

Dia berbalik kepadaku, menampakkan wajah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Rahangnya mengeras dan kerutan di dahinya dalam.

"Kamu tahu, Nindy. Aku menganggap kamu figur ibu yang sangat baik. Penurut dan lembut," ucapnya. "Kamu kasar sama Sofia. Dia itu anak-anak. Apa yang sering dia lihat, itu yang dia lakukan."

Aku bersedekap. "Kamu mau aku bagaimana, hah? Kamu nggak tahu gimana susahnya aku mengurus Sofia dan Louis."

"Itu resiko kamu sebagai ibu. Kamu mau aku yang sudah pusing dengan kerjaan, urus anak lagi, begitu?"

Aku mengalihkan pandangan dari Keenan, menghapus air mataku yang menetes ke pipi. "Aku dan anak-anak butuh kamu. Tapi, setiap pulang kamu mengurung diri di ruanganmu."

"Selalu saja ada alasan untuk menutupi kesalahan," tuduh Keenan. "Aku nggak mau dengar lagi kamu teriak atau kasar sama anak-anak apa pun alasannya. Tugas kamu mendidik mereka."

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang