Pernikahan

1.3K 107 3
                                    

“Don’t waste your energy trying to change opinions … Do your thing, and don’t care if they like it.”
~ Tina Fey

                                *.*.*.

Kak Naura duduk di bibir ranjang. Dari pantulan cermin terlihat ia menatapku yang sedang membersihkan wajah dengan micellar water untuk menyeka semua riasan di wajahku. Alis kakakku itu terangkat, mungkin bingung melihatku. Ya, tadi Keenan dan orang tuanya datang untuk meramal secara formal kepada Mama dan dihadiri kakak lelaki tertua Mama sebagai yang dituakan di keluarga kami.

"Kamu yakin mau menikah muda? Masa depan kamu masih panjang. Kamu harusnya bisa menikmati kebahagiaan masa mudamu," kata Kak Naura.

Aku berbalik setelah selesai menyeka riasan. "Aku yakin. Apa yang kurang dari Kak Keenan? Aku pasti akan menjadi perempuan paling beruntung bisa menikah dengan dia."

Aku berucap dengan sangat ceria. Bukan hanya menikahi cinta pertamaku, aku juga bisa keluar dari rumah ini. Menjauh dari Mama yang pilih kasih terhadapku. Keenan adalah pangeran berkuda putih dan aku Cinderella.

"Menikah tidak sesederhana itu, Nin. Lelaki tidak hanya dilihat dari tampan. kaya, dan senyum ramah saja."

"Kakak bicara seperti orang yang sudah berpengalaman saja," ejekku. "Kalau memang Kakak tidak mau menikah, jangan bawa-bawa aku dalam paham sesat itu."

Aku mungkin belum cerita. Kak Naura adalah seorang feminis yang menolak gagasan perempuan harus tunduk kepada lelaki. Itu sebabnya, dia sangat pemilih dengan namanya lawan jenis. Jika dia menikah, maka tidak ada yang di depan dan di belakang, dalam segala hal harus setara. Menurutku, tidak seperti itu. Berdasarkan adat dan agama, perempuan adalah makmum, maka sudah seharusnya menuruti perkataan suami.

"Coba kamu pikir, teman-teman kamu yang lain kuliah dan menikmati hidup mereka sebagai perempuan yang bebas. Sementara kamu, di rumah mengurus suami dan anak. What a waste, Nin!"

"Apanya yang sia-sia, sih, Kak? kebahagiaan orang beda-beda. Aku lebih memilih jadi istri daripada mengerjakan hal yang tidak aku suka. Aku mau menjadi komikus, bukan pengacara, notaris, atau dokter."

"Aku bisa bilang sama Mama kalau kamu mau ambil jurusan lain. Begini-begini aku tetap peduli sama masa depanmu. Enak saja aku capek-capek menjaga kamu dari bayi cuma buat jadi ibu rumah tangga. Lagipula, zaman sekarang ibu rumah tangga minimal S1, jadi kalau cerai ada pegangan."

Aku berjalan ke lemari, mengambil pakaian ganti sebelum membalas, "Aku menikah sekali seumur hidup, Kak. Bercerai tidak pernah masuk dalam rencanaku. Lagian, mana ada perempuan yang mau bercerai dengan Keenan. Dia satu dari sejuta." Aku senyam-senyum memikirkan Keenan.

Kak Naura tidak menyerah. Dia terus memengaruhiku untuk memikirkan ulang rencanaku. Bukan sekali ini dia memintaku mundur. Sejak tahu aku ingin menikah dengan Keenan, dia berkali-kali mendatangi kamarku dan menjelaskan kalau pernikahan itu menakutkan. Dia menjadikan pernikahan ibuku sebagai contoh. Katanya, ayahku dulu juga tampan dan pekrja keras, tetapi hal itulah yang membuat dia direbut oleh perempuan lain. Aku merasa Kak Naura itu standar ganda. Tidak suka jika perempuan digeneralisasikan, tetapi dia sendiri menggeneralisasikan lelaki.

"Tidak ada orang menikah untuk bercerai, Nin. Tapi, pernikahan itu penuh ujian, kamu masih terlalu muda untuk mengerti. Sejak kecil dibesarkan dalam lindungan rumah, kamu tida tahu apa-apa."

Lindungan rumah? Kak Naura tidak tahu saja kalau tempat yang disebut rumah ini adalah tempat yang sangat ingin aku tinggalkan. Dia tidak tahu karena dia selalu dibanggakan oleh Mama. Dia kuliah, bekerja, dan sekarang menghasilkan banyak uang dari tokohnya. Kak Nadia dengan segala kecerdasannya. Dan Kak Aryes dengan kelebihannya menjadi satu-satunya anak lelaki Mama. Aku? Aku adalah anak yang tidak diharapkan, seharusnya tidak pernah lahir karena menambah beban keluarga, membuat Papa pergi. Aku merasa keluargaku sendiri seperti RACUN di hidupku.

"Aku akan bahagia dengan Keenan. My marriage will be my fairy tale."

"Dongeng disebut dongeng karena nggak bakal menjadi kemyataan, Nin. Kepalamu yang polos itu terlalu mempercayai kisah Putri dan Pangeran yang tidak realistis."

"Kenapa? Apa Kakak masih memikirkan perkataan Mama?"

Saat aku mengatakan kalau Keenan akan datang melamar bersama orang tuanya kepada Mama, Mama langsung berkata bahwa aku tidak boleh menikah sebelum Kak Naura. Dia juga memintaku agar berbicara kepada Keenan agar lamaran itu sebaiknya ditujukan untuk Kak Naura.

"Wajahmu sama Naura juga nggak beda-beda banget, Nin. Keenan pasti maulah." Begitu kata Mama.

Saat itu hatiku panas sekali. Mama seolah-olah menjadikan lamaran itu adalah pertukaran barang biasa. Seperti menukar beras dan gandum, sama-sama karbohidrat.

*.*.*.

Waktu terus berlalu dan banyak persiapan yang telah dilakukan. Kemarin aku datang ke rumah Tante Dewi, ibu Keenan, untuk bertemu dengan seorang Wedding Organizer. Kami memilih dekorasi gedung pernikahanku, akan ada banyak bunga berwarna putih dan peach. Ada panggung untuk pelaminan mempelai dan keluarga, juga meja-meja untuk tamu berwarna emas dengan linen peach dan mawar putih. Sebagai jalan untukku dan Keenan ke pelaminan akan dipenuhi taburan kelopak putih. Semua berenda dan ada lilin yang akan menambak keromantisan.

Dekorasi itu sangat aku sukai, begitupun dengan Tante Dewi. Namun, saat aku mengirimkan Keenan gambar dekorasi itu, dia tidak setuju. Katanya terlalu kekanakan, tidak cocok dengannya. Jadilah, aku menyerahkan pilihan dengannya. Dia berkata akan memberikan resepsi terindah yang pernah aku lihat.

"Anak itu, kalau memang mau pilih sendiri harusnya bilang. Orang capek-capek ke sini, tapi nggak jadi," omel Tante Dewi. "Maaf, ya, Nin. Dia memang begitu, kalau melakukan sesuatu tidak suka setengah-setengah. Pokoknya, harus sempurna."

"Aku malah senang, kok, Tan. Aku mana tahu urus begini," ucapku.

Sebenarnya aku memimpikan pernikahan dengan banyak bunga dan berwarna putih. Tapi aku yakin, dengan sikap perfeksionis Keenan, gedung pernikahan kami akan disulap sangat megah dan istimewa.

"Aku ke Delfi dulu kalau begitu, Tante."

Tante Dewi mengangguk. Aku pun melenggang dan menaiki tangga dengan terali emas yang melikuk dan karpet merah di tengah-tengahnya. Kamar Delfi berada di pintu kedua di bagian sayap kanan. PIntunya berwarna putih menyerupai cat dinding di rumah itu. Aku sempat bercanda kalau rumah Delfi pantas disebut White House. Aku mengetuk pelan sambil memanggil nama Delfi. Namun, tidak ada jawaban.

"Del, kamu di dalam, kan?" Aku terus mengetuk.

Lelah, aku menekan tuas pintu dan ternyata tidak terkunci. Delfi sedang di ranjangnya, menikmati drama Korea pada teve yang terpasang di tembok depan ranjang. Dia sempat menoleh menatapku, tetapi langsung buang muka dengan wajah tak enak dipandang.

"Kamu kenapa, sih, Del? Akhir-akhir ini menghindar terus." Aku berdiri di sampung ranjang menatapnya.

Tidak ada jawaban.

"Kamu marah? Aku salah apa? Sebentar lagu aku jadi kakak iparmu, loh."

Dia menoleh kepadaku, memicingkan mata. "Kamu tahu kalau akau nggak mau kamu menikah dengan Kak Keenan."

"Memangnya kenapa? Aku suka sama dia, kamu tahu itu, kan?"

"Kamu nggak ngerti, Nin. Kita masih delapan belas tahun, banyak hal yang belum kamu coba sebelum menikah. Kamu bisa menemukan banyak lelaki di kampus atau di tempat kerja di amsa depan."

"Untuk apa menunggu yang tidak pasti kalau sudah ada yang pasti?"

Delfi bersedekap, membuang wajahnya lagi. "Terserah kamu saja, Nin. Yang pasti aku tidak setuju. Lihat kamu dan lihat Kak Keenan, terlalu jomplang!"

Sebagai sahabat, aku dan Delfi sering saling menghina. Namun, tentu saja disertai gelak tawa. Kali ini berbeda, raut Delfi keras menunjukkan keseriusannya. Dia tidak setuju bukan karena mau aku terus kuliah atau mendapatkan lelaki yang lebih baik. Dia tidak ingin aku yang bukan siapa-siapa menjadi bagian keluarganya. Ya, itu maksudnya.

"Kalau begitu maaf, Del. Aku memang tidak sehebat Kak Olivia, tapi aku tulus mencintai Kak Keenan." Itu kalimat terakhir yang aku katakan sebelum meninggalkan kamar Delfi.

Aku sempat mendengar panggilan dari Delfi, tetapi sesak di dadaku tidak tertahan. Tanpa pamit kepada Tante Dewi, aku meninggalkan rumah itu tanpa diantar oleh sopir yang sebelumnya menjemputku dari rumah.

*.*.*.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang