Hai lov, gimana kabarnya? Semoga baik-baik okey?
Gak bosen aku ingetin untuk selalu menghargai karya para penulis, gampang kok tinggal pencet bintangya 😉. Ditambah komen juga lebih baik, biar makin rame.
|🌹HAPPY READING🌹|
.
.Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam sekolah sudah melekat rapi di tubuhnya. Nara mengoleskan liptint guna menutupi bibirnya yang pucat. Hari ini Nara memutuskan pergi ke sekolah untuk menemui Kevan.
Sebenarnya keduanya tinggal di kompleks yang sama. Hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumahnya. Tapi tak mungkin dia menemui Kevan langsung ke rumahnya, Nara tak cukup berani. Apalagi mereka tak cukup akrab meski masih bisa dibilang sebagai tetangga.
Beberapa kali helaan napas keluar dari bibir gadis itu. Sebenarnya Nara enggan menemui Kevan karena tubuhnya masih lemah. Akan tetapi Liam terus mendesaknya untuk menemui ayah dari anak yang dikandungnya dan meminta pertanggungjawabannya.
Lagi pula Nara memiliki tujuan lain mengapa dia keluar rumah hari ini.
Tatapan gadis itu turun pada perut ratanya, tangannya terarah mencengkeramnya. Sungguh, Nara tak menyangka terdapat makhluk mungil sedang bersemayam di sana. Cengkraman itu semakin kuat, seakan Nara ingin mencekik sesuatu di sana. Namun, kembali melemah saat terdengar pintu kamarnya dibuka.
"Nara kamu sarapan dulu ya? Ini bunda bawain makanan," kata Diandra tak dihiraukan oleh Nara.
Diandra mendekat ke arah putri tirinya itu, walau Nara hanya anak tirinya tapi Diandra menyayanginya seolah sudah menganggapnya anak kandung. Dielusnya pundak Nara. Wanita itu tak sanggup menatap wajah putrinya yang tersirat akan rasa lelah dan rapuh. Diandra mendekap Nara erat, mengelus surai panjangnya penuh sayang.
"Kamu kuat sayang. Maafin Bunda yang nggak bisa melakukan apa-apa saat kamu dihukum ayahmu. Maafin Bunda kemarin nampar kamu. Maaf-"
"Bunda nggak salah. Nara yang salah di sini, maaf udah bikin kecewa. Mungkin yang dikatakan Ayah benar, Nara memang anak pembawa sial," lirihnya.
"Nggak, jangan ngomong gitu. Semuanya terjadi tanpa keinginanmu. Kamu harus kuat sayang."
Setelah beberapa lama, pelukan mereka pun lepas. Diandra mengambil makanan di nampan dan meminta Nara segera memakannya. Nara menurut, tak bisa dipungkiri dia juga lapar.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Nara mengambil tasnya. Sebelum beranjak pergi, gadis itu berpamitan pada bundanya.
"Bunda, Nara pamit ya. Makasih udah peduli sama Nara. Nara sayang Bunda." Nara mendekap wanita itu dan dibalas hangat oleh Diandra.
°°°°
Gadis bersurai kecoklatan itu berjalan keluar gerbang rumahnya. Tak seperti Felly yang ke sekolah selalu diantar supir pribadi, atau bahkan pernah diantar Liam. Nara selalu berangkat sendiri. Entahlah pernah terpikir Nara bukanlah anak kandung Liam, bahkan dia tak memilki marga Alexander di belakang namanya, tak seperti Felly yang memilikinya. Atau mungkin Liam memang tak pernah menganggapnya sebagai anaknya. Tapi kenapa? Alasan itu masih belum Nara jumpai.
Gadis yang tubuhnya dibalut cardigan berwarna coklat itu sudah memesan ojek online, dan biasanya ia akan menunggu di halte dekat rumahnya. Tapi entah kenapa sebuah pemikiran yang bisa disebut nekat-terlintas lagi di benaknya.
Tak berhenti di halte, justru Nara berdiri di pinggir jalan raya seraya menatap lalu-lalang kendaraan. Walau masih pagi jalan raya sudah ramai dengan kendaraan yang melintas. Gadis itu memejamkan mata, menarik napas kuat sebelum mengambil langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silence Of Tears (TERBIT)
General Fiction📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis dengan kepribadian jutek dan dingin. Namun, siapa sangka dibalik sikap cueknya dia banyak menyimpan luka. Takdir seolah tak memihaknya saat ia ha...