[ Part 38 ] Titik Terendah

76.2K 6.4K 1.1K
                                    

Maaf buat kalian nunggu 😔

Siapkan hati dan tisu baca part ini.

Lagu disarankan : Kamu dan Kenangan 🎵

Atau kalian bisa setel lagu sad andalan kalian biar makin nyess 💔

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN FOLLOW!

[Kolom hujatan untuk tokoh dakjal dibuka]

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

Hari ini jenazah Diandra sudah dibawa pulang dan hendak dimakamkan. Mengetahui hal itu Nara yang semalaman menangis memilih keluar dari kamar. Tadi malam dia dibawa Bi Arum untuk istirahat di kamar bawah karena tubuhnya terasa berat hanya untuk melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.

Di ruang tengah sudah banyak pelayat yang berkumpul. Tubuh seorang wanita terbaring kaku di tengah-tengah, membuat Nara lagi-lagi meluruhkan airmata.

Nara ingin memeluk bundanya untuk terakhir kali, ingin melihat wajah malaikat pelindungnya sebelum dia benar-benar tidak akan memeluknya nanti.

"BUNDA!"

Nara datang, langsung duduk bersimpuh dan memeluk bundanya dengan tubuh bergetar. Hal itu hanya berlangsung beberapa detik karena setelahnya dia ditarik oleh Liam dengan kasar.

"Ayah! Hiks, lepas, Yah! Nara cuma pengen peluk Bunda untuk terakhir kalinya. Jangan larang Nara kali ini, Ayah!" pekik Nara berusaha melepas cengkraman Liam dari tangannya.

Liam tak menggubris, justru lelaki itu membawa Nara menjauh dari para pelayat. Sedangkan Nara terus berontak dengan mata berlinang. Sejak semalam ia tidak bisa tidur dan terus menangis, dia berharap setelah jenazah bundanya dipulangkan ia bisa memeluk wanita itu untuk terakhir kalinya.

Wajah Nara yang memerah dan kacau tidak membuat Liam bersimpati. Dengan kasar ia menghentakkan tubuh putrinya hingga hampir terjatuh. Hampir. Karena Nara masih bisa menahan keseimbangannya dan belum benar-benar terjatuh.

"Tidak tahu malu kamu! Setelah membuat istri saya kehilangan nyawa kamu tetap bersikeras menemuinya!?" bentaknya.

"Sebentar saja, Yah! Sebentar aja, hiks. Nara mohon ...."

Bugh!

Bukan lagi tamparan, melainkan pukulan yang kini melayang tepat mengenai rahang tirus Nara. Perempuan yang tampak kacau itu seketika terjatuh, ia memegang pipinya yang teras panas dan kebas. Bahkan kini terasa anyir darah dari bibirnya yang sobek.

Dengan kepala yang semakin terasa pening, Nara memberanikan diri menatap manik tajam milik ayahnya.

"A-ayah ... Nggak papa pukul Nara. Ayo pukul lagi. Tapi setelah ini izinin Nara peluk Bunda. Sebentar saja ...." lirihnya dengan bibir bergetar.

"Berhenti memanggil saya dengan sebutan ayah! Saya bukan ayah kamu! Saya tidak sudi mengakui pembunuh sebagai anak saya! Kamu pembunuh, bukan anak saya!"

"Anak sialan! Tidak tahu diri! Mati saja kamu!"

Liam mengatakan emosinya seraya menarik rambut Nara, lalu mendorong kepalanya dengan kasar. Setelah itu dia keluar dengan langkah emosi, meninggalkan putrinya yang meraung kacau.

Nara seketika menunduk dengan tubuh bergetar. Tangannya yang berkeringat meremas ujung bajunya hingga lecek. Punggung rapuhnya bergetar hebat diiringi dengan isakan memilukan.

Silence Of Tears (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang