Ini chapter tentang kehilangan yang dipaksa diikhlaskan. Tentang anak manusia yang berjalan dalam garis serupa tapi kemudian ditarik jadi sketsa mengesankan. Ini hanya tentang bentuk cinta dalam sebenar-benarnya cinta.
"BUUUU! Anita kangenlah bu, hampir setahun gak bisa ketemu ibu" nada manja mengalir dari bibir Anita saat tawa renyah sang ibu mengudara menyambut pertanyaan "apa kabarnya"
Tapi dari balik senyumnya, ada raut getir yang menyelubungi sisi – sisi wajahnya. Gelisah, sedih, dan rindu yang menyiksa. Betapa perempuan muda itu ingin pulang ke pangkuan ibunya. Menyandarkan pundaknya yang terlalu berat membawa banyak masalah dan sengsara. suara ibunya tetap selalu mendebarkan, perhatian yang dibalut dalam kata-kata halus ibu membuatnya merasa tak terlalu sendirian.
"Nita sehat buk, jagoan kecil Nita juga sehat" penipuan yang sungguh hebat. Tapi mata itu tak bisa berbohong. Air matanya mengalir membelah lekuk pipinya yang tirus. Ia terus berkelahi dengan rasa bersalah. Ia merasa gagal menjadi ibu yang bisa melindungi puteranya dengan baik. Semakin buruk saat matanya menangkap lebam di sekujur tangannya yang semakin menghitam. Tulangnya yang semakin mencuat tatkala daging tubuhnya yang menyusut. ia tahu betapa mengerikannya tubuhnya saat ini.
"Iya, Nita makan teratur, Mas Theo juga makin sayang mendekati Nita lahiran ..." suara itu seketika menghilang, seruan halo dari suara di seberang tak bisa masuk dalam lamunan Anita yang menakutkan. Netra kelamnya menggeliat ppada sesuatu yang tak kasat mata. semakin dingin dan senyap.
"Halo....Nit?" setelah kesekian panggilan, suara troli dari depan lorong kamarnya menyadarkannya. menariknya kembali dari rajaman bayangan tak tentu. Acak.
"Iya buk?"
"Nita gak pa-pakan? Gak sakitkan?" perempuan itu menahan sesenggukannya dengan menutup mulutnya kuat-kuat, ia takut sang ibu menyadari tangisnya. pertanyaan itu mengiris nuraninya untuk berbohong. Ia ingin teriak kesakitan. Perempuan itu ingin menangis tanpa beban. Ia ingin bebas dari kungkungan ketakutan.
"enggak buk, Nita Cuma...... takut" tenggorokan itu begitu kering dan berat
"takut kenapa?"
"Nita takut gak bisa jadi ibu" lirih, amat lirih ungkapan itu menafsirkan banyak makna
"Nita pasti... jadi ibu" alunan nada teduh dan menyakinkan membuat tangis itu tak terbendung. Meluap. Banjir bandang.
"Bu, ibu pernah menyesal gak melahirkan Nita?"
Hening. Deru nafas yang tenang mengantarkan rasa penasaran di diri seorang Anita.
"gak pernah sekalipun Nit, bagi Ibu, Nita adalah hal yang paling berharga, hal yang paling membahagiakan, Nita segalanya buat ibu"
Gejolak emosi berkecamuk dalam mata bergumul air mata itu. Bahkan sesekali tangannya mencoba mereda kram akibat tangisannya yang mengguncang sang bayi dalam kandungannya. Di lain tempat, ibunya juga sedang menahan tangis atas pertanyaan putrinya. Segala memori paling membahagiakan bersama anak perempuannya berkubang dalam kepalanya. Sejak pertama kali ia melihatnya sampai bagaimana bahagiannya saat sang puteri kecil berucap 'ibu' terhadapnya.
"Nita tahu, menjadi ibu adalah keberuntungan, tidak ada satupun ibu yang gagal Nit, entah ia berhasil atau tidak melahirkan anaknya ke dunia, kamu hanya perlu percaya bahwa Allah selalu menjaga hambanya, menuliskan dengan sempurna cerita hidup setiap umatnya, kamu adalah anak perempuan ibu yang paling kuat, jadi berjuang dulu nak, bagaimana pun nanti Allah yang tahu yang terbaik, lebaran nanti kalau Nita gak bisa pulang, ibu sama bapak yang akan ke sana"
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya Mah JODOH!!
RomanceDi jalan setapak pemakaman yang dipenuhi pelayat dan para prajurit berseragam lengkap dua sosok muncul dengan senyuman kebahagiaan. Tangan perenpuan berjilbab cream itu bergelayut di lengan suamnya. Wajah mereka bersinar seolah seluruh lampu di duni...