Chapter 29 - Palu -

451 32 0
                                    

- Hal yang paling mengerikan di dunia ini adalah 'Hukum Manusia', tidak ada yang adil di matanya - Darwis Liem

Bertahun - tahun bergelut dengan hukum, cukup membuatku paham makna sebenarnya mereka. Dua belas tahun sejak sertifikat seorang Advokat sampai di tanganku, sudah puluhan kasus yang kutangani. Dari perceraian, perampokan, pembunuhan bahkan pencemaran nama baik. Bagi seorang pengacara, tidak ada yang benar dan salah di matanya. Mereka hanya bekerja untuk siapa yang membayar dan bersikeras menganggapnya salah meskipun itu benar. Salah satu kasus yang membuatku mengerti bagaimana hukum bekerja adalah saat kasus pertamaku di meja persidangan.

Saat itu, pikiran dan hati nuraniku masih singkron. Di dapuk menjadi seorang pengacara yang membela terdakwa penganiyaan terhadap seorang pria berkedudukan tinggi di pemerintahan. Jaksa penuntut umum terus menyerangku dengan bukti sebilah pisau dan palu yang di pakai tersangka -klienku- untuk menganiaya korban hingga hasil visum menyatakan korban dilukai dengan pisau dan palu persis bersidik jari.

Klienku itu adalah perempuan berusia 45 tahun, seorang ibu rumah tangga yang mengasuh seorang putera dimana si penuntut adalah suaminya. Tentu aku tidak serta merta mengatakan bahwa lelaki yang sedang menatap remeh klienku di depan meja sidang adalah korban, menurutku dia adalah pelaku utama. Klienku dan pria penuntut itu memiliki seorang putera yang menderita kecacatan mental sejak lahir. Dalam malam tragis itu, klienku yang seorang ibu tentu saja mencoba melindungi anaknya yang akan dihajar habis - habis-an oleh ayahnya sendiri. Dengan emosi yang sudah tak terkendali akibat percekcokan, ia berlari ke garasi dan meraih palu untuk kemudian memukul suaminya yang masih menendang hingga menginjak tubuh anaknya yang meronta. Tidak berhenti sampai di situ, pria itu juga menarik rambut istrinya untuk kemudian membenturkannya ke dinding sebanyak empat kali. Dengan kondisi setengah sadar, pisau di atas pantry ia coba tusukkan pada pria itu namun meleset. Hanya melukai lengannya saja.

Aku berjuang membelanya dengan memaparkan hasil visum kemudian keterangan puteranya sebagai satu - satunya saksi, tapi Majelis Hakim tak percaya atau mereka pura - pura tidak percaya, kasus KDRT menjadi yang tersulit bagiku. Dua kali aku mencoba naik banding, tapi aku harus menerima kenyataan Hakim meloloskan vonis penjara pada klienku. Apa yang kulihat saat itu, menjadi gulungan bola salju yang menggelinding dan semakin besar. Dimana yang kita sebut adil?

Begitu pun dengan kasus yang sedang aku hadapi. Sejak awal Pak Renggo memintaku menangani perkara ini, aku sudah melihat betapa kusutnya benang yang terpintal. Ini bukan sekedar matinya seorang Brigjen TNI, bukan pula tentang tuduhan palsu kepada bawahannya yang tak sengaja bertikai sebelum korban terbunuh. Korban pembunuhan itu sudah terlibat dengan banyak kasus, salah satunya adalah tragedi kapal terbalik di awal tahun ini. Aku melihatnya dalam dokumen yang bertanda tangan Brigjen Poernomo dengan mengirim Lettu Theo Adimas Pramoedya ke Sulawesi Selatan bersama prajurit lainnya di Jawa Timur, dengan menggunakan transportasi kapal penumpang. Awalnya aku menduga itu hanya taktik politiknya untuk naik ke kursi pimpinan. Tapi kemudian kapal Siantar terbalik, kasus itu juga masih abu - abu di mataku, meski aku bisa melihat secara gamblang ada maksud melenyapkan disana.

Tapi kasus itu tak berhenti disana, ada pihak lain yang memanfaatkan uang kompensansi yang dijanjikan kepada keluarga korban justru mengalir ke rekening lain. Siapa di negera ini yang bermain? Apakah seluruhnya?. Tiga bulan lagi, akan ada pemilihan suara di kursi parlemen. Theo bilang akan mendapatkan bukti bisnis illegal para aparat untuk di ajukan ke pengadilan tinggi negeri di Jakarta. Pria itu berambisi menghabisi siapa saja yang berani mengancam membunuh istrinya. Benar - benar budak cinta negeri +62.

Pagi ini, sidang pertama kasus pembunuhan petinggi TNI itu di gelar. Aku sudah bersiap duduk di atas meja barisan terdakwa, menunggu Majelis hakim di kursi singgahsananya. Areno yang belum sepenuhnya pulih pun dipaksa untuk ikut dengan tubuh babak belur bersama kursi rodanya. Keluarga pria itu juga sudah duduk di kursi tamu persidangan. Aku hanya melihat orang tua Areno, Anita dan Sinta kakaknya. Tapi tidak dengan Theo.

Katanya Mah JODOH!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang