16. Wild first kiss

3.7K 444 14
                                    

Serupa bidadara, begitulah yang ingin sekali Jeongwoo ucap kala memandangi proporsi nyaris sempurna dari pemuda yang saat ini ia yakini tengah menahan agar tidak tiba-tiba berteriak karena terus saja ia tatap lamat.

"Bercanda, gue gak mabuk, Ruto. Serius." Ingin rasanya melempar tawa. Kala setelahnya Haruto nampak menghela napas lega pun di ikuti gerak tangan mengusap dada.

"Takut banget gue apa-apain ya?" ia hanya menebak, dan Haruto menoleh lantas mendengus sebal.

"Bukan gitu, kaget aja gue, lo nanya dengan tampang kaya mau makan orang gitu, gimana gak—"

"Degdegan?"

Iya, bodoh!

"Nggak! kan kaget, dih?! —mm, kata gue mah mending kita sudahi saja obrolan ini." Kata Haruto, membelok tatap pada tirai coklat yang menutup pemandangan langit gelap di luar sana, semata hanya agar tidak perlu bertukar tatap dengan Jeongwoo.

"Terus, masa mau diem-dieman, kaya orang musuhan."

"Ya emang kita temenan?"

"Kata gue sih mending pacaran."

Detak jantung Haruto rasanya terhenti, di susul rasa panas di pipi kemudian berkata, "gak usah mimpi, gue gak mau sama anak bandel kaya lo." Serius, terlontar begitu saja.

"Padahal kan gue gak bandel, cuma apa yang gue suka malah gak sesuai sama aturan sekolah aja, jadilah gue di cap bandel." Jeongwoo menyandarkan tubuhnya, menitik beban pada empuknya sofa. Tidak ada rasa marah mendengar ucapan Haruto, memang apa yang bisa di harapkan dari si kaku Jeongwoo? ia pun seringkali enggan memberi semangat untuk dirinya sendiri.

"Kok lo gak tersinggung? minimal marah kek, misuh kek, ngumpat atau apa kek, gue perhatiin kayanya lo kelewat sabar atau emang gak bisa emosi?" cerocos Haruto yang sekali lagi ingin sekali Jeongwoo tertawa, padahal dari kalimatnya tadi sudah memberi jawaban sendiri; bahwa Jeongwoo tidak bisa mengekspresikan segala emosi.

"Orang lo gak salah, gue kan emang bandel," katanya.

"Iya sih, apalagi kalo keciduk nyebat di atap, gue gak ngerti gimana lo bisa buka pintunya, dan kenapa juga selalu gue yang kebagian nyiduk lo." Dan lagi, mungkin malam ini akan menjadi realisasi spontanitas Jeongwoo tempo hari, mengobrol dengan Haruto tanpa gengsi.

Namun suara lenguhan dari kamar di sisi mereka membuat Jeongwoo menghela napas, "lo bisa masak air gak?" tanyanya random.

Haruto mengerutkan alis, tapi sedetik kemudian tetap mengangguk, "ya bisalah, cuma masak air doang, kecil!" katanya.

Jeongwoo langsung bangkit berdiri. mengamit tangan yang lebih kurus darinya, untuk kemudian ia pandu menuju dapur, "main tarik tarik sembarangan, di pikir gue tambang?" kesal Haruto setelah mereka sampai dan Jeongwoo hanya duduk di balik counter dapur setelah mengantar ia sampai di depan kompor.

"Lo terlalu cantik buat di samain sama tambang," katanya, seraya meraih dua buah cangkir dan satu sachet kopi instan serta teh dari kotak. Ceritanya mereka akan mengobrol di temani hangatnya kopi dan teh.

"Lo buta ya? seluruh penjuru sekolah juga tau kalau gue ini ganteng, aneh-aneh aja lo, dasar!" meski ia kesal, namun tangannya tetap bergerak memanaskan air, dasar Haruto.

Jeongwoo abai pada omelannya yang terus berlanjut, menjelaskan segala aspek yang mendukung ketampanannya, namun saat Haruto mengambil jeda, ia berkata, "ya udah lo ganteng, tapi gue lebih ganteng."

Setidaknya ia tidak lagi di katai cantik. Lalu kebiasaan secara alami menyita atensi Jeongwoo, Haruto kerap kali membawa rambut panjangnya ke belakang telinga, seperti anak gadis, tapi di mata Jeongwoo tentu saja Haruto jauh lebih indah dari yang biasa orang-orang elukan dari sosok seorang gadis muda.

Sampai pada masa dimana mereka duduk bersisian, berhadapan dengan cangkir masing-masing. Haruto sibuk sekali menyaksi perubahan warna hasil dari celupan kantung teh di cangkirnya, andai Jeongwoo bisa, mungkin ia sudah menjadi orang yang sering tersenyum karena apapun yang di lakukan Haruto entah mengapa selalu mampu menyita perhatiannya.

"Apa yang lebih indah dari diri lo sendiri sampai lo pandangi tanpa henti, Haruto?"

Menoleh untuk kemudian memberi dengusan kecil, "dari tadi ya Jeongwoo, ini efek minum apa gimana kok jadi banyak bicara?" tanya Haruto.

Ya memang benar, Jeongwoo yang lalu tidak seramai ini, Jeongwoo tempo hari sangat sunyi, seperti lorong gelap yang dalam dan tak berujung; misterius, tapi tidak bisa ia tutupi kalau itu semua mampu menyita ruang di dalam pikirannya mengenai si pemuda bersurai legam.

"Distraksi, daripada dengerin orang berkembang biak, terus jadi pengen, emang lo mau gue apa-apain?"

Sialan mulutmu Jeongwoo!

"Nggak lah! enak aja, lagian kalo mau pun bukan gue yang bakal di apa-apain, tapi lo."

Oops, Haruto... Jangan sampai iblis di dalam diri Jeongwoo bangkit karena bibirmu itu.

"Yaudah."

"Yaudah apa?"

"Ayo, buktiin."

"Nggak mau!" kardingan yang semula terbuka Haruto tarik bersesuaian dengan tangan yang menyilang menutupi dada. Niatnya menghalau iblis di dalam diri Jeongwoo, namun nyatanya inilah yang di sukai iblis itu.

"Gak jadi distraksi lah, lo gue perkosa juga sabi."

"Jeongwoo, mulutnya!?"

Jeongwoo menarik dan membuat kursi Haruto berhadapan dengannya, "kenapa mulut gue?" tanyanya, dengan intonasi sedalam samudra.

Astaga, sialan sekali kamu Jeongwoo!

Haruto rasanya tercekik hampir mati, kedua kaki Jeongwoo menahan kedua kakinya, pergerakannya terkunci. Belum lagi kedua tangan yang masih betah bertengger di depan dadanya sendiri juga mencoba menghalau Jeongwoo dengan memundurkan tubuh atasnya, "kotor banget sumpah, jauh-jauh gak lo?!" ancamnya dengan kedua mata yang membola, mencoba mengintimidasi namun hasilnya nihil.

Ia bahkan tidak bisa lari, satu tangan Jeongwoo kini bertengger di pinggangnya, menariknya sampai jarak tidak lagi mampu memisah. Membuat Haruto harus membeku karena benda kenyal yang kini menempel dan mulai bergerak di atas bibirnya.

Napas Haruto tertahan di dada, kedua tangan secara alami bergerak meremas kuat kedua bahu lebar Jeongwoo; mengimplementasi gemuruh asing di dalam dadanya, menyeruak masuk ke setiap rongga di dalam tubuh dan membuatnya kehilangan kekuatan.

"Hmph.."

Kelopak mata pun segera mengatup setelah dengan ajaibnya elusan tangan lebar Jeongwoo di sepanjang pinggang hingga punggungnya membuat ia merasa begitu tenang, pun begitu ciuman yang di pimpin Jeongwoo mulai menuntut dan kemudian membawa Haruto pada rasa yang amat sangat tak terduga sepanjang hidupnya.

Ini ciuman pertamanya.

tbc.

Walk You Home [JeongHaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang