32. Sampai Jadi Debu.

2.2K 328 59
                                    

Menengadah ia pandang cakrawala yang kelam. Mentari tak hadir hari ini, sedetik kemudian suaranya tertahan, seorang yang sedari tadi berdiri memandangi ia, tau-tau sudah berdiri di sisi.

"Jeongwoo?" basa-basi, Haruto tau sedari tadi sosok ini sudah bergerak mendekati.

"Jangan lari lagi," katanya, Jeongwoo sudah tak lagi berteman bebatan perban berikut bekas luka yang tak tertutup apa-apa di dahinya.

"Nggak, ini disini," kata Haruto.

"Hari ini, pulang bareng mau?" tanya Jeongwoo.

"Ngg.." harsa mendengung.

"Hari ini aja kok," kata Jeongwoo, membuat Haruto kemudian mengiyakan tanpa curiga.

Langkah demi langkah seiringan hingga berakhir bersisian menyusuri bahu jalan.

"Haruto."

"Iya?"

Berat rasanya bila bertanya. Tapi Jeongwoo tetaplah Jeongwoo, hari ini tidak akan bisa lagi terulang, tidak untuk kesekian kali.

"Masih marah?"

Haruto bungkam. Tak jua memberi anggukan ataupun sebuah gelengan.

"Ru, hari ini.. gue gak pernah ada niat buat deketin lo cuma karena penasaran," kata Jeongwoo. Di antara riuh ribut suara khas jalanan.

Namun Haruto tetap mampu mendengar setiap kata yang ia ucapkan.

"Gue udah nggak marah, Woo."

Langkah Jeongwoo terhenti, tepat di persimpangan teduh, ia tatap mata Haruto ketika sang lawan bicara jua menatapnya.

"Ru.." entah mengapa berat sekali rasanya sekedar menyua kata, tapi apalah daya, setiap waktu amat berharga. Tak 'kan ia biarkan ini berkahir sia-sia.

"Jeongwoo, Lo.. lo senyum!" pekik Haruto ketika di sela tatap, dari paras tegas Jeongwoo terselip senyum yang amat langka.

Sebuah senyum kecil yang pertama kali Haruto lihat dari parasnya. Bukan hanya ia yang terkejut, si empunya senyum pun sama. Hanya saja ia tetap bisa menahan ekspresinya, kembali sedatar biasa.

"Karena lo, Haruto."

Tautan tak bersentuh kembali tercipta, tatkala kedua netra kembali saling hadap.

"Makasih karena untuk sekian lama bisa bikin gue senyum," kata Jeongwoo.

Haruto kembali ambil andil jadi makhkuk bumi berhati rapuh, irisnya berkaca-kaca, jauh di dalam hati ia rasa hangat menjalar memenuhi seluruh tabula rasa.

"Jeongwoo..."

"Haru, lo tau gue bersyukur banget bisa ketemu sama lo."

"Jangan gitu, Woo, gue salting!" kata Haruto tanpa malu. Bagaimana ya, ia justru sedang amat malu sampai rasanya tak terhingga.

Langkah kembali berlanjut, menyusur trotoar bersisian dengan pengguna jalan yang lalu lalang.

"Woo..."

"Hm?"

"Makasih udah balikin pulpen gue waktu itu," kata Haruto setelahnya.

"Makasih karena udah bales pesan gue setelahnya," balas Jeongwoo menoleh memberi sekilas tatap pada si empunya pipi merona.

"Ah iya, Woo, gue boleh tanya?" tiba-tiba Haruto kembali berhenti.

"Apa?"

"Kalau lo bisa liat masa depan, kenapa lo nggak selametin Jaehyuk waktu itu?"

"Karena nggak semua masa bisa di ubah, nggak semua tau bisa jadi lebih dari sekedar ada," jawab Jaehyuk yang di balas Haruto dengan anggukan paham pelan-pelan.

"Kalau gitu, lo tau nggak habis ini kita ngapain?" pertanyaan Haruto kemudian menghantam Jeongwoo dengan sebuah penglihatan.

Amat singkat namun mampu membuat ia tercekat.

"Kita pulang bareng," katanya singkat.

Keduanya kembali melanjut langkah, kembali dengan obrolan mengenai apa saja yang Haruto ingin ucapkan, dan apa saja yang akan Jeongwoo jawab untuk segala yang ingin Haruto tau, tentang dunia, sekecil apapun itu.

"Kenapa mendung ya?" tanya Haruto sebelum langkah pelan mereka sampai di barisan para penyebrang jalan.

"Ya, karena nggak cerah."

Desis sebal terdengar, "ya itu mah gue juga tau kali!"

"Ya nggak tau, mungkin matahari lagi makan siang," kata Jeongwoo asal, ia dapat pukulan kecil di lengan.

Dalam hati meriuh senang, ia dan Haruto tak lagi di kuasai sunyi. Tak lagi senyap seperti berdua di batasi dinding kaca tebal. Semua mungkin baik-baik saja.

Sesampainya mereka di barisan paling belakang para penyebrang jalan.

Tiba-tiba saja Haruto merasa hangat di tangan yang ternyata Jeongwoo genggam erat-erat.

Ia tatap tautan yang tak kunjung terlepas, ia biarkan saja ketika ada rasa nyaman disana.

"Haruto."

"Iya?"

"Mau nggak, jadi pacar gue?"














































Bukan sebuah jawaban yang ia dapat melainkan langkah yang mengiring detik demi detik di lampu jalan.

Belum jua ia dengar suara Haruto berkata apa-apa, riuh ribut menguasi pendengaran, derap banyak langkah menjauhi barisan, suara klakson berbunyi besar-besar, dan yang terjadi selanjutnya adalah telinga yang seolah tak bisa mendengar selain suara klakson sebuah truk besar.

Genggaman di tangan Haruto ia lepas namun tak sesuai harap, Haruto malah lebih erat menggenggam jemarinya.

Detik berikutnya apa yang ia lihat hanya bentang langit abu-abu yang sejurus kemudian menumpahkan bebannya.

"Haruto..." suara tercekat di tenggorokan. Semua rasa sakit di sekujur badan tak lagi mampu membuat ia menggerakan indera.

Namun yang dapat ia pastikan hanya genggaman yang tak jua terlepas. Haruto menutup mata.

"Gue mau, Jeongwoo..."

"Gu-gue mau, jadi pacar..."

Ucap lirih dari labium berhias darah yang kemudian menghembus panjang napas tanpa susulan. Jeongwoo turut menutup mata.

Ia ucap dalam diam. Bentuk harap mana lagi yang ingin ia haturkan kepada pencipta dunia, agar semestanya bertahan, namun apalah daya, hari ini, di bawah hujan yang memeluk bumi, Jeongwoo dan Haruto pulang bersama.

tbc.

badai, tuan/puan telah berlalu.

Walk You Home [JeongHaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang