12. Alexithymia

2.9K 431 12
                                    

Kalau boleh meminta lewat berjuta kata, maka sepanjang usia akan Jeongwoo habiskan untuk memohon kepada Yang Kuasa agar satu satunya alasan ia tersenyum meski berat tetap berada disisinya.

Jeongwoo telah lama kehilangan permata dunianya, Chaeyoung Park; ialah sang Mama. Yang raganya telah menyatu dengan pertiwi sebab tak lagi ia mampu bertahan di dunia ini. tahun tahun telah terlewati, namun bagi Jeongwoo semua memori tragis itu baru saja terjadi tempo hari.

Masih terasa jelas genggaman tangan mama yang semakin mengendur bersamaan dengan napas beliau yang mulai putus-putus, kala itu, ketika tiga orang dokter telah memutuskan menyerah atas keadaan sang mama yang tidak lagi bisa mereka selamatkan dari ganasnya sebuah penyakit yang bersarang di otak.

Hari itu, rembulan yang semula menyinari dunia Jeongwoo telah di renggut alam semesta, ia yang redup kian mengelam bersama hari-hari yang kemudian ia lalui sendiri. Bukannya Jeongwoo tak terima kenyataan, hati yang kerap kali di cap telah lama mati itu hanya merindu persensi dan afeksi seorang ibu.

"Jeongwoo, mama tau kamu ini anak yang hebat, kamu anak yang kuat. Nggak apa-apa kalau papa nggak bisa menjadi milik kita seutuhnya, karena tidak semua hal harus sesuai keinginan kita, jadi kita harus bisa menerima semua ini ya," satu tahun sebelum mama tiada, ketika Jeongwoo mendapat sebuah hadiah tepat di hari ulang tahunnya dari sang papa, pria yang sejak lama ia elukan sebagai sosok bertanggung jawab itu datang bersama seorang wanita muda, menyatakan bahwa ia dan wanita itu adalah sepasang kekasih dan setelahnya drama hidup Jeongwoo semakin menjadi.

Satu tahun setelah kematian sang mama, ia genap berusia enam belas, satu hari setelah ulang tahunnya Junkyu menyeret ia untuk pergi ke sebuah rumah sakit jiwa, ruang seorang psikolog menjadi tujuan utama.

"Gue gak gila, Bang."

Junkyu hanya menghela napas, "lo gak gila, Woo, tapi gue tau ada yang gak sehat dari diri lo, sialan! Gak usah banyak bacot, ikut aja sama gue!" lalu mengerahkan segala kekuatan untuk mendorong adik sepupunya masuk ke dalam area rumah sakit.

Satu tahun adalah waktu yang Junkyu habiskan untuk menganalisa keadaan adiknya, untuk menelisik tawa atau sekedar lemparan senyum yang tidak lagi ia lihat dari Jeongwoo, senda gurau Jeongwoo sudah tidak lagi bisa ia dengar seperti dulu. Bukan lagi tentang anak-anak yang hanya tau bermain dan bermain, namun Jeongwoo sudah berubah, bukan menjadi remaja ceria tapi remaja yang kehilangan asa di dalam hidupnya.

"Alexithymia dapat di tangani dengan skill-based therapy, therapy kognitif dan perilaku, menitik pada penyebab dari Alexithymia yang terjadi pada adik anda, secara garis besar penanganan Alexithymia dapat di lakukan dengan mengobati penyakit pemicunya, yaitu trauma yang di alami oleh nak Jeongwoo."

Seusai mendengarkan, Junkyu beranjak keluar setelah di persilakan, Jeongwoo duduk sendirian di kursi selasar, mata itu menatap kosong. Tidak ada ekspresi berarti, tidak ada tunjukan emosi dari binar mata Jeongwoo.

Junkyu tidak lagi memaksa agar Jeongwoo datang kembali ke rumah sakit itu karena ia sadar bahwa pemicu Alexithymia yang di alami Jeongwoo bukan hanya karen trauma tapi ada satu hal besar yang akan bertahan selamanya, melekat pada jiwa sang adik dan membuat segala usaha sia sia.

•••

Haruto duduk merenung di kursi pemain cadangan, memilih untuk tidak ikut dalam latihan demi memusatkan pikiran pada maksud dari pertanyaan Jeongwoo, apa maksudnya, "lo siapa, Haruto?" memangnya, siapa? yang ia tahu, dirinya ini hanya anak remaja biasa yang lahir di bulan april dan hidup normal seperti manusia pada umumnya.

Lalu, apa yang membuat Jeongwoo sampai bertanya seolah dirinya ini bukan manusia bumi? Ini benar-benar membuat Haruto berpikir keras.

Saking kerasnya ia sampai tak sadar kala Jeongwoo bersama kelima temannya memasuki lapangan indoor dengan setelan olahraga.

Haruto masih mengabaikan teman temannya yang kini melawan tim futsal Jeongwoo. Sementara Jeongwoo sendiri kerap kali mengalih atensi pada raut muram Haruto, alis yang bertaut nyaris menyatu dan bibir yang sesekali mengerucut maju.

Lucu. Namun sayang tidak jua mampu membuat Jeongwoo menebar senyum.

Haruto yang tidak fokus hampir saja menjadi korban hantaman bola basket dari lemparan Yoshi kalau saja Jeongwoo tidak segera bergerak menjadi tameng dan akhirnya mengorbankan bahunya untuk melindungi Haruto.

Teriakan dan suara hantaman membuat Haruto akhirnya sadar, mendapati eksistensi Jeongwoo yang menatapnya tanpa ekspresi, pun dengan bola basket yang memantul menjauh dari posisi mereka.

"Jeongwoo!?" memekik tertahan sewaktu tangan si Park bergerak memegangi pundaknya, lantas menoleh pada teman-teman yang mulai berkerumun mengitari mereka.

"Anjir, Woo, lo gak papa?!" suara Junghwan meninggi kala ia sampai lebih dulu.

Sementara Haruto masih sibuk mencerna situasi, Yoshi mengambil bola basket yang hampi melukai Haruto tadi, "sorry, gue gak sengaja, sumpah, Woo!" katanya, dengan segenap rasa bersalah, takutnya ia mendapat pukulan gratis dari Jeongwoo, itu bukan hal yang sehat bagi wajahnya yang tampan, pikirnya narsis.

Namun nyatanya Jeongwoo masih tetap sama, ia bahkan sudah tidak lagi mengusap bahunya, "lo gak papa?" dan malah melempar tanya pada Haruto, satu-satunya orang yang tidak tau apa-apa.

Genap sepuluh dahi yang di tepuk oleh pemiliknya sendiri akibat respon Haruto yang hanya, "hah?" seperti orang bodoh di hadapan Jeongwoo dan mereka semua.

"Lo demam ya? tadi lo hampir kena bola kalau gak ada Jeongwoo yang halau," kata Doyoung yang gemas dan justru ingin memantulkan bola basket di tangannya ke kepala Haruto dengan sengaja.

"O-oh, ohhh, Jeongwoo!"

"Maaf, gue gak sadar, tadi.. gu-gue gak fokus, sumpah!" dan kemudian kerumunan bubar jalan, secara alami memuakan diri dengan kebodohan Haruto di hadapan Jeongwoo yang hanya diam.

"Bahu lo sakit? sakit banget pasti kan ya? ma-mau gue obatin? kita ke uks, ya? sumpah, Woo gue gak sadar.." Haruto lantas berdiri dan begitu saja mengamit tangan Jeongwoo, menarik pemuda itu keluar lapangan sambil terus meracau kalau dia tidak sadar dengan situasi tadi.

Suara berat Haruto terus mengalun di iringi langkah mereka menuju uks, selama itu pula Jeongwoo memilih diam dan memandangi tautan tangannya dengan si Watanabe, genggaman yang terasa hangat dan juga nada khawatir dari setiap kata yang Haruto ucapkan.

Jeongwoo masih mengekori sampai akhirnya ia di minta untuk duduk di sebuah brankar kosong di uks yang sepi. Haruto kembali bersama mangkuk besi berisi air hangat dan sebuah handuk kecil di tangannya.

"Eum.. Jeongwoo, buka baju?"

Mata Jeongwoo menatap datar, ia bahkan hanya menurut saat Haruto memintanya melepas seragam olahraga bagian atasnya, lagipula bahunya memang sakit, tapi ada yang lebih hebat menguasai atensi Jeongwoo.

"Kenapa muka lo merah?" bukan, pertanyaan ini bukan bermaksud menggoda, ia bertanya serius mengenai semburat merah samar yang semakin ketara dari wajah Haruto.

"Haruto, lo liatin apa?" Jeongwoo kembali melempar tanya, ketika mata Haruto seolah enggan berkedip setelah dengan sekali tarikan ia melepas seragamnya.

Haruto sedang berusaha untuk tabah; setabah-tabahnya, karena demi Tuhan pemandangan tubuh atas Jeongwoo sangat.. hh, sialan!

'Hhh, mau pingsan aja rasanya..' inner Haruto pun tak sanggup lagi.

tbc.

Walk You Home [JeongHaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang