Chapter DCCCLIV

1.3K 361 38
                                    

“Ayo kalian semua, ikut Ibu!” pinta Sachi sembari berlalu melewati sosok Elf di depannya.

“Jaga diri kalian! Dan maaf, karena sudah menyakiti kalian.”

Ihsan sedikit membungkuk ke arah Kakek Buyutnya … Apa yang ia lakukan, juga diikuti oleh ketiga adiknya. “Ayo Sema! Anka! Huri! Kita susul Ibu!” perintahnya seraya turut melangkah, meninggalkan Kakek Buyut mereka seorang diri.

Sema mempercepat langkahnya. Dia berlari … Mendekati Ibunya tanpa mempedulikan kakak dan adik yang masih berjalan di belakangnya. “Ibu, apa kita benar-benar akan pergi dari sini untuk menemui Ayah?” Anak laki-laki tersebut begitu antusias bertanya pada Ibu yang berjalan di sampingnya.

Sachi menunduk, menoleh pada anak laki-lakinya itu, “benar, kita akan pergi untuk mencarinya. Dan kau!” tukas Sachi sambil menjatuhkan telunjuk ke arahnya, “dilarang untuk berkeliaran tanpa izin dariku! Di sana sangat berbahaya, jadi jangan terlalu jauh dariku. Apa kau mengerti?!”

“Apa di sana benar-benar berbahaya?” Sema bergumam, sambil memalingkan wajah dari pandangan Ibunya.

“Di sana sangat berbahaya. Bahkan kalian, tidak boleh sembarang menemui sesama Manusia. Mereka akan melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan mereka … Para manusia, justru lebih menakutkan dari Para Elf. Jadi Ibu pinta, selama di sana, kalian hanya diperbolehkan mendengar ucapanku saja!”

“Ibu, kenapa Ibu berkata seperti itu kepada mereka? Karena aku, merasa tidak dimanfaatkan oleh Miyu. Aku sudah menganggapnya seperti Adikku sendiri-”

“Benarkah?” Sachi menyergah ucapan putranya, Ihsan. “Rusa milik Ibu, yang selalu mengawasi kalian, berkata … Pada saudara kandungnya sendiri ia sanggup mengejeknya, bagaimana jika dia berakhir bersama Putramu?”

“Kalau kau berpikir bahwa Miyu menganggapmu seperti kau menganggapnya. Itu berarti kau masihlah jauh dari kata dewasa, Putraku! Kau masih harus mempelajari banyak hal! Kalian masih harus mempelajari banyak hal! Karena itulah, aku ingin kalian melihat dengan mata kepala kalian sendiri … Seperti apa, Manusia yang sesungguhnya itu!”

“Setelah kalian puas mempelajari mereka. Kalian bisa memilih … Mau jadi manusia seperti apa kalian nanti! Ibu ingin kalian kuat untuk mempertahankan hidup dengan cara kalian sendiri!”

Sachi terdiam. Lirikannya bergerak ke kiri sesaat sihir yang begitu ia kenal, ia rasakan. Diraih dan digenggamnya Sema yang berjalan di sebelah kanannya, “lewat sini! Kalian semua tahan napas saat melewati gerbangnya nanti! Gerbang milik Kou begitu dingin, Ibu takut kalau kalian masih belum terbiasa,” ucap Sachi sambil menarik Sema agar berjalan mengikutinya.

Ihsan melangkah di belakang Sachi, setelah sebelumnya dia meraih dan menggenggam erat tangan Anka. Mereka berlima … Berjalan secara beriringan, ke sebuah gerbang es yang muncul. “Tahan napas kalian! Tahan napasmu, Sema!” perintah Sachi, sesaat kakinya hendak melewati gerbang tadi.

Mata Sachi terpejam. Hawa dingin yang menusuk kulit, membuatnya seketika bergidik. Hawa dingin tersebut sangatlah berbeda dari hawa dingin yang Kou keluarkan … Begitu gelap, hingga membuat siapa saja yang tersentuh hawa dingin tadi, pasti akan langsung merasa putus asa.

Dalam waktu yang begitu singkat sejak mereka melewati gerbang tadi. Sachi sudah dikejutkan oleh Huri yang tiba-tiba menangis dari arah belakangnya. “Kita pulang, Ibu! Aku tidak ingin berada di sini,” gadis tersebut menangis di rangkulan Ihsan yang berusaha memapahnya.

Sachi yang mengerti benar, dengan apa yang putrinya rasakan itu segera berjongkok, “Huri, ibu tahu bahwa tempat ini terasa menakutkan untukmu. Ibu pun juga merasakannya … Tenanglah! Ada Ibu. Tidak akan terjadi apa-apa padamu,” ucap Sachi, berusaha menenangkan putrinya.

“Aku takut, Ibu. Di sini membuatku takut! Mustahil ada manusia yang masih bertahan hidup di sini!” sahut Huri, begitu gemetar saat mengucapkannya.

“Huri!” Sachi membentaknya, “Ayahmu masih hidup di sini! Begitu juga dengan Paman dan Bibimu! Kakek, Nenek dan Bahkan Takumi pun masih hidup di sini! Kalau kau tidak bisa mengalahkan rasa takutmu, sebaiknya kau tinggal saja di Dunia Elf!”

“Kau lihat tangan kecil yang aku genggam ini! Tangan ini gemetar tanpa henti semenjak kita belum meninggalkan Dunia Elf. Namun lihat dia! Apa dia mengucapkan sesuatu yang tidak-tidak saat ini?!”

“Ibu tidak bisa melindungimu, kalau kau saja tidak bisa melindungi dirimu sendiri! Kau ingin aku pulangkan ke Dunia Elf atau hapus tangisanmu segera!" Sachi sama sekali tidak menurunkan nada bicaranya, "tangisanmu itu, mengundang kami semua dalam bahaya. Apa kau, ingin kami semua terkena bahaya oleh apa yang kau lakukan?"

"Tidak, Ibu!" Huri tertunduk, diikuti kedua tangan terangkat mengusap tangisannya sendiri.

Sachi menghela napas begitu pelan. Dia menempelkan tangannya ke pipi putri tercintanya itu, "Huri, Ibu tahu kau takut. Ibu pun juga sama takutnya. Namun, menunjukkan kelemahan ... Merupakan sebuah kesalahan terbesar yang sulit untuk dimaafkan."

"Huri! Akan ada banyak sekali orang yang menginginkanmu. Entah karena kecantikanmu! Entah karena status keluargamu! Entah karena kekuatan yang kau miliki! Jika salah satu di antara mereka melihat kelemahanmu ini ... Mereka akan memanfaatkan kelemahanmu itu, untuk keuntungan mereka sendiri."

"Kau begitu menyayangi keluargamu! Maka mereka akan mencari cara untuk mengobrak-abrik keluargamu agar kau mau mengikuti mereka. Apa kau menginginkan hal itu terjadi?"

Huri yang masih tertunduk itu menggeleng pelan untuk ucapan Ibunya. "Bagus, kau memang putriku!" cetus Sachi hingga anaknya itu mengangkat wajah, menatapnya, "Ibu juga sama sepertimu dulu. Namun Ibu memiliki, Paman Haruki dan Izumi yang selalu siap menghibur dan melindungi Ibu."

"Karena itu juga, Ibu meminta kalian untuk saling menjaga. Kalian berempat harus saling mendukung dan saling percaya ... Ibu ingin kalian kuat! Sama seperti kami," sambung perempuan tersebut, sembari memandang wajah keempat anaknya secara bergantian.

"Kak Huri, aku akan menjagamu. Jadi jangan takut lagi!" seru Sema, dia menarik tangannya dari genggaman Sachi lalu berjongkok di depan kedua kakaknya.

"Anka juga! Anka akan menjaga Kak Huri. Kak Huri jangan menangis lagi!"  Anka tak kalah menyahuti ucapan Sema.

"Terima kasih," jawab Huri penuh sesenggukan, "aku juga akan menjaga kalian."

Sachi tersenyum. Tangannya yang masih menyentuh pipi Huri, kini sudah berpindah mengusap kepala putrinya itu. "Ibu meminta Kou untuk jangan terlalu membawa kita mendekati Paloma. Namun, di mana kita sekarang?" Dia beranjak, dengan seribu gumaman pada dirinya sendiri.

"Siapa peduli! Kita harus lanjut berjalan saja. Beranjaklah, Huri, Ihsan, dan kalian berdua! Kita tidak boleh berdiam diri saat berada di tempat asing, karena kita tidak tahu ... Musuh seperti apa yang akan kita hadapi."

"Kakek, ke arah mana kami harus pergi? Tolong bantu kami!" pinta Sachi sambil tertunduk, menatapi tanah gersang yang ia pijak.

Sachi berbalik kala sihir yang begitu lemah, sekilas ia rasakan. Dari dalam tanah, muncul beberapa tunas yang langsung layu kembali dalam beberapa hitungan, "terima kasih, Kakek!" tutur Sachi, sambil membungkuk meraih tangan Sema berserta Anka lalu menarik mereka berdua agar mengikutinya untuk berjalan ke arah beberapa tunas yang tumbuh tadi.

Our Queen : Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang