Chapter DCCCLXXV

850 295 8
                                    

Sachi lagi-lagi melangkah mendekati salah satu kursi di dekat mereka lalu menduduki kursi tersebut, “maaf Ryu, aku tidak tahu alasan kau menginginkan benda tersebut. Tapi aku tidak bisa memberikannya, karena sejak aku terbangun … Uki menolak memberikan air matanya lagi pada siapa pun, termasuk pada diriku sendiri.”

“Begitukah?” Perasaan kecewa terlihat jelas dari nada bicara Ryuzaki, terutama ketika dia menunduk di hadapan saudari kembarnya itu.

“Sihirku mulai pulih, jadi aku memutuskan untuk membawa keluargaku pulang ke Sora karena Yuichi dan Sarnai ingin sekali bertemu mereka. Amanda dan anak-anaknya juga ikut bersama kami karena mereka ingin bertemu dengan Kak Haruki.”

“Sesampainya di Sora … Keadaan mereka jauh lebih buruk dari yang kubayangkan. Kak Haruki berserta Eneas, terlihat sudah kehilangan banyak berat badan mereka. Mungkin buah-buahan yang kakek tumbuhkan setiap hari di sana, tidak mencukupi untuk semua orang di dalam istana … Mungkin!”

“Yang lebih buruk, ialah kondisi Ayah. Dari yang aku dengar, bahwasanya saat itu Ayah terkena hujan dan Ibu mencoba menyelamatkannya dengan menarik dan memindahkan kegelapan tersebut ke dalam dirinya. Namun yang terjadi, Ayah memang selamat tapi keadaannya begitu buruk.”

“Ayah masih bisa duduk walau harus dibantu, sedang keadaan Ibu juga tak kalah buruknya karena melihat kondisi Ayah yang semakin hari semakin melemah.” Ryuzaki menghentikan ucapannya beberapa saat, “mereka ingin semua anak-anaknya berkumpul! Ayah berkata, dia berharap bisa memeluk putrinya sebelum dia….”

Ryuzaki menunduk. Begitu jelas kekhawatiran yang diperlihatkan wajahnya saat itu, “aku sudah menjemput Kak Izumi dan keluarganya. Mereka sekarang sudah berada di Sora, menemani Ayah dan juga Ibu.”

“Ihsan!” Sachi memanggil putranya walau ketika itu wajahnya masih tertunduk lesu mendengar ucapan Ryuzaki, “temui Bibi Sabra! Katakan kepadanya kalau Ibu memerlukan benda yang ada padanya!”

“Baik Ibu, aku akan segera pergi menemui Bibi Sabra!” sahut Ihsan, sebelum kepala Sachi mengangguk, untuk menimpali ucapannya.

“Sabra masih menyimpan air mata Uki yang kutitipkan delapan tahun lalu. Aku tidak tahu, kalau air mata tersebut dapat menyembuhkan Ayah, ataukah tidak!” Perempuan itu terdiam, sambil menggigit bibirnya yang begitu gemetar, “hanya itu yang bisa aku lakukan. Maaf Ryu, aku tidak bisa kembali ke Sora,” sambungnya saat sudah mengangkat lagi wajahnya.

Ryuzaki mengangguk pelan, “tidak apa-apa. Aku paham kenapa kau melakukannya.”

“Aku ke dalam sebentar, ada sesuatu yang ingin aku titipkan,” ucap Sachi sembari beranjak lalu pergi meninggalkan mereka yang ada di sana.

Sachi membawa langkah kakinya melewati meja makan yang masih berada Huri, Sema dan Anka di sana. Dia terus saja berjalan ke arah dapur, mendekati sebuah gerabah dan juga almari yang ada di sudut dapur. Air mata perempuan itu jatuh, tatkala tangannya menyentuh almari, hendak membukanya. “Ayah!” ucapannya terdengar goyah, tak begitu jelas oleh tangisan miliknya.

Sachi berjongkok … Wajahnya menunduk dengan kedua telapak tangan yang menutupinya. Dia sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya, sesaat perkataan Ryuzaki akan keluarganya kembali mencuat di dalam tubuhnya. “Ibu!” Dengan cepat Sachi menghapus tangisannya, lalu menoleh pada suara yang memanggilnya.

“Ibu, apa terjadi sesuatu?”

Sachi menggeleng, perempuan itu langsung bergegas berdiri ketika Huri melangkah mendekatinya, “tidak terjadi apa-apa!”

“Ibu?”

“Huri, apa kau bisa meninggalkan Ibu sendirian saat ini? Ibu mohon!”

“Tapi Ibu-”

“Jika kau mengkhawatirkan Ibu … Ibu baik-baik saja, Nak!”

“Baiklah, Ibu. Ibu, jangan bersedih!”

“Tidak akan! Lanjutlah lagi makan bersama adikmu!”

Tarikan napas Sachi begitu dalam, ketika Huri sudah keluar meninggalkannya sendirian di Dapur. Sachi lagi-lagi menunduk, dia kembali melanjutkan tangisannya dengan salah satu telapak tangan menutup matanya sendiri. “Aku ingin bertemu mereka! Aku ingin menemui Ayahku. Aku ingin bertemu dengannya! Jika dia sakit, maka aku ingin sekali merawatnya,” tangis Sachi yang kembali berjongkok.

“Maaf, Ayah! Maafkan aku! Aku tidak bisa bertemu denganmu … Aku tidak ingin menarik anak-anakku dalam bahaya!” isaknya, yang terus saja tertunduk, menyembunyikan wajahnya.

“Ayah!”

Sachi segera menarik tangisannya. Dengan cepat, diangkatnya juga wajah, lalu beranjak … Sesaat, suara Anka terdengar di dalam telinganya. “Zeki!” ungkapnya, saat melihat sosok Zeki muncul dan berjalan ke arahnya.

“Kalau hanya berkunjung kita bisa melakukannya. Walau bagaimana pun mereka juga keluargamu … Dan aku tahu, sebanyak apa kau menyayangi mereka.”

“Aku dan Lux telah memberi syarat pada Ryuzaki, agar tidak memperbolehkan manusia mana pun kecuali keluargamu berada di dekat Istana jika ingin kita berkunjung ke sana. Dan Ryuzaki sudah menyanggupi semuanya.”

“Dia sekarang sudah pulang ke Sora, dan akan kembali ke sini kalau semua syarat tersebut telah ia penuhi. Berkemaslah kalau kau ingin mengunjungi keluargamu! Aku ingin keluar sejenak menemui Akash dan juga Ekrem, memberitahu mereka untuk menjaga tempat ini selama kita pergi.”

“Jangan bersedih lagi!” ungkap Zeki sambil mengusap pelan kepala istrinya, “melihatmu bersedih ikut membuat dadaku sesak.”

Tangan Zeki bergerak turun menyentuh punggung Sachi, “pinta Huri untuk membantumu membereskan barang-barang kita! Aku akan segera kembali setelah menemui mereka.”

___________.

“Ibu, kenapa kita berkemas? Apa kita akan pergi lagi?”

“Kita akan pergi mengunjungi Kakek dan Nenek kalian di Sora! Ingat, untuk selalu menjaga sikap kalian di sana!” sahut Sachi untuk pertanyaan Sema, ketika dia dengan lambat menuruni tangga sambil membawa dua buntalan kain di tangannya.

“Jangan nakal! Bersikaplah yang baik! Karena mereka sedang tidak sehat saat ini!”

Sachi meneruskan kakinya berjalan mendekati kursi lalu menyandarkan buntalan-buntalan di tangannya, ke sisi kiri kursi yang hendak ia duduki. “Ayah dan Kakak kalian lama sekali kembalinya,” gumam Sachi ketika dia sendiri sudah duduk dengan bersandarkan punggung ke kursi.

Sachi mendongak … Dia menatap Lux yang terbang ke arahnya, sesaat sihir Lux ia rasakan. “Saat di sana nanti, aku harap kau jangan terlalu memaksakan dirimu, Sachi!” ujar Lux ketika dia terbang tepat di hadapan wajah Sachi.

“Aku mengerti!” jawab Sachi sambil mengangguk, “aku tidak ingin melakukan hal bodoh lagi. Setelah memastikan keadaan Ayah baik-baik saja … Kita akan meninggalkan Sora.”

Mata Sachi berpaling ke arah pintu yang berderit. “Kau sudah kembali, Ihsan? Bagaimana? Apa kau mendapatkannya?” tanya Sachi kepada pemuda yang baru saja membuka pintu.

Ihsan menutup pintu itu lagi lalu berjalan mendekati Sachi, Ibunya, “apa benda ini yang Ibu inginkan?” Ihsan balas bertanya sembari memberikan sebuah guci kecil ketika ia sendiri sudah berjongkok di dekat Sachi.

Sachi meraih guci tadi. Aliran sihir milik Uki, ia rasakan begitu lemah dari guci tersebut kala ia menggenggamnya, “benar! Ini benda yang Ibu maksudkan,” jawab Sachi seraya menunduk, menatapi guci kecil di tangannya itu.

Our Queen : Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang