Chapter CMXV

687 145 22
                                    

“Kou, ada apa?” Sachi menanyai Kou yang mendadak berhenti di udara.

“Lihat ke depan, My Lord!” pinta Kou, berserta dengan geraman yang membekukan udara di sekitar mulutnya.

Sachi mengikuti apa yang Kou arahkan. Ia bergidik, menelan ludah, disaat berbagai sihir menyeruak … Memenuhi langit. Sachi tercekat! Tangannya tanpa sadar memeluk erat leher Kou tatkala Kou mendadak terbang miring ke kanan. Dengan napas terengah oleh apa yang baru saja dialami, Sachi mendongak, mengikuti semburan es yang Kou tembakkan ke atas kepala mereka berdua.

Tawa perempuan yang tertiup embusan angin, begitu nyaring memekakkan telinga Sachi hingga dia pun harus mau tak mau menutup telinganya. “Bagus sekali kalian bisa menghindarinya!” tawa sebelumnya berganti menjadi seruan dari seorang perempuan setengah burung yang tengah mengendarai sesosok hewan berkaki empat, berwajah manusia.

Kedua makhluk tadi berhenti terbang. Perempuan setengah burung yang sebelumnya hendak menyerang Sachi itu menyeringai lebar. Tubuhnya yang tak diselimuti sehelai benang pun itu, tampak memperlihatkan kedua buah dadanya yang berlumuran jejak darah … Sudah mengering.

“Akhirnya kau datang, Takaoka Sachi,” suara serak yang dikeluarkan perempuan itu seketika membuat Sachi lagi-lagi merinding, “Our Lord, melarang kami untuk menyakitimu … Jadi kau bisa tenang!” serunya dengan mengubah nada bicara kala mengucapkan kata-kata terakhir.

“Tidak baik seorang Ratu mengabaikan seseorang yang sedang berbicara. Apa kau tertarik padanya?” Jantung Sachi begitu kuat berdetak, bak bisa menebak kekhawatiran Sachi … Perempuan setengah burung itu lagi-lagi tersenyum lebar sembari mengusap kepala dari hewan yang ia tunggangi.

Hewan bersayap, berwajah manusia yang ia tunggangi itu juga bukanlah hewan sembarangan. Hewan tersebut … merupakan hewan pembawa kutukan yang beberapa kali memberikan kesulitan untuk Sachi. Dan bukan hanya itu! Hewan pembawa kutukan yang membuat Uki harus mengeluarkan kekuatan penuh untuk mengalahkannya dulu … Jumlahnya….

“Saat di Yadgar kalian telah membunuh salah satu rombongan mereka.” Perempuan setengah burung lagi-lagi berucap seraya terus melanjutkan belaiannya, “kami bersusah payah menghibur mereka agar tidak bersedih dulu.”

“Kami membawa beberapa dari mereka untuk menjemputmu.”

“Beberapa dari mereka?” Sachi balik bertanya, berusaha untuk menyakinkan ucapannya.

“Beberapa dari mereka,” sahut perempuan tadi, sebelum ia tertawa kencang yang hampir memperlihatkan urat-urat hijau kebiruan di lehernya, “jangan-jangan kau mengira bahwa Tuan hanya memiliki satu hewan seperti mereka?” sambungnya yang semakin lantang tertawa.

“Kami memiliki banyak pasukan seperti mereka. Bahkan di Hutan yang kalian katakan Terlarang … Tak terhitung jumlah mereka yang hidup di sana.”

“Bayangkan Takaoka Sachi!” tutur perempuan setengah burung tadi setelah ia selesai tertawa, “awalnya kami berencana melepas mereka untuk menyebarkan kutukan ke seluruh Dunia. Namun apa?” Dia mendadak berhenti sambil menyeringai lagi.

“Hujan yang kau sebabkan … Bahkan membawa penderitaan yang lebih pada Manusia dari apa yang akan kami sebabkan.”

“Menakjubkan! Hujan yang kau buat benar-benar menakjubkan!”

Tangan Sachi mengepal erat. Ia menggigit bibirnya penuh geram tatkala mendengar sepatah demi sepatah ucapan yang perempuan itu lontarkan. “Hentikan omong kosongmu itu! Atau aku akan,” geram Sachi yang dibalas senyum lebar dari perempuan setengah burung.

“Kazuma!”

“Manusia di sana menyebut dirinya Kazuma. Jiwanya, berasal dari Dunia yang sama denganmu.”

“Apa kau ingin menemuinya?”

Sachi mengernyitkan alis saat mendengar nama yang disebutkan. Wajahnya tertunduk sebelum ia akhirnya kembali menatap perempuan itu, “apa kalian sedang coba menipuku?” Sachi balas bertanya padanya.

“Tidak ada gunanya kami melakukan itu. Asal kau tidak berniat untuk macam-macam … Akan kami tunjukkan jalannya.”

________________.

“Apa kau kehilangan akalmu, Zeki!”

“Beraninya kau membunuh Ayah kami! Apa Sachi mengetahuinya?!” Dengan wajah merah padam menahan amarah, Haruki yang saat itu tengah terikat, berusaha sekuat mungkin untuk terbebas dari ikatan tali di tubuhnya.

“Lepaskan aku! Aku bersumpah akan membunuhmu dengan tanganku sendiri, Zeki!” amuk Haruki kembali tatkala dua orang Kesatria di bawah perintah Zeki menahan tubuhnya agar tak berkutik.

“Zeki!” Kali ini Izumi yang melantangkan suaranya, “jelaskan tujuanmu melakukan semua ini?!” Wajah Izumi tak kalah merahnya dengan Haruki.

“Zeki! Apa yang kau lakukan? Lepaskan keluargaku!” Adinata yang saat itu ikut ditangkap bersama keluarga dan pasukannya, turut memberontak … Mencoba untuk melepaskan dirinya.

“Ayah! Ayah, aku takut!”

“Jangan Takut, Akemi! Ayah tidak akan membiarkan seorang pun menyakitimu,” ucap Izumi, mencoba menenangkan Putranya yang saat itu bersembunyi di balik punggung Ebe, Ibunya.

“Bagaimana? Apa kalian sudah membawa pergi mereka?” Zeki mengabaikan kata-kata yang tertuju kepadanya. Ia lebih memilih berbicara pada Akash, salah satu prajurit kepercayaannya, “apa mereka mengetahui semua yang terjadi di sini?” pertanyaan kedua Zeki lemparkan tatkala ia sudah mendapat jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

“Tidak, Yang Mulia! Mereka pergi tanpa mengetahui apa-apa. Pasukan yang kuperintahkan, telah membawa mereka ke hutan.”

“Bagus!” jawab Zeki singkat, diikuti tubuhnya yang baru berbalik … Menatap mereka yang telah ditahan oleh pasukan miliknya, “Emre, bawa bungkusan di tanganmu ke sini lalu lemparkan ke tengah-tengah mereka!”

“Zeki!”

“Akan kubunuh kau, Zeki!” Amarah dari Haruki dan Izumi begitu membuncah, dikala isi bungkusan yang Emre lempar menggelinding di tengah-tengah mereka.

Jeritan penuh histeris terdengar saat itu juga dari bibir Amanda, Miyu, Sarnai dan tak luput Ebe serta Julissa yang keadaannya telah sedikit membaik oleh air mata Uki yang sempat Sachi berikan. Ayah! Kakek! Paman! Ketiga sebutan itu terdengar beriringan dengan potongan kepala yang menggelinding tadi.

“Aku telah membunuh musuh yang sangat ingin kalian habisi….”

“Tutup mulut kotormu itu, Ze….”

“Dia Kaisar yang selama ini kalian incar,” tutur Zeki, membungkam Haruki yang menyelip ucapannya, “Dia selama ini menyamar menjadi Takaoka Kudou … Dia selama ini telah membohongi kita semua.”

“Yang begitu ingin mengincar kematian Sachi, dan yang telah menyebabkan banyak penderitaan untuk kalian adalah dia.”

“Omong kosong apa yang….”

“Apa yang aku katakan ini adalah sebuah kebenaran Izumi!” sahut Zeki, menyumpal Izumi hingga menghening oleh ucapannya, “aku tidak ingin kehilangan dirinya lagi. Oleh karena itu, aku ingin menyelesaikan ini semua secepat mungkin agar dia segera kembali.”

“Sekarang ini dia sedang pergi melakukan sesuatu yang tidak ia beritahukan padaku. Ia kembali melakukan semuanya seorang diri. Aku akan menyelesaikan ini semua, agar dia tidak perlu lagi menanggung beban yang tidak seharusnya ia dapatkan.”

“Saat dia pulang, kalian bisa menanyakan kebenaran ini padanya. Kalian tidak mempercayaiku pun, aku tidaklah peduli. Akan tetapi….”

“Kau mempercayainya, kan?” Zeki melempar pertanyaan pada Haruki yang memandangnya penuh kemurkaan, “sebagai Kakak, kau mempercayai adikmu, kan?”

“Kita hanya harus menunggu dengan tenang kepulangannya.”

“Semuanya akan baik-baik saja, kan? Itu benar, kan, Istriku?”

Our Queen : Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang