“Kenapa? Kau ingin menyerah sekarang?”
Sachi masih tertunduk, memandang tetesan darah yang baru saja jatuh dari mulutnya. “Tutup mulutmu, Bernice!” sahut Sachi dengan napas tersengal.
Dia mengangkat pandangannya, lalu menyeringai ke arah Bernice yang juga tak kalah buruk kondisinya, “sudah berapa gigimu yang kupatahkan hari ini? Apa kau sudah ingin menyerah?”
Sachi berdiri dengan sedikit sempoyongan. Salah satu matanya yang lebam itu, membuat jangkauan penglihatannya sedikit terbatas. Dia mengambil napas panjang, sebelum kedua kakinya berlari … Berlari kencang ke arah Bernice yang telah menunggunya.
Sachi melompat, mencoba menghindari tendangan Bernice. Dia memegang kedua pundak Bernice, menjadikan kedua pundak tadi sebagai tumpuan hingga tubuhnya berputar di atas Bernice, lalu mendarat tepat di belakang perempuan berkulit gelap tersebut.
Sebelum Bernice sempat menoleh! Sachi dengan cepat menerjang lipatan pada salah satu dengkul Bernice, hingga kaki Bernice sendiri tertekuk … Dengan pukulan siku yang Sachi berikan pada wajah Bernice, melengkapi serangannya yang tak terduga ketika itu.
Sachi mundur beberapa langkah. Dia masih tak melepaskan pandangannya pada Bernice yang mencoba berdiri lagi, setelah diam beberapa saat oleh pukulan pemberiannya. “Aku lupa bahwa kau seorang yang sangat licik! Bahkan dalam pertarungan satu lawan satu pun, kau tidak pernah lupa menggunakan akalmu,” ungkap Bernice, sambil membuang ludah bercampur darah ke pasir kasar yang ia injak.
“Semua seranganmu mudah sekali dibaca, karena kau selalu melakukan hal yang sama! Kalau kedepannya kau menemukan musuh sepertiku, sudah dipastikan kau akan mati di tangannya,” timpal Sachi, diikuti salah satu kakinya yang bergerak mundur, membentuk kuda-kuda.
“Terima kasih untuk saran yang kau berikan!” sahut Bernice, sembari mengusap mulutnya sendiri, “kau memang lawan yang tangguh! Aku beruntung, dapat berduel satu lawan satu melawanmu,” sambungnya yang tersenyum sebelum menarik juga kakinya ke belakang, membentuk kuda-kuda yang hampir sama seperti Sachi.
“Apa masih belum selesai?”
Baik Sachi dan Bernice, segera mengalihkan tatapan pada suara perempuan yang terdengar tadi. “Sachi, ada yang mencarimu!” tukas Sabra, sambil melirik pada seorang anak laki-laki yang berdiri di sebelahnya.
“Dia datang ke rumah dan berkata ingin mencari Ibunya!” lanjut perempuan tadi dengan berjalan mendekati Sachi berserta Bernice yang juga terdiam.
Sachi berjongkok, diikuti tangan yang terangkat ke arah anak laki-laki di sana, yang terlihat ketakutan menatapi mereka, “ada apa, Anka? Apa ada sesuatu yang kau butuhkan dari Ibu?” tanya Sachi kepada anak laki-laki tersebut.
“Kenapa Bibi memukul Ibuku? Apa Ibuku sudah jahat kepada Bibi?!” Bibir Sachi terkatup, dia tak menyangka bahwa Anka akan berteriak marah seperti itu.
“Aku? Aku memukul Ibumu?” sahut Bernice hingga membuat Sachi menoleh padanya, “apa kau tidak lihat! Aku yang lebih babak-belur dihajar olehnya!”
“Ibumu ingin menangis, jadi aku menemaninya!” lanjut Bernice dangan nada suaranya yang telah berubah, “apa kau yang telah membuatnya bersedih?” sambungnya, sambil memberi tekanan pada suaranya hingga terdengar layaknya seperti sebuah ancaman.
“Bernice!” Sachi menyerukan nama sahabatnya itu, tatkala dia menatap wajah Anka yang kian pucat di sana.
“Kemarilah! Tidak ada yang perlu kau takutkan, Anka!” Kali ini Sachi memanggil nama putranya.
Sachi tersenyum, ketika Anka menjawab permintaannya dengan melangkahkan kakinya mendekati mereka. “Ada apa? Katakan! Apa kau memerlukan sesuatu?” Sachi bertanya, sembari mengangkat tangannya menyentuh pipi Anka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...