“Aku pulang!”
Sachi berjalan masuk setelah menutup kembali pintu yang sebelumnya ia buka, “kalian berdua ada di sini? Syukurlah, jadi aku tidak perlu mencari-cari lagi,” tutur Sachi ketika ia mendapatkan Zeki dan Ihsan yang seketika menghening, menyambut kedatangannya.
“Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa terjadi sesuatu?” Zeki balas bertanya sambil matanya mengikuti jejak Sachi yang sudah duduk bersama mereka.
“Kau benar! Memang ada yang sedang ingin aku bicarakan bersama kalian,” sahut Sachi, yang balik menatap mereka setelah memindahkan tangan Zehra dari bibirnya.
“Zeki, aku ingin kita berpisah! Aku membawa Huri dan Zehra, sedang kau membawa Ihsan, Sema dan Anka-”
“Berpisah? Apa yang kau maksudkan? Omong kosong apa lagi ini!” Zeki beranjak dari kursi dengan kedua tangan mengepal kuat.
“Aku sudah pernah katakan, kan? Aku begitu tidak menyukai sifatmu yang mudah tersulut emosi ini. Apa kau, tidak bisa bersikap tenang sejenak?” balas Sachi, ia mengangkat wajah untuk membalas tatapan Zeki padanya.
“Aku ingin kalian bersiap, dan kau boleh membawa pasukanmu kalau kau menginginkannya! Aku sudah meminta Kakek untuk membawa kalian ke tempat yang sangat jauh dari sini … Kegelapan di sana sudah dimurnikan Huri, jadi kalian dapat menempatinya.”
“Kau ingin kita berpisah setelah sekian lama akhirnya kita bisa berkumpul kembali? Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Sachi!”
Kedua mata Sachi terpejam. Tangan kanannya tak berhenti bergerak menepuk paha Zehra agar ia tak menangis setelah Zeki memukul keras meja yang ada di depan mereka, “apa kau tidak menyayangiku, Huri dan juga Zehra?” Sachi balik bertanya setelah membuka lagi matanya.
“Kau meragukanku?”
“Aku tidak mera-”
“Baiklah!” Zeki meninggikan suaranya, tak membiarkan Sachi mengucapkan apa pun dari mulutnya, “kau masih saja ingin mengejar ambisimu setelah apa yang terjadi? Sepertinya, apa pun yang aku lakukan untuk menghalangimu … Semuanya sejak awal memanglah tidak berguna.”
“Kalau kau memang ingin pergi, pergilah! Aku sudah muak dengan semua ambisi yang ingin kau wujudkan itu. Disaat aku ingin membunuhnya … Kau melarangku! Tapi sekarang apa? Kau ingin meninggalkan keluargamu untuk mengejarnya? Untuk mengejar ambisimu itu padanya?”
“Jawab pertanyaanku!”
“Ayah!”
“Diam, Ihsan!” Kali ini Zeki membentak Ihsan yang coba melerai sambil mengacungkan jari telunjuk pada pemuda itu, “kau tidak kuperbolehkan untuk ikut campur saat ini!”
“Kenapa kau diam saja! Jawab pertanyaanku!” Zeki kembali melempar pertanyaan sambil mencengkeram lengan Sachi yang masih membawa Zehra di gendongannya, “kau ingin aku melarangmu untuk pergi? Apa itu yang coba kau harapkan saat ini?”
Zeki mendecakkan lidahnya, setelah pertanyaannya itu hanya dijawab oleh tatapan hening yang diberikan Sachi. Laki-laki tersebut melepaskan cengkeramannya, lalu berjalan mendekati pintu dan membantingnya kala ia meninggalkan rumah berserta mereka yang masih berada di dalam.
“Ibu!” Ihsan coba memanggil perempuan di dekatnya, yang termenung tanpa mengeluarkan sepatah kata setelah apa yang terjadi barusan.
“Ihsan, kau percaya pada Ibu, kan?” Sachi membuka bibirnya dengan tatapan penuh kekosongan yang ia buang ke depan, “kemas barang-barang kalian! Kakek Buyut akan membawa kalian ke tempat yang jauh lebih aman dibanding di sini.”
“Tapi kenapa kita harus pindah lagi? Memangnya apa yang akan terjadi, Ibu?”
“Ini jalan terbaik untuk kita semua … Ini,” tutur Sachi tiba-tiba menghening, “lakukan saja seperti yang Ibu perintahkan!” sambungnya setelah cukup lama terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...