Chapter DCCCLXIX

944 326 12
                                    

“Sema!”

“Ke mana anak itu!” geram Sachi sambil berjalan menuju dapur setelah puas mengelilingi rumah, mencari keberadaan Sema.

“Huri, kau saja yang antarkan makanan ini untuk Ayah dan Kakakmu. Ibu dari tadi mencari Sema, tapi tidak menemukannya,” lanjut Sachi seraya menghentikan langkah di depan meja yang ada di dapur.

Sachi masih melanjutkan kegiatannya. Dia menyusun kotak kayu berisi makanan ke atas kain, lalu membungkus kotak tadi dengan kain tersebut, “mereka bersama Paman Aydin dan para kesatria di pinggir hutan. Bawa makanan ini, dan suruh mereka memakannya!” perintah Sachi saat dia kembali menoleh pada Huri yang kala itu masih meniup-niup udara pada tungku menyala di hadapannya.

Huri beranjak, meninggalkan tungku tadi setelah Sachi kembali memanggil namanya. “Apa hanya ini yang harus aku bawa, Ibu?” tanyanya, sesaat sudah berdiri meraih bungkusan yang Ibunya berikan.

“Kalau di jalan kau bertemu Sema dan juga Anka, pinta mereka untuk segera pulang!” lanjut Sachi memerintah yang segera dibalas oleh anggukan putrinya.

“Aku pergi dulu, Ibu. Airnya sudah hampir mendidih-”

“Ibu akan menyelesaikannya. Berhati-hatilah!”

Huri lagi-lagi mengangguk, sebelum dia berbalik lalu pergi meninggalkan Sachi sendirian. Dia berjalan ke luar rumah sambil membawa bungkusan tadi dengan kedua tangannya. Langkahnya terus dan terus berlanjut … Menyusuri jalan berumput yang membawanya ke tempat di mana Zeki, Ayahnya, dan laki-laki lain berkumpul.

Sesekali gadis tersebut akan berhenti dengan meletakkan bungkusan tadi ke tanah. Langkahnya sering kali terpotong, oleh beratnya bungkusan yang ia bawa saat itu. “Ayah!” seru gadis itu, saat dia berhasil menemukan sosok Ayahnya tengah menyerut kayu, seperti tongkat di tangannya menggunakan pisau kecil di depan api unggun.

“Huri, keponakanku yang cantik, apa kau membawakan sesuatu untuk Paman?” Aydin balas menyeru, sesaat Huri sendiri sudah berhenti di dekat mereka yang sedang berkumpul.

“Tutup mulutmu yang menjijikan itu, Aydin! Kau tidak pantas berbicara seperti itu pada Putriku!” Zeki tak kalah bersuara, sambil terus melanjutkan apa yang saat itu ia lakukan.

“Apa bungkusan tersebut dari Ibumu?” lanjut Zeki, sesaat matanya berpaling pada Huri yang masih berdiri diam.

“Ibu memintaku untuk membawakan ini kepada Ayah. Dia ingin kalian memakannya,” tutur Huri, sembari memberikan bungkusan tadi pada seorang Kesatria yang beranjak mendekatinya.

“Ada apa, Huri? Apa kau sedang mencari seseorang?” Zeki kembali melemparkan pertanyaannya, ketika dia tak sengaja menangkap Huri yang tak henti menggerakkan kepalanya, seperti sedang berusaha menemukan sesuatu.

“Ibu memintaku untuk menyuruh Sema dan Anka pulang. Namun, aku tidak menemukan mereka dari tadi-”

“Mereka bersama Ihsan, berburu di arah sana. Ayah akan memberitahu mereka, kau bisa pulang terlebih dahulu.”

“Baik, Ayah. Kalau seperti itu, aku permisi,” sahut Huri, dengan sedikit membungkuk sebelum berlalu pergi meninggalkan mereka semua yang ada di sana.

“Dia penurut sekali. Akan berbahaya untuknya kalau sampai jatuh di tangan laki-laki yang salah.”

Zeki seketika melirik tajam kepada Aydin yang bergumam, mengucapkan kata-kata barusan. “Dia sangatlah berbeda dari Ibunya yang tidak bisa diam. Aku tahu bahwa kau sangatlah mengkhawatirkan Putrimu itu,” tutur Aydin, menjawab lirikan Zeki kepadanya.

“Sekilas, dia memang terlihat lemah. Namun, jika bukan tanpanya dan juga Lux … Mustahil, kita bisa menduduki rumput dan berteduh di bawah pohon seperti sekarang ini-”

Our Queen : Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang