Chapter DCCCLXX

848 299 12
                                    

“Siapa itu Bibi Amanda?” Aydin menyeletuk sambil terus memerhatikan Zeki yang kian menjauh, “aku baru kali ini mendengar namanya.”

“Namun jika ada yang bertanya padaku, siapa itu Sachi!” tukas Aydin sembari melempar pandang pada Sema yang diam tak bersuara, “akan aku jawab, dia perempuan yang menakjubkan. Bahkan sampai sekarang, aku masih menunggunya! Berharap dia segera jenuh dengan Ayah kalian lalu berpaling padaku,” lanjut Aydin sembari menyeringai pada dua anak kembar yang menatapnya.

“Namun memisahkan mereka berdua rasanya sulit sekali, hingga membuatku kadang putus asa sendiri!” Aydin menggerutu, sambil mendongak dengan kedua tangan bersilang di depan dadanya.

“Dia mungkin sedikit lebih muda dari Huri, saat dia memimpin kami semua dalam peperangan di Balawijaya. Pertama kalinya dalam hidupku, melihat strategi perang yang cukup gila saat itu dan semua ide-ide tersebut berasal dari Ibu kalian.”

“Sebelum bertemu dengannya, aku selalu memiliki pemikiran bahwa kekuatan hanya bisa kau dapatkan dari seluruh otot di dalam tubuhmu. Aku selalu meremehkan seseorang yang memiliki tubuh lebih kecil dariku dulu … Namun semua itu berubah sejak aku bertemu Ibu kalian.”

“Tanpa berbicara, dia sudah bisa memberitahu orang-orang … Jangan menganggapku remeh! Aku bisa saja menghancurkan kalian saat ini juga kalau ingin!”

“Kalau kalian memang tidak memerlukannya lagi, maka aku akan merebutnya!” lanjut Aydin dengan senyum, semringah yang ia berikan pada kedua anak kembar di depannya, “aku bisa memberikannya anak yang lebih baik dibanding kalian. Aku akan membantunya melupakan kalian, agar kalian juga bisa bebas tanpa perlu mendengar dia marah-marah lagi.”

Aydin menepuk kedua tangannya, “tidak perlu berterima kasih padaku-”

“Paman tidak boleh melakukannya!”

“Kenapa aku tidak boleh melakukannya?” sahut Aydin setelah Anka berteriak, memotong ucapannya, “kalian sudah tidak membutuhkannya lagi. Kalian juga sudah tidak ingin mendengar perkataannya lagi. Jadi berikan saja Ibu kalian kepada-”

“Paman, kumohon hentikan!”

Senyum di bibir Aydin menghilang tatkala Ihsan turut menyergah kata-katanya, “kau seharusnya sudah bersuara dari tadi. Kau anak tertua di Keluarga Bechir! Kalau bukan kau, lalu siapa lagi yang akan membela martabat keluarga kalian jika Ayah dan Ibumu sudah tidak ada lagi.”

“Beri pemahaman kepada mereka! Usia mereka masih sangat muda, tidak bisa dijadikan alasan untuk mereka melakukan apa pun sesuai kehendak hati mereka! Aku merasa, tidak ada satu pun dari kalian yang pantas menjadi anak-anak mereka! Kalian lemah! Bahkan untuk melindungi perasaan kedua orangtua kalian sendiri pun, kalian tidak bisa melakukannya!”

“Kalian semua ikut aku dan tinggalkan saja mereka bertiga!” lanjut Aydin, dengan kaki yang bergerak melewati Ihsan, meninggalkan ketiga anak laki-laki tadi.

“Sema, apa kau bisa membunuhku saat ini?” tutur Ihsan, memecah kesunyian di antara mereka bertiga setelah Aydin dan rombongan Kesatria telah menjauh, “aku sangatlah malu kepada Ayah dan juga Ibu, karena telah gagal mendidik kalian.”

Ihsan menoleh, menatap satu per satu kedua adiknya yang juga tak memalingkan wajah dari memandangnya, “aku sangatlah iri pada kalian. Apa kalian masih tidak menyadarinya?”

“Aku dan Huri dulu, bahkan selalu berdoa agar Ibu cepat menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke rumah agar dia dapat mengajari kami banyak hal. Namun kalian,” tutur Ihsan sambil menggigit penuh kesal bibirnya, “apa yang kau lakukan hari ini, Sema, membuatku sangat malu hingga tidak sanggup untuk melihat wajahnya.”

“Lakukan apa yang ingin kalian lakukan! Aku sudah tidak ingin lagi peduli.”

“Kak Ihsan! Kak Ihsan!” Anka berulang-ulang memanggil Ihsan yang juga telah meninggalkan mereka berdua, “Sema, ayo kita minta maaf pada Ibu!” ajak Anka, setelah menjatuhkan lagi pandangan matanya pada Sema.

“Aku tidak bersalah! Kenapa aku harus meminta maaf?”

“Aku membencimu, Sema!” kata-kata Anka membuat Sema segera menoleh padanya, “Ibu tidak pernah memarahi atau menyuruhku karena aku lemah dan juga penakut, padahal aku ingin sekali mendengarnya melakukan itu. Apa kau lupa? Hanya Paman Ryuzaki yang dulu selalu membela kita dari Kakek Buyut dan Elf yang lain.”

“Kalau kau ingin kembali ke Dunia Elf, kembali saja! Aku ingin bersama Ibu di sini. Ibu selalu memasak makanan lezat untuk kita, dan aku sangat menyukai setiap makanan yang ia masak.”

“Kak Huri juga sangat baik. Dia selalu menolongku, walau aku kadang tidak berani berbicara padanya.”

“Aku ingin bersama mereka, Sema!” lanjut Anka kepada saudara kembarnya itu, “aku tidak ingin berpisah dengan Ayah dan Ibu lagi. Aku ingin tumbuh kuat, agar bisa menjaga mereka.”

______________.

“Apa yang kau lakukan di sini sendirian? Menatapi laut yang telah mati?”

“Mereka belum mati. Aku berada di sini juga karena ingin memberikan kekuatan kepada Para Duyung agar bisa memurnikan mereka sepenuhnya. Kau akhirnya datang!” sahut Sachi sambil menoleh pada perempuan yang telah berdiri di sebelahnya itu.

“Bardiani memberitahukanku bahwa kau memintaku datang ke sini. Ada apa?”

“Entahlah! Mungkin hanya ingin mengajakmu berbincang.”

“Bernice!” panggil Sachi setelah sempat menghening, “aku akan mati.”

“Semua Manusia pasti akan mati. Tidak ada yang istimewa dari itu.”

“Kau benar!” jawab Sachi, diikuti tarikan napas yang sangat dalam ia lakukan, “apa menurutmu aku ini sangatlah menjengkelkan?”

“Kenapa?” sahut Bernice sembari membalas tatapan Sachi padanya, “apa ada seseorang yang berkata bahwa dia tidak menyukaimu?”

“Kita tidak bisa membuat semua orang percaya dan menyukai kita,” sambung Bernice sesaat Sachi sama sekali tak menjawab pertanyaannya, “bahkan aku dulu sempat sangat membencimu! Jauh berbeda seperti saat ini.”

“Aku ingin mengajakmu berduel, Bernice! Satu lawan satu, tanpa menggunakan senjata! Dan semuanya baru dihentikan saat satu di antara kita sudah tidak bisa berdiri lagi-”

“Kau yakin? Kau sudah lama tertidur, bukan? Apa tubuhmu masih kuat?”

“Orang-orang selalu berkata, bahwa yang lemah adalah mereka yang terlalu banyak berbica-”

Sachi spontan mengangkat kedua lengan, untuk melindungi wajahnya dari tangan Bernice yang hendak menghajarnya. “Aku belum selesai berbicara,” tutur Sachi, dengan senyum lebar sebelum dia kembali menurunkan tangannya setelah berhasil menangkis pukulan Bernice padanya.

Bernice berbalik, lalu memundurkan dirinya beberapa langkah, “musuh tidak akan memberikanmu kesempatan terlalu lama untuk berbicara.”

“Jangan menangis kalau nanti kau kehilangan kecantikanmu. Mungkin aku akan merontokkan beberapa gigimu atau bahkan menghancurkan hidungmu,” lanjut Bernice sembari melakukan kuda-kuda dengan masing-masing tangan ia kepalkan.

Sachi melepaskan lilitan kain di pergelangan tangannya, lalu mengikatkan kain tadi ke rambut panjangnya, “jangan terlalu menyombongkan diri hanya karena kau lebih tinggi dariku!”

Sachi menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan, disaat kedua kakinya bergerak membentuk kuda-kuda, “majulah kapan pun! Aku selalu siap untuk menghancurkanmu,” ujar Sachi kembali, dengan salah satu tangan bergerak, sebagai isyarat pada Bernice agar mendekatinya.

Our Queen : Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang