Zeki terus berjalan, tanpa memedulikan kegaduhan yang terjadi di belakangnya. “Zeki, kau tidak bisa memperlakukan anak buahku seperti ini!” Mendengar bentakan itu, membuat Zeki berhenti lalu berbalik, beradu pandang dengan Aydin yang begitu merah wajahnya.
“Maka kau, bisa membawa mereka pergi untuk menghilang dari pandanganku!” tutur Zeki, dengan wajah tanpa senyuman.
“Tak seperti Kesatriaku yang tidak terlalu peduli ada perempuan di dekat mereka atau tidak. Bawahanmu, sangat suka bermain-main dengan perempuan sama sepertimu … Aku tidak ingin, saat aku lengah, Putriku yang begitu penurut itu justru berada dalam bahaya.”
“Dan juga, ini sudah keputusan dari Lux. Dia memang tidak menyukai manusia, tapi kalau manusia itu tidak membahayakan Sachi, Tuannya … Maka dia tidak akan mempermasalahkan mereka. Kalian yang telah dipilihnya untuk mengikuti kami, sekarang dapat memilih!”
“Tetap bersama mereka! Atau habisi mereka di depan mataku lalu kita pergi bersama dari sini!”
Zeki melirik ke sudut kiri matanya setelah bunyi desingan pedang ia dengar. “Aku ingin ikut, ke mana pun Yang Mulia pergi,” ucap Ekrem sambil menarik lagi pedang yang ia tikamkan ke perut laki-laki di depannya.
Melihat apa yang Ekrem lakukan, memancing reaksi dari Kesatria lainnya. Mereka berbondong-bondong menarik pedang sedang Kesatria lain ada yang memegang kedua tangan bawahan Aydin agar mereka tak melarikan diri. “Kalau kau memang tidak ingin mengajak mereka, bebaskan saja! Kenapa harus membunuh mereka?” geram Aydin, dengan mata merah yang dipenuhi murka.
“Mereka mengetahui kalau keluargaku baik-baik saja. Aku tidak ingin mengambil risiko dengan membebaskan mereka. Aku sangat berharap kau dapat ikut bersama kami, Aydin! Dia pun, pasti mengharapkan hal yang sama.”
Aydin terdiam, dengan pandangan yang tak ingin ia lepaskan dari Zeki. “Emre, berikan aku pedang!” perintah Aydin setelah sekian lama, sambil mengangkat salah satu tangannya ke samping.
Seorang laki-laki maju, menjawab perintah Aydin dengan sebuah pedang yang ia berikan pada Tuannya. Tak lama setelah itu, Aydin segera menarik pedang tadi … Lalu menusukkan pedang tersebut ke seorang laki-laki yang tengah ditahan kedua tangannya oleh beberapa Kesatria Yadgar. “Kalian berlima, jangan hanya diam saja! Lakukan, seperti yang ia perintahkan!” tukas Aydin, setelah dia menghunus pedangnya dari dada seorang pria yang pernah menjadi bawahannya itu.
“Setelah semuanya, aku masih harus membunuh anak buahku sendiri,” gumam Aydin, terdengar begitu gemetar saat dia menyaksikan anak buah yang baru saja ia tikam, terperosok di hadapannya.
“Kau menyesal melakukannya?”
Aydin berbalik, menatap laki-laki yang baru saja mengatakan kata-kata tersebut, “aku tidak menyesal melakukannya. Sama seperti yang Pria Kecil tadi katakan, aku pun ingin memiliki hidup layak dengan makanan dan minuman yang sudah terjamin adanya.”
“Lagi pula, apa yang ia katakan memang benar. Aku tidak bisa memastikan, mereka akan berkhianat atau tidak nantinya. Benar, aku tidak bisa memastikan semua itu!” tutur Aydin, dengan beberapa kali mengucapkan kata-kata yang terakhir tadi.
__________.
“Kak Ihsan, apa yang dilakukan Ibu di sana? Dan ke mana Ayah pergi?”
Ihsan mengangkat jari telunjuknya, sebagai isyarat agar Sema segera mengunci bibir. Di sisi lain, dia sendiri masih memandangi Ibunya dari kejauhan yang ketika itu tengah berdiri … Melempar pandangannya ke langit di atas mereka semua.
“Kau sudah menemukan mereka, Kei?” tanya Sachi tanpa sedikit pun menurunkan pandangannya.
“Mereka masih menyimpan air mata Uki, sepertinya mereka sama sekali tidak menggunakannya selama ini. Mereka berhasil selamat, kau ingin aku membawa mereka?”
“Apa kau yakin, Sachi?” Kali ini Lux juga turut menyahuti pembicaraan antara Sachi dan juga Kei.
“Kau bisa memastikan sendiri, apa mereka layak untuk mengikuti kita atau tidak, Lux! Lagi pun, mereka dulu sama sekali tidak bersentuhan dengan Kaisar, jadi kecil kemungkinan mereka akan berkhianat.”
“Dan juga, aku ingin sekali bertemu mereka. Ingin sekali,” lanjut Sachi sambil menggigiti bibirnya sendiri.
Cukup lama, keheningan menguasai mereka. Sachi masih tertunduk saat itu, sebelum embusan angin bercampur teriakan membuatnya mendongak. Angin yang bergulung di atas langit itu tiba-tiba menghilang, hingga membuat apa yang ia bawa seketika jatuh, menghentak tanah. “Pinggangku! Pinggangku!” lirih seorang perempuan, yang terlentang, tak bergerak setelah jatuh dari gulungan angin milik Kei.
“Bernice, tolong aku!”
“Kau berdiri saja sendiri!” Perempuan berambut pendek itu membentak perempuan yang masih terbaring tadi, “aku mengenal angin ini. Ini bukan angin bi-”
“Bernice! Sabra! Bardiani!” panggil Sachi, hingga membuat ketiga perempuan yang masih bertarung dengan kesakitan, segera menoleh.
“Syukurlah, kalian selamat,” sambung Sachi, sesaat mata mereka semua terarah kepada Sachi.
“Sachi?”
“Kau masih mengingatku, Sabra?” Sachi balas bertanya sambil berjalan mendekati mereka.
Mereka bertiga masih saling bertatap, ketika Sachi sendiri sudah duduk di dekat mereka. “Kalau ada yang ingin kalian bicarakan, maka duduklah! Jangan hanya berdiri!” tukas Sachi, yang terlihat sungkan menatap mereka.
“Kau baik-baik saja?”
Sachi tersenyum lalu mengangkat wajahnya, membalas tatapan Bernice yang masih berdiri, bergeming, “kau tidak ingin bertanya, kenapa aku baru menemui kalian sekarang?”
“Berhenti bercanda! Kau dulu pernah memberitahukan kami perihal hujan sebelum kegelapan! Kau meminta kami untuk menghindari hujan tersebut! Menurutmu, kenapa kami semua masih hidup!” bentakan bertubi-tubi dari Bernice, didapatkan oleh Sachi.
“Sachi, apa kau sungguh-sungguh Sachi?”
Sachi tersenyum, pada Sabra yang terlihat hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini, “aku Sachi-”
Sachi mengangkat tangannya, membalas pelukan dari Sabra yang kini terlihat lebih menua dibanding terakhir kali mereka bertemu, “bagaimana keadaanmu, Sabra?” tanya Sachi dengan begitu gemetar.
“Kami begitu mengkhawatirkanmu. Kami pikir, kami tidak akan bertemu denganmu lagi. Syukurlah bahwa kau masih hidup,” jawabnya yang tak kalah gemetar.
“Apa yang terjadi?”
Sachi kembali mendongak, “banyak sekali yang terjadi. Jadi Bernice, duduklah! Aku akan menceritakan semuanya,” sahut Sachi untuk pertanyaan yang Bernice berikan.
Sachi mulai menceritakan apa yang terjadi kepadanya, setelah Bernice akhirnya mengikuti permintaannya. “Aku sudah menceritakan semuanya, sekarang giliran kalian untuk bercerita kepadaku!” pinta Sachi, sambil memandang satu per satu mereka.
“Kau pasti tahu, kalau hujan tersebut membunuh orang-orang,” tutur Sabra, yang kembali menunduk setelah Sachi menganggukkan kepalanya, “saat kami ingin melakukan perintahmu dengan menyelinap di antara para pasukan Paloma ... Di saat itu juga, hujan turun. Kami segera berlari, mencari tempat berlindung saat orang-orang di sana menjerit ketakutan, karena hujan yang turun ternyata membunuh mereka dalam sekejap mata.”
“Suasana saat itu terasa mencekam. Satu, dua hari kami masih baik-baik saja … Namun saat rasa lapar dan haus mendatangi kami, di saat itu juga kami hampir saling membunuh satu sama lain.”
“Kami mencari cara untuk tetap bertahan hidup, jadi kami memberanikan diri untuk keluar. Bermodalkan perisai yang kami jadikan sebagai payung, kami mendatangi satu per satu rumah lalu….” Sabra terdiam, tak sanggup melanjutkan ucapannya.
“Apa kalian ingin ikut bersamaku?” celetukan Sachi, membuat ketiga perempuan itu menoleh padanya.
Sachi tersenyum, menatap wajah mereka yang begitu lusuh. Jauh berbeda, saat terakhir kali mereka bersama, “tapi sebelum itu, kalian harus melewati syarat darinya terlebih dahulu!” sambung Sachi, dengan sedikit menggerakkan kepalanya hingga mereka yang ada di depannya itu berbalik, menoleh ke arah di mana mata Sachi tertuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasiSambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...