“Kak Huri sudah datang!” Anka berteriak dengan mengangkat jari telunjuknya hingga membuat mereka semua yang ada di sana menoleh.
“Kami sudah menyiapkan semuanya yang kalian perlukan,” tukas Ryuzaki disaat keponakannya itu semakin mendekati mereka semua.
“Huri, kau sudah siap?” Kali ini Lux yang bertanya.
“Baiklah!” seru Lux setelah dia mendapat anggukan sebagai jawaban dari Huri, “salah satu dari kalian ada yang berdiri di belakang Huri! Jaga-jaga kalau dia tak sadarkan diri!” Lux memberikan perintah pada Ihsan, Takumi serta Hikaru yang berdiri menatap mereka.
“Ak-”
“Baiklah!”
Takumi mengurungkan kata-kata yang hendak ia ucapkan, sesaat Ihsan sudah berseru sambil berjalan mendekati Huri dan juga Lux. “Apa kau tertarik kepadanya, Takumi? Tertarik pada gadis angkuh tersebut?” Takumi melirik sinis ke arah Hikaru yang bergumam di sebelahnya.
“Untuk seorang laki-laki, kau terlalu banyak mencampuri urusan seseorang, Hikaru!” sindir Takumi sambil berbelok hingga tubuhnya berhadapan dengan Hikaru, “aku dengar kalau Paman Haruki mengancam akan mengusir kalian setelah dia mengetahui apa yang terjadi. Haruskah aku bahagia atau haruskah aku bersedih untuk penderitaanmu?”
“Dengarkan aku!” bisik Takumi setelah dia mendekatkan wajahnya ke dekat telinga Hikaru, “aku bisa merobohkanmu dalam satu kali pukulan, tapi aku akan menahan untuk tidak melakukannya agar menjaga martabatmu! Namun, kalau lain kali kau menyulut amarahku … Akan kupatahkan seluruh tulang di tubuhmu itu!”
“Karena kau sudah terlihat pandai sejak kecil, kau pasti bisa langsung mengerti dengan maksud seluruh ucapanku, kan?” sambung Takumi sambil melempar senyum setelah dia mundur beberapa langkah, menjauhi Hikaru.
“Paman, apa ada yang bisa kubantu lagi?” seru Takumi sebelum dia berbalik meninggalkan Hikaru.
“Takumi! Apa kau bisa menggunakan Sihir Bangsa Duyung?”
Takumi menghentikan langkahnya sesaat semua mata beralih padanya setelah teriakan Lux barusan, “memang apa yang harus aku lakukan dengan sihir tersebut, Paman? Seseorang pernah berkata kalau sihir tersebut tidak berguna.”
“Siapa yang mengatakannya!” Takumi segera melipat bibirnya tatkala Lux menyahuti ucapannya dengan kekesalan, “kalau kau dapat melakukannya! Aku ingin kau mengangkat semua air yang ada di dalam wadah ke seluruh area istana. Setelah kau melakukannya … Pecah kumpulan air tadi lalu turunkan berangsur-angsur seperti hujan.”
“Kalau kau dapat melakukannya! Kau akan sangat membantu kami,” sambung Lux kepada pemuda yang masih berdiri diam di sana itu.
“Baiklah!”
“Apa kau yakin bisa melakukannya?!” Huri menyahut untuk perkataan yang Takumi ucapkan dengan wajah datar.
“Alangkah baiknya, mulai dari sekarang kau mempercayai setiap kata yang aku ucapkan,” tutur Takumi yang sempat tersenyum membalas tatapan Huri kepadanya, “apa aku harus melakukannya sekarang?” Takumi balik bertanya setelah membuang lagi pandangannya pada Lux.
“Lakukan sekarang! Karena tanah yang terkena kegelapan terlalu kering untuk dilakukan pemurnian.”
Takumi mengangguk. Pemuda itu segera berbelok lalu melanjutkan lagi langkahnya ke arah wadah besar berisi air di dalamnya. Takumi menarik napas sangat dalam di depan wadah tadi, sebelum ia memejamkan mata sambil mengangkat kedua tangannya.
Air yang berada di dalam wadah tersebut bergoyang, dan semakin kuat bergoyang seperti air yang sedang mendidih di atas bara api. Mata Takumi terbuka, diikuti kedua tangannya yang bergerak ke depan … Takumi menggigit bibirnya sendiri, keringatnya mengalir deras di hawa dingin yang mengerubungi mereka disaat dia masih berusaha untuk mengangkat kumpulan air di depannya ke langit.
Air yang ada di depannya itu mencuat naik ke atas tatkala Takumi juga mengangkat tangannya saat itu. Apa yang dilakukan Takumi, membuat semua orang yang memperhatikannya, memandang penuh takjub terlebih saat dia melebarkan kumpulan air tersebut hingga membentuk seperti atap di atas Istana yang mereka tempati.
“Lux, apa ini alasanmu memintaku menyiapkan payung?”
Lux tersenyum lebar sambil terus menatap rintik hujan yang turun di depannya. “Kau pasti tahu, sayapku akan hancur kalau terkena air! Butuh berpuluh-puluh tahun untuk menumbuhkannya lagi,” jawab Lux, untuk pertanyaan yang dilontarkan Ryuzaki.
“Aku tidak menyangka kalau Anaknya Izumi akan menyimpan sihir sebesar itu. Entah apa yang terjadi! Tapi dia sudah tumbuh menjadi laki-laki yang menakjubkan … Berbeda jauh sekali dari cerminan anak laki-laki jahil yang dimilikinya dulu.”
“Huri!”
“Huri! Sekarang giliranmu untuk memurnikannya!”
“Huri!” Lux berkali-kali memanggil gadis yang berdiri mematung di dekat mereka.
“Huri! Paman Lux memanggilmu.” Ihsan turut memanggil Huri, yang berdiri membelakanginya.
Huri sedikit terperanjat oleh sentuhan di pundaknya. Dia langsung menunduk, mengusap wajahnya yang basah oleh hujan. Saat dia hendak mengangkat wajahnya kembali … Dia sempat kembali melempar lirik pada Takumi yang masih berdiri di sana, sebelum akhirnya dia menoleh untuk menanggapi panggilan Lux.
“Murnikan sekarang!” perintah Lux kepada Huri yang sudah bertatap mata dengannya.
“Baik, Paman!”
______________.
Huri membuka pintu di depannya lalu berjalan keluar, “terima kasih, Anka! Karena sudah membantuku menunggu di luar,” ucap Huri dengan kembali menutup pintu tersebut.
“Apa Kak Huri baik-baik saja?” Anak laki-laki itu bertanya sambil berjalan di samping Huri yang meniup kedua telapak tangannya sendiri dengan udara hangat.
“Kakak baik-baik saja. Hanya sedikit menggigil setelah melakukan pemurnian.”
“Kak Huri ingin beristirahat? Anka akan menemani Kak Huri, kalau Kak Huri ingin.”
Kepala Huri menggeleng pelan, “tidak apa-apa, Anka. Kata Ibu, Kakek dan Nenek akan ikut bergabung dengan kita dalam makan bersama hari ini … Anka pasti juga ingin bertemu dengan Kakek dan Nenek, kan?”
“Apa Kak Huri pernah bertemu dengan mereka?”
Mata Huri melirik ke atas, “Kakak tidak terlalu mengingatnya, tapi sepertinya pernah. Kalau tidak salah, saat Paman Ryuzaki dan Bibi Sarnai menikah … Kami pernah bertemu.”
“Apa mereka baik?”
“Mereka baik,” jawab Huri dengan disertai anggukan, “kalau mereka tidak baik, Ibu tidak mungkin menyayangi mereka, kan?”
“Kak Huri benar,” sahut Anka sambil tersenyum lebar membalas tatapan Huri padanya, “Kak Takumi tadi hebat sekali, ya, Kak! Anka baru tahu kalau ada yang bisa memainkan air seperti itu.”
“Tapi Kak Huri juga tidak kalah hebatnya, saat Kak Huri menyentuh tanah … Seluruh tanah itu langsung hijau ditumbuhi rumput.”
“Kak Huri! Apa aku juga akan bisa hebat seperti kalian?”
“Kakak tidak tahu!” Huri menyahut saat matanya menatap Anka yang sudah tertunduk kala mengucapkannya, “Ibu selalu memberi nasihat kalau roda kehidupan seseorang akan selalu berputar. Dia yang kita pikir lemah, justru beberapa tahun kemudian tumbuh menjadi sangat kuat karena dia selalu berjuang dan tidak berpikir untuk menyerah.”
“Anka! Lihat Kakak!” pinta Huri hingga membuat anak laki-laki di sebelahnya itu mendongak, “kepalamu lebih bisa digunakan dibanding kami. Seperti yang Ayah katakan, bahwa kau pandai seperti Ibu.”
“Kita tidak tahu yang mana merupakan kawan atau lawan di sini. Ibu hanya memiliki sepasang mata jadi dia akan kesulitan untuk melihat semuanya … Sekarang tugas kita! Tugasmu! Untuk menjadi mata Ibu, agar Ibu sendiri dapat terbebas dari orang-orang yang berniat menyakitinya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...