Chapter DCCCLV

1K 369 55
                                    

Genggaman Sachi di kedua tangan putra kembarnya semakin erat. Dadanya pun begitu terasa sesak, "jangan lihat ke atas! Teruslah melihat ke depan!" pinta Sachi, ketika dia menangkap Anka yang terlihat ketakutan saat mendongak.

Sachi juga mengangkat sedikit wajahnya, sesaat Anka mengikuti ucapannya. Dia terdiam, membisu pada langit di atas mereka yang begitu gelap, seperti langit yang telah siap untuk menangis lagi. Tak lama dari itu, Sachi menghentikan langkahnya ... Dia meneguk ludahnya sendiri, saat ... Benteng besar, yang sebagian bangunannya hancur, berdiri tepat di sana.

Jantung Sachi tak berhenti untuk berdegup kencang. Genggaman tangannya pun, turut menguat saat kedua kakinya mulai kembali melangkah maju. Darah perempuan itu berdesir, "jangan takut, kalian berdua!" perintah Sachi pada putra kembarnya, ketika mereka mulai melewati beberapa besi lapuk yang tertancap di tanah.

Sachi menggigit kuat bibirnya. Ia mencoba untuk tak terlihat takut di depan kedua anaknya, saat kakinya tak sengaja menginjak tengkorak yang berserakan di hadapan mereka. Seharusnya hujan membuat tanah basah, kan? Seharusnya hujan menciptakan lumpur pada tanah yang dijatuhinya, kan? Namun ini berbeda! Tanah yang mereka pijak begitu kering dan keras, serta ... Begitu mengerikan kala dilewati, dengan tulang-belulang manusia yang sulit dihitung jumlahnya, mengenakan zirah penuh karat, berserakan di setiap penjuru tanah.

Sachi tertunduk, ia melepaskan genggamannya pada Sema lalu mengangkat tangannya itu ... Menutupi matanya yang hampir memanas. Batinnya sakit! Dadanya begitu sesak, karena sesaat sebelumnya dia menangkap potongan bendera lapuk ... Bendera yang sudah pudar warnanya. Bendera Kerajaan Yadgar, Kerajaan yang sangat ingin ia perjuangkan ... Tergeletak, ditimpa oleh sebuah besi berkarat, yang berbentuk hampir menyerupai perisai.

"Ibu!" Ihsan memanggil sosok perempuan yang berdiri gemetar membelakanginya.

"Sebagai Ratu, aku telah gagal menyelamatkan mereka ... Bukan!" isakan Sachi terhenti sejenak, tetesan tangisannya semakin melimpah jatuh, saat matanya terpejam, "justru akulah penyebab kematian mereka."

Sachi coba untuk menenangkan dirinya dengan tarikan napas yang sangat-sangat dalam dan begitu panjang. Saat dia hendak meraih tangan Sema ... Sachi seketika tertegun, mendengar raungan keras dari arah belakangnya. Dia yang sempat membungkuk, kini kembali beranjak lalu berbalik untuk melihat dan memastikan, beberapa sihir yang mendekati mereka saat itu.

"Kei dan para Manticore?" tutur Ihsan, disaat dia juga berbalik ke arah yang sama seperti Ibunya.

"Ibu!"

"Tidak apa-apa!" seru Sachi, merangkul pundak Anka yang memeluk pinggangnya, "mereka di pihak kita. Mereka hewan-hewan milik Ibu," sambungnya lagi, masih mencoba untuk menenangkan putranya itu.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Sachi bertanya menggunakan Bahasa Inggris, disaat Kei, dan tiga Manticore di belakangnya semakin mendekati mereka.

Kei terus berjalan tanpa sedikit saja menjawab. Dia sempat sejenak menoleh pada Huri dan Ihsan ketika melewati mereka berdua, sebelum akhirnya dia menjatuhkan dirinya di hadapan Sachi, "naiklah! Dan berikan kedua kedua anak tersebut pada Manticore yang ada di sana!" perintah Kei, tanpa melirik pada Tuannya.

"Aku bahkan meminta Kou untuk mengantarku jauh dari sini, agar tidak ada yang merasakan kehadirannya. Lalu kenapa kalian berempat ada di sini? Bahkan aku ... Bahkan aku bisa merasakan sihir gelap yang masih ada mengelilingi tempat ini!"

"Terlalu banyak berbicara!" seru Kei, yang membuat Sachi segera mengatup bibirnya. Harimau putih itu kembali beranjak, lalu menoleh hingga matanya yang begitu biru itu bertatapan langsung pada Tuannya, "lalu apa gunanya kau menjadikan kami sebagai budak, kalau kau saja tidak sanggup menggunakan kami hingga kami semua mati di bawah perintahmu!"

"Lagi pula, kau merasakan sihir kami karena kau adalah Tuan untuk kami. Dan juga, kalau hanya melindungi kalian dari Manusia yang tersisa di sana ... Kami terlalu kuat, tanpa harus menggunakan sihir di tubuh kami. Jadi naiklah dan jangan banyak berbicara!"

Sachi melirik pada Sema dan Anka yang berdiri di sampingnya sesaat Kei sendiri sudah kembali duduk di hadapan mereka. "Sema! Anka!" panggil Sachi sembari membungkuk, "kalian berdua naiklah ke punggung Manticore itu! Dan jangan coba-coba untuk menyentuh ekor mereka, karena itu sangatlah berbahaya! Berpeganglah yang kuat pada mereka agar kalian tidak terjatuh!"

"Hal yang sama juga berlaku untuk kalian berdua! Naiklah ke punggung kedua Manticore tersebut! Mereka semua akan membawa kita ke sana!" Sachi lagi-lagi memerintah dengan menjatuhkan tatapan pada Ihsan berserta Huri.

Sachi melepaskan genggamannya pada Sema. Dia lalu mengangkat Anka untuk duduk di punggung Manticore yang sudah duduk berdekatan dengan mereka, "tidak apa-apa. Jangan takut! Sema akan menjagamu. Benar, kan, Sema?" tutur Sachi seraya menoleh pada putra kembarnya yang lain.

Sema mengangguk untuk membantu Ibunya menenangkan Anka, walau wajahnya sendiri terlihat begitu ketakutan. Sachi kembali membungkuk tatkala Sema berjalan mendekatinya dengan penuh keraguan, "kalau kau takut, kau bisa memeluk Anka yang duduk di depanmu," tukas Sachi kepadanya.

"Aku tidak takut! Aku sama sekali tidak takut!"

Sachi tersenyum mendengar celetukan yang ia keluarkan, "kau memang pemberani. Ayah pasti akan sangat bahagia saat bertemu denganmu," ucapnya sambil mengusap lembut pipi Sema, sebelum akhirnya dia mengangkat putranya itu ke punggung Manticore yang sama, membawa Anka.

"Dia kuat sekali! Sihirnya bahkan lebih kuat dibanding sihir dari Bangsa Elf yang pernah berpapasan denganku."

Mendengar suara yang mencuat di dalam kepalanya. Membuat Sachi memalingkan wajahnya ke arah Acey, pemimpin dari para Manticore yang kala itu sedang beranjak dengan Huri yang duduk di atas punggungnya, "dia akan jadi penerusku, jadi jaga dia baik-baik, Acey!" pungkas Sachi hingga membuat Acey menoleh padanya.

"Tentu, My Lord! Akan kujaga dengan seluruh hidupku!" sahut Manticore itu, diikuti matanya yang berkedip begitu pelan saat bertatapan dengan Tuannya, "dan juga ... Terima kasih karena tidak menyerah untuk kembali pada kami semua, My Lord."

Mata Sachi memanas. Mendengar ucapan singkat darinya, membuat Sachi diliputi keharuan. Sachi mengangguk lembut, "terima kasih juga, karena kalian masih menungguku tanpa lelah."

Sachi tertunduk, ia segera mengusap kedua matanya sesaat air yang berada di dalamnya baru saja hendak terjatuh. "Kau bertambah tua, Kei! Tubuhmu semakin membesar sekarang! Apa kehidupanmu begitu membahagiakan selama aku tertidur?" ucap Sachi, seraya melangkah, menaiki punggung Harimau Putih di depannya itu.

Kei beranjak, setelah Tuannya sudah duduk dengan begitu tenang di punggungnya, "kami semua bertumbuh. Hanya kau saja yang mungkin tidak mengalaminya! Kau bahkan belum bertemu dengan Burung menjengkelkan itu!"

"Kau akan lebih terkejut, saat melihatnya yang sekarang mungkin sudah bisa menghancurkan kepala manusia hanya dengan cakarnya saja dalam satu kali serangan! Jangan harap, kalian para manusia bisa membawanya lagi ke pundak kalian!"

"Lalu jangan harap, dia akan memberi air matanya lagi untuk menyembuhkan Manusia. Kecuali, kau sebagai Tuannya, menangis darah di hadapannya. Dan semua itu, mustahil akan terjadi, bukan?" sambung Kei, dia mengucapkan semuanya dengan begitu bahagia sesaat dia berbelok, membawa Sachi berlari ke benteng yang masih jauh di sana.

Our Queen : Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang