“Huri!” panggilan tadi membuat Huri mengangkat tatapannya, “apa ada yang membuatmu resah saat ini?”
Huri tersenyum kecil lalu menggeleng, “tidak ada yang membuatku resah, Kakek Buyut,” jawabnya singkat lalu menunduk lagi.
“Jangan berbohong, beberapa Elf mengadu pada Kakek kalau sejak datang kemarin tingkahmu sudah seperti ini.”
“Kau, mengingatkan Kakek pada Nenek Buyutmu!” Huri lagi-lagi berpaling oleh kata-kata yang baru saja didengarnya, “dulu juga, ia selalu merenung, larut dalam pikirannya sendiri. Bodohnya Kakek dulu … Kakek tidak pernah bertanya apa yang selalu ia pikirkan kala itu. Andai saja, Kakek tidak menyerah untuk menanyainya, mungkin saat ini akan ada beberapa hal yang dapat kami cegah kejadiannya,” sambungnya seraya tersenyum disaat tatapan Huri tak berpaling memandangnya.
“Di kehidupan sebelumnya, Kakek Buyut memaksakan kehendak Kakek Buyut kepadaku,” ujar Huri seketika memalingkan wajah, menghindari tatapan di antara mereka, “jangan mengacaukan apa yang sudah aku perjuangkan hanya demi keegoisan kalian … Itu sudah lebih dari cukup untukku.”
“Aku, hanya ingin menjadi anak yang bahagia bersama orangtuanya. Aku, hanya ingin menjadi wanita yang bahagia bersama pasangannya. Aku tidak memerlukan apa-apa lagi, Kakek Buyut….”
“Karena dua hal itu saja, terasa begitu mustahil untuk kugapai,” tutur Huri kembali, akan tetapi kali ini pandangannya yang memandang Kakek Buyutnya itu terlihat begitu lelah.
Mereka berdua menghening … Kakek Buyut, sama sekali tak menjawab kata-kata cicitnya setelah pembicaraan tadi.
“Putri!”
Huri menoleh pada suara yang memanggilnya. Suara yang ternyata berasal dari Leshy milik Ibunya, “ada apa, Paman? Apa terjadi sesuatu?” Huri bertanya dikala sebelumnya ia sempat mencuri pandang ke arah Kakek Buyutnya yang mendadak gelisah.
“Kumpulkan pasukan tambahan dan tolong Ryuzaki!”
Huri terkesiap. Dalam sesaat, ia langsung mengerti arti dari ucapan lantang Kakek Buyutnya. Tanpa pikir panjang, gadis tersebut segera membuka gerbang dengan sihirnya … Lalu berlari sambil mengabaikan beberapa panggilan menyerukan namanya.
Huri terpaku. Ia spontan menunduk dengan lengan kanan terangkat melindungi keningnya dari kilatan api yang berkobar tepat di depan gerbang. “Argh!” Huri mengerang kesakitan, sesaat rasa terbakar menepuk lengannya tadi.
Huri lengah! Ia sama sekali tak menyadari, bahwasanya ketika ia tengah membangun gerbang … Ketika itu juga, salah satu makhluk pembawa kutukan, antek-antek dari Naga Kekaisaran sudah menunggunya dari buramnya langit.
Huri menurunkan tangannya yang gemetar hebat oleh rasa sakit. Ia meringis … Lengannya melepuh, kemerah-merahan lengkap dengan nanah hijau yang mengalir keluar. Dari lengan yang melepuh tadi, turut keluar bau busuk … Bau busuk yang cukup untuk membuat seseorang memuntahkan isi perutnya.
Ketika Huri hendak mengangkat wajahnya … Keadaan di sekitarnya mendadak gelap. Beberapa pohon tumbuh melengkung di atas kepala Huri. Melindungi gadis tadi dari si pembawa kutukan yang hendak meludahinya lagi.
Mata Huri membelalak. Ia menunduk untuk melihat apa yang saat itu tiba-tiba melilit pinggangnya … Akan tetapi, sebelum sempat ia memastikan, tubuhnya justru dalam sekejap sudah ditarik ke belakang oleh benda yang melilitnya.
“Apa kau baik-baik saja?”
Pertanyaan barusan membuat Huri tersadar hingga ia menoleh pada asal-muasal suara tadi, “aku baik-baik saja, Kakek Buyut,” jawab Huri, memaksakan diri untuk mengangguk walau sakit di lengannya masih begitu sangat menyerang.
Setelah mendengar jawaban Huri, Sang Kakek membentangkan tangannya. Mengikuti perbuatan Sang Kakek, pohon yang sebelumnya tumbuh untuk melindungi Huri tiba-tiba merekah lalu tumbuh meruncing ke langit dengan begitu cepat hingga makhluk pembawa kutukan … Makhluk yang meludahkan kutukan pada lengan Huri, tak bisa lagi mengelak dari tajamnya ujung pohon yang menembus seluruh isi perutnya.
Huri kembali melempar pandangan pada Kakek Buyutnya, yang saat itu sudah menurunkan lagi tangannya setelah serangan menakjubkan yang ia berikan pada makhluk tadi. “Jangan bertindak sendirian! Jangan berdiri jauh dari Kakek! Kalau kau tidak mendengar, maka Kakek akan mengurungmu ke Dunia Elf!” perintah Kakek Elf tatkala ia membalas tatapan Huri.
“Kakek! Tolong! Tolong selamatkan mereka!” Samar-samar terdengar suara Ryuzaki dari rerumputan yang mereka injak.
Mendengar permintaan tolong dari cucu laki-lakinya, Kakek segera meraih lengan Huri lalu menariknya pergi dari tempat mereka berdiri. “Ryuzaki!” Huri seketika menutup mulutnya tatkala Kakek Buyutnya memekik, meneriaki nama Pamannya yang tengah berjuang sendiri melindungi gundukan lilitan batang pohon dari api yang disemburkan oleh Naga besar di depannya.
Air mata Huri tanpa sadar sudah mengalir saat ia memandang Pamannya yang ketika itu sudah ambruk ke tanah, masih berusaha mengalirkan sihirnya ke gundukan batang pohon tadi. “Kerahkan seluruh pasukan! Ikut bersamaku untuk menyerang Naga di sana!” Kakek meneriaki perintah sesaat ia sudah berlari meninggalkan Huri untuk menyelamatkan Ryuzaki yang kehadiran sihirnya sudah begitu tipis dirasakan.
Huri mematung. Saking gemetarnya dia, tubuhnya sendiri pun begitu sulit untuk ia gerakkan. Kobaran api yang begitu besar di depan matanya, membangkitkan seluruh ingatan buruk yang membawanya pada keputusasaan. “Kakek Buyut? Paman?” Bibir Huri bergetar hebat saat mengucapkannya tatkala setelah Naga Kaisar membakar Ryuzaki dengan apinya, dia lanjut menyemburkan api pada Kakek Buyutnya yang saat tersebut berlari, ingin mendekati mereka.
Huri jatuh terkulai, ia begitu tak sanggup memandang kobaran api yang semakin membesar di hadapannya … Terlebih, sesaat Naga Kaisar menyerang Pamannya, ia masih sempat merasakan beberapa kehidupan dari dalam gundukan yang berusaha dilindungi oleh Pamannya tadi. “Ibu!” Gadis tersebut dengan putus asa memanggil Ibunya dalam tangisan.
“Seharusnya ini tidak terjadi, aku sudah memperingati Paman … Kenapa semua kembali terulang? Kenapa tidak ada yang berubah, Ibu?” Huri bersujud, mengeluarkan tangisan yang begitu pilu terdengar.
“Putri! Segera lari dari sana, Putri! Bantuan akan segera datang!”
Huri mengangkat wajahnya yang menempel di tanah, lalu menoleh pada suara yang memanggilnya, “apa Ibumu pernah mengajarkanmu untuk menyerah? Segera lari dari sana, Putri!” Laki-laki jelmaan Leshy yang ditugaskan menjadi pengawal Huri terus berteriak sambil berlari ke arahnya.
“Putri!”
Bersamaan dengan panggilan tadi, turut terdengar raungan yang berasal tepat di belakang Huri. Raungan tadi begitu kuat, begitu menggelegar hingga mampu membuat bulu kuduk merinding saat mendengarnya. Dan begitu Huri menoleh atas raungan tadi … Kedua matanya langsung berhadapan oleh deretan gigi besar nan runcing.
Dari jarak yang begitu dekat tadi, Huri dapat melihat dengan sangat jelas kepulan asap keluar dari sela-sela gigi di hadapannya itu. Huri hanya bisa sesenggukan, rasa takut sudah mengendalikan dirinya untuk tidak bisa bergerak lagi ke mana pun terutama … Asap dan hawa panas menampar wajahnya sesaat deretan gigi-gigi tadi bergerak.
“Keberadaanku? Atau kesempatan untuk mereka?” Huri terpejam sambil membatin pada dirinya, “kumohon siapa saja nanti … Kumohon, tolong ingat aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...