“Berikan aku kabar buruk terlebih dahulu!” pinta Sachi kepada suara Lux di dalam kepalanya itu.
“Baiklah,” jawab Lux yang tiba-tiba menghening setelah kata singkat barusan, “sebelum ke Balawijaya, kami sempat mampir ke Il. Kami tidak bisa menemukan Danurdara dan keluarganya di sana. Di dalam Istana, kami hanya dapat menemukan banyak sekali tengkorak manusia yang berserakan.”
“Kemungkinan besar, Danurdara tidak selamat karena saat kami pergi ke Balawijaya, kami juga tidak menemukannya.”
“Lalu, bagaimana dengan mereka yang ada di Balawijaya?” sahut Sachi, yang segera menyergah ucapan Lux.
“Kondisi di sini juga sama buruknya, terlebih dengan Julissa yang terlihat seperti seorang manusia kehilangan kewarasannya. Adinata berkata, Julissa sudah seperti itu saat dia dipaksa untuk memakan daging manusia. Dan….”
“Dan? Dan apa?” tanya Sachi begitu penasaran disaat Lux mendadak terdiam.
“Dia tidak berhenti memanggil namamu. Sachi, selamatkan aku! Dia tak berhenti meracau dengan kata-kata tadi.”
“Aku sudah meminta Adinata bersumpah, dan dia sudah lolos menurut penilaianku. Selanjutnya, apa yang ingin kau lakukan pada keluarga mereka? Karena Adinata sendiri berkata, bahwa dia tidak ingin meninggalkan Balawijaya dan meninggalkan sisa pasukan yang begitu setia padanya.”
“Mereka juga memiliki anak perempuan yang perlu untuk kita bantu, maksudku kondisi anak mereka tak kalah memprihatinkan! Tubuhnya kecil walau usianya tidak terlalu jauh dari Sema dan juga Anka.”
Sachi menunduk dan terdiam cukup lama sebelum ia menghela napasnya, “kalau Adinata dapat bertanggung-jawab bahwasanya pasukan miliknya tidak akan berbalik menyerang kami. Dia dapat mengajak pasukannya untuk ikut pergi.”
“Lux, bagaimana keadaan Raja Bagaskara?”
“Dia sudah menutup usia beberapa tahun yang lalu. Adinata, merupakan Raja Balawijaya untuk saat ini.”
____________.
Tanpa alas, kedua kaki Sachi terus saja melangkah menyusuri rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar sarang milik Uki. Kaki Sachi berhenti bergerak, diikuti kepalanya yang mendongak, menyambut kedatangan sihir kecil dari langit. “Kau sudah kembali?” tanya Sachi, kepada sosok Peri miliknya itu.
“Aku tidak tahu kalau perjalanan kami akan sangat lama jika dihitung dari waktu di Dunia Kou. Kau sudah memikirkan nama untuknya?”
Sachi menggeleng lembut. Ia lalu tertunduk sambil mengusap pelan pipi bayi yang ia gendong menggunakan jempol, “aku ingin Ayahnya yang memberikan nama untuknya. Jadi Lux, kabar apa yang kau bawa dari Yadgar?” Sachi balik bertanya sembari menoleh lagi pada Lux.
“Kami menemukan Tsubaru dan telah meminta Kakekmu untuk membawanya ke sana. Apa ada lagi manusia yang ingin kau cari keberadaannya?”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku tentang keadaan Yadgar … Itu membuatku yakin bahwa Yadgar jauh dari kata baik-baik saja,” ungkap Sachi sembari berbalik lalu mulai melanjutkan lagi langkahnya, “tidak ada yang perlu dicari lagi. Aku juga akan segera kembali ke sana, tapi sebelum itu kau beristirahatlah lalu pulihkan sihirmu dari kegelapan di luar sana.”
____________.
“Kau yakin ingin kembali ke sana?”
Sachi berbalik, menatap Uki sambil tangannya tak berhenti mengusap punggung bayi yang ia gendong, “aku sudah terlalu lama berada di sini. Aku ingin segera kembali untuk memastikan semuanya-”
“Tinggalkan saja dia di sini! Biar aku yang menjaganya!”
Sachi tersenyum setelah mendengar ucapan Uki yang memotong kata-katanya, “aku akan menjaganya agar tak tercemar oleh kegelapan. Dia harus mengenal saudara dan saudarinya … Karena jika nanti aku dan Zeki tidak mampu untuk menjaganya, mereka akan menjaga satu sama lain sebagai Adik dan Kakak. Aku tahu bahwa kau khawatir padanya, tapi aku berkeyakinan bahwa tiap anak yang kulahirkan … mereka lahir dengan membawa keistimewaan masing-masing.”
“Sepertinya Kou sudah selesai membuat gerbangnya. Aku pergi! Dan … Terima kasih karena sudah menjaga kami selama ini, Uki!” sambung Sachi yang kembali tersenyum sebelum ia melenggang pergi meninggalkan Uki di sarangnya.
“Apa kau sudah tidak sabar bertemu dengan Ayah dan Kakak-kakakmu?” tutur Sachi yang terus berjalan sambil memperhatikan wajah bayi yang ia gendong.
Sachi mengusap lembut rambut cokelat tipis anaknya itu, ia cukup lama menatap sepasang mata hijau dari sosok kecil tadi sebelum kecupan darinya mendarat ke kening anak bungsunya tersebut. “Kau sudah berada di sini, Lux?” pertanyaan terlontar di bibir Sachi, tatkala dia menangkap Lux yang telah terbang di sekitar gerbang milik Kou.
“Aku sudah lama menunggumu!” sahut Lux sembari terbang mendekati anak yang digendong oleh Tuannya, “kalau ketiga anakmu yang lain terlihat seperti Zeki, yang ini semakin hari terlihat seperti dirimu. Matanya berkedip menatapku … Ini seperti dia mengerti dengan apa yang kukatakan.”
Mata Sachi berpaling pada sesosok bayangan yang berjalan masuk melewati gerbang milik Kou. Bibir perempuan itu mengembangkan senyuman tatkala sosok yang masuk tadi, merupakan Zeki, suaminya sendiri. “Kenapa kau tiba-tiba diam di sana? Kau tidak ingin bertemu dengannya?” tanya Sachi sembari melangkah, mendekati Zeki yang mematung dari tempatnya semula berdiri.
“Tanganmu? Apa kau tidak ingin mengendongnya?”
Zeki yang sempat melamun, segera tersadar kembali setelah mendengar kata-kata istrinya. Laki-laki tersebut segera mengangkat kedua tangannya … Menyambut bayi yang diberikan oleh Sachi kepadanya. “Kau menghilang beberapa pekan, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Zeki penuh bingung sambil memandang wajah Sachi di depannya.
“Aku dipinta untuk tinggal di sini, kata mereka kegelapan tidak baik untuk perkembangannya … Kata mereka, selama hamil aku harus menjauhi kegelapan untuk kebaikanku dan anak yang kukandung. Maafkan aku, karena tidak sempat membicarakannya. Semuanya terjadi secara tiba-tiba,” ucap Sachi bercampur kebohongan sambil mencium pipi anak mereka di gendongan Zeki.
“Apa kau? Apa kau melakukannya sendirian?”
Sachi menggelengkan kepalanya, “semua yang ada di sini membantuku. Aku tidak berjuang sendirian … Sama sekali tidak!”
“Jujur sebenarnya aku ingin kau ada di sini, tapi siapa yang akan menjaga anak-anak? Apa mereka baik-baik saja?”
“Mereka baik-baik saja. Mereka justru tidak bisa banyak berkutik setelah Kakekmu ikut tinggal bersama kami di rumah. Sema dan Anka terlihat sangat tertekan.”
Sachi tertawa kecil setelah mendengar jawaban Zeki, “entah kenapa aku bisa langsung membayanginya.”
“Ayo pulang, Darling! Aku sudah sangat merindukan mereka!” ujar Sachi sembari menyelipkan tangannya di salah satu lengan Zeki, “kau pasti sangat merindukanku, kan? Buktinya kau berada di sini sekarang.”
“Aku baru pulang menemui Aydin, lalu tak sengaja melihat gerbang muncul di perjalanan pulang. Kau benar! Aku sangatlah rindu sekaligus khawatir denganmu.”
“Sekali lagi maafkan aku!” ungkap Sachi sambil mengusap lengan Zeki yang ia rangkul, “dia perempuan dan masih belum memiliki nama. Apa kau sudah menemukan nama yang cantik untuknya?”
“Ada sebuah nama yang terbesit di dalam kepalaku. Namun aku tidak yakin kau akan menyukainya atau tidak.”
“Dan namanya? Aku ingin mengetahuinya!” pinta Sachi untuk menyakinkan suaminya yang terlihat ragu mengucapkannya itu.
“Zehra Bechir! Zehra yang berartikan cerah atau bercahaya … Dia seperti sebuah cahaya yang terlahir di tengah kegelapan,” tutur Zeki sembari mencium kening bayi perempuan yang ia gendong tersebut.
“Nama yang indah!” sahut Sachi sambil mengusap lembut kepala putrinya, “Zehra! Mulai sekarang dia akan dipanggil Zehra.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasíaSambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...