“Takumi! Apa yang kau lakukan, Takumi!” Ebe membungkuk, berusaha melerai perkelahian di antara anak laki-laki dan anak perempuan di hadapannya, “kau laki-laki! Kenapa berkelahi dengan Huri!” bentak Ebe yang membentang kedua lengannya agar kedua anak tadi mundur untuk saling menjauh.
“Astaga, Takumi! Apa yang harus Ibu jelaskan pada Bibi Sachi kalau sampai dia melihat Huri seperti ini,” sambung Ebe yang begitu khawatir sambil menyentuh pipi anak perempuan yang menangis di hadapannya, “Huri, jangan menangis sayang! Bibi akan menghukum Takumi karena sudah mengganggumu.”
“Minta maaf padanya, Takumi!”
“Tapi dia yang salah Ibu! Dia yang terlebih dahulu menggangguku! Jangan berpura-pura menangis, kau Huri!”
“Bibi! Takumi memukulku … Sakit sekali! Huri tadi tidak sengaja melihatnya, Huri mendekati Takumi lalu Huri tanya kenapa dia sendirian di sini. Huri hanya bertanya, tapi Takumi langsung menarik rambutku, Bibi!”
“Takumi, kau!”
“Ibu! Aku bersumpah tidak melakukannya. Kenapa Ibu lebih mempercayainya!”
“Diam! Ibu tidak ingin mendengar apa-apa lagi!” bentakan Ebe membuat Takumi menghening seketika.
Ebe menarik jari telunjuk yang mengarah pada putranya. Dia langsung membungkuk meraih Huri yang masih larut dalam tangisannya, “Ibu tidak akan memberikanmu makan siang! Biar saja kau kelaparan, karena tidak ingin meminta maaf setelah apa yang kau lakukan!” tutur Ebe, sembari melangkah dengan membawa Huri ke gendongannya.
“Menangis apanya! Apa mata Ibu tidak bisa melihat senyumannya itu,” gumam Takumi, yang segera melengos, mengabaikan senyum yang diperlihatkan Huri.
__________.
“Takumi! Kalau Ibuku bertanya, katakan aku sejak tadi bermain denganmu.”
Kening Takumi mengerut, sambil matanya terus bergerak memperhatikan anak perempuan yang sudah duduk di dekatnya itu, “aku tidak mau! Kau pasti berbuat nakal dan berniat melimpahkan semuanya kepadaku lagi, kan?” gerutu anak laki-laki tadi sembari tak memalingkan pandangan dari Huri yang terus menerus celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu.
“Aku hanya melupakan janjiku pada Ibu untuk membantu mereka menjaga Miyu. Takumi tolong aku! Ibu pasti marah karena aku tidak pulang sampai sekarang,”
“Aku tidak mau! Itu kesalahanmu sendiri.”
“Takumi!” panggil anak perempuan tersebut disertai rengekan, “Ibu sangat menyeramkan saat marah.”
“Aku akan memberikanmu mainan yang baru saja dibeli oleh Ayahku!”
“Mainan?” Kepala Huri mengangguk cepat untuk menyakinkan Takumi, “ba-baiklah! Tapi apa menurutmu Bibi Sachi akan percaya? Bukankah lebih bagus meminta tolong Ihsan?”
Huri bergerak lalu bersandar di pohon yang sama dengan Takumi, “kak Ihsan tidak akan pernah berani berbohong pada Ibu atau Ayah. Lagi pula, dia selalu bermain dengan Kak Hikaru.”
“Dan kenapa kau tidak ingin menjaga Miyu?” Lagi-lagi Takumi melempar pertanyaan kepadanya.
“Miyu selalu menginginkan mainan yang aku bawa, tiap kali aku ingin membawa mainan tersebut pulang, dia selalu menangis. Ibu selalu memintaku untuk meminjamkannya saja karena Miyu masih kecil … Tapi itu mainanku! Ayah yang membelikannya untukku.” jawab anak perempuan tadi dengan bibir gemetar menahan tangis di ujung perkataannya.
“Kau bahkan sering merebut mainanku! Tidak apa-apa kalau Miyu sekali-kali meminjam mainanmu. Kau harus berbagi! Walau bagaimana juga, Miyu adik kita!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...