Zeki melirik ke arah Sachi yang terlihat begitu gelisah di dekatnya, “kau ingin masuk atau tidak?” Kepala Sachi dengan cepat mengangguk setelah mendengar pertanyaan yang Zeki lempar.
Zeki menarik dalam napasnya sendiri sebelum tangannya mengetuk pintu yang ada di depannya. “Eneas, coba lihat siapa yang ada di luar!” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu, menggiringi ketukan yang Zeki lakukan.
Zeki sedikit mundur beberapa langkah sesaat pintu di depannya itu hendak terbuka, “Kak Zeki?” laki-laki yang muncul dari balik pintu itu terlihat sangat terkejut, sebelum matanya segera berpaling ke arah perempuan yang berdiri juga di sana, “nee-chan?” sambung laki-laki itu kembali, dengan mata berbinar saat keluar dari ruangan tersebut.
Sachi memberikan guci kecil berisi air mata Uki yang ia pegang kepada suaminya, sebelum kedua tangannya merentang … Menyambut laki-laki yang berjalan ke arahnya tadi dengan pelukan. “Nee-chan, syukurlah kau baik-baik saja,” isak laki-laki tersebut di pelukan Sachi.
“Aku sangat ingin menemuimu semalam, tapi aku masih harus menjaga Ayah dan Ibu-”
“Tidak apa-apa! Terima kasih karena sudah menjaga mereka,” ucap Sachi sambil mengusap punggung adik laki-lakinya itu.
Eneas mundur setelah melepas pelukannya. Wajahnya menunduk dengan tangan mengusap kedua matanya, “Takumi semalam membawakanku makanan, katanya nee-chan yang membawakannya. Rasanya lezat sekali … Aku bahkan tidak sadar sudah menghabiskannya.”
“Aku memasak lebih banyak lagi hari ini. Kau harus memakannya!”
Eneas mengangguk, “pasti!” jawabnya sebelum berjalan mendekati Zeki, “kak Zeki!” seru Eneas sambil membentang kedua tangannya, memeluk Zeki yang berdiri di dekat mereka.
“Bagaimana keadaanmu?”
Eneas lagi-lagi mengangguk, lalu berjalan mundur, “aku baik-baik saja, kak! Kalian ingin bertemu Ayah dan Ibu, kan? Mereka ada di dalam!” ungkap Eneas sebelum dia berbalik lalu masuk kembali ke dalam ruangan di depan mereka.
Sachi berjalan masuk menyusul Eneas, dengan Zeki yang mengikuti mereka di belakang. “Ayah!” panggil Sachi kepada laki-laki paruh baya yang duduk di atas kursi roda terbuat dari kayu.
Tangis perempuan itu tak terbendung. Ia segera berjalan lalu duduk di hadapan lelaki tadi sambil meletakkan kepalanya di paha laki-laki tersebut, “maafkan Sachi, Ayah. Maafkan Sachi yang baru bisa mengunjungi Ayah sekarang,” isak perempuan itu yang kian kuat menangis tatkala sebuah tangan bergerak mengusap pelan kepalanya.
“Tidak apa-apa! Ayah justru sangat bahagia, karena kau akhirnya berkunjung.”
Sachi mengangkat wajahnya. Dia beranjak lalu mengecup pipi laki-laki yang duduk di depannya itu, “aku sangat merindukan Ayah,” ucapnya dengan lagi-lagi menangis tatkala matanya saling pandang dengan mata Ayahnya.
“Ayah juga sangat merindukanmu. Syukurlah, Ayah tidak lupa dengan wajah putri Ayah sendiri.”
“Aku hampir lupa! Kami membawa sesuatu untuk Ayah!” seru Sachi yang segera mengelap tangisannya, “Haru-nii, kami membawa air mata Uki. Tapi aku tidak tahu, air mata itu akan bisa menyembuhkan Ayah atau tidak?”
Zeki yang mendengar ucapan Sachi, segera mengulur guci kecil di tangannya kepada Haruki yang baru saja selesai menurunkan seorang perempuan di kursi roda yang lain. “Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya!” tutur Haruki setelah menerima guci yang Zeki berikan, “Ayah, cobalah untuk meminum air yang ada di dalam guci ini! Ibu, kau juga harus meminumnya nanti!”
______________.
“Kak Huri, apa benar di sana ruangannya?”
Huri mengangguk, “kakak merasakan sihir Paman Ryuzaki di sana,” ucap Huri kepada adiknya itu.
Huri dan Anka kembali melanjutkan langkah mereka yang sempat terhenti, memasuki ruang tanpa pintu yang berada di ujung lorong. “Kak Ihsan, di mana Ayah dan Ibu?” tanya Huri yang tidak menemukan keberadaan orangtuanya di dalam ruangan tersebut.
“Mereka mengunjungi kamar Kakek dan Nenek. Bagaimana keadaanmu? Kalau kau lelah atau kurang sehat, lebih baik beristirahat saja!”
Huri menarik kursi yang ada di samping Ihsan lalu mendudukinya, “aku baik-baik saja, Kak! Tidak perlu khawatir,” ungkap Huri yang segera menunduk, sesaat dia tersadar kalau Ryuzaki mengawasi mereka dari kursinya.
“Huri!”
“Iya, Paman!” Huri segera mungkin menyahut panggilan Ryuzaki dengan mengangkat pandangannya.
“Jangan terlalu memaksakan dirimu!” kata-kata singkat Ryuzaki, membuat gadis tersebut segera menggigit bibirnya.
“Aku tidak memaksakan diri, Paman. Sama sekali tidak!” jawab Huri sambil tersenyum menatap Pamannya itu.
“Ibu!”
“Takumi, berhenti menggoda Adikmu!”
“Aku tidak melakukannya, Ibu. Aku hanya berjalan di belakangnya.”
Suara-suara yang saling bersahut tadi, membuat Huri menoleh ke arah pintu terbuka yang ia lewati sebelumnya. Menyusul suara yang ia dengar tadi … Muncul Izumi, Ebe, dan kedua putra mereka yang berjalan masuk. “Apa mereka masih belum datang?” tanya Izumi setelah ia duduk di sebelah Ryuzaki.
“Belum. Mungkin sebentar lagi.”
“Kau memiliki anak yang luar biasa kuat, Kak! Bahkan sampai sekarang aku masih bisa merasakan kuatnya sihir yang ia keluarkan tadi.”
“Apa yang kau maksudkan itu Takumi? Aku juga tidak menyangka awalnya kalau dia mampu mengendalikan air seperti duyung yang lain. Kau tahu sendiri, kalau Ebe saja setengah manusia … Sama seperti kalian yang setengah Elf,” sahut Izumi sambil menoleh pada putranya yang berjalan mendekati kursi di samping Huri.
“Apa yang kau lakukan di sana, Takumi? Itu tempat duduk untuk Paman dan Bibimu.”
“Ayah!” seru Takumi yang balas memanggil orangtuanya, “biarkan para orangtua duduk di sana dan anak-anak duduk di sini. Biarkan Akemi duduk di dekat Sema dan Anka! Biarkan mereka berteman agar Akemi tidak terlalu takut lagi pada manusia selain kita.”
“Lalu kenapa kau justru menarik kursi yang ada di samping Huri? Kalau kau memang ingin ikut menjaga adikmu, seharusnya kau tarik kursi yang ada di dekat mereka!” kali ini Ebe menyahut sambil menunjuk beberapa kursi kosong yang ada di samping Sema dan Anka.
“Kenapa Ibu tidak mengerti?” jawab Takumi, yang segera duduk di kursi tanpa memedulikan ucapan Ibunya, “aku tidak ingin membuat mereka segan berbicara dengan kehadiranku di sana. Lebih baik aku di sini! Duduk di dekat mereka yang usianya hampir sama denganku.”
“Apa kau keberatan kalau aku duduk di sebelahmu, Huri?”
Huri menoleh, hingga matanya langsung terjatuh pada sepasang mata abu-abu di depannya, “lakukan sesukamu!” jawab Huri singkat dengan kembali menunduk, membuang pandangannya.
“Ayah, apa aku boleh duduk di dekat Sema dan juga Anka?” Yuichi, Putra Ryuzaki menimpali keheningan yang terjadi di antara mereka.
“Duduklah di sana! Ajak juga Akemi untuk duduk bersama kalian!” Ryuzaki melirik ke arah Huri yang masih tertunduk setelah putranya sudah berjalan meninggalkannya, “setiap makhluk terlahir untuk mencari kebahagiaan masing-masing. Kesempatan kedua tidak akan selalu datang, jadi jangan menyia-nyiakan semuanya.”
“Apa yang tiba-tiba kau gumamkan ini, Ryu?” tanya Izumi kepada adiknya yang tiba-tiba bergumam di sebelahnya itu.
“Hanya pengingat untuk diriku sendiri saja, Kak! Agar aku bisa selalu bersyukur karena setiap yang aku pilih, tidak berakhir dengan penyesalan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantastikSambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...