“Kemarilah! Ibu akan menggendongmu!” perintah Sachi, setelah dia masih memerhatikan Anka yang terlihat begitu lemas.
Sachi menoleh ke belakang, sesaat dia merasakan seseorang menepuk pundaknya. “Biar aku saja yang menggendongnya,” sahut Zeki sembari melangkah ke sebelah Sachi.
Anka terdiam, dia menatap lama kedua lengan Zeki yang menjulur ke arahnya, “Ibu, di mana Kak Ihsan?” Anka bertanya sembari memalingkan wajahnya kepada Sachi.
“Kakakmu?” Sachi membalas dengan wajah yang ia buang ke samping, seperti tengah mencari sesuatu, “sepertinya mereka belum sampai.”
“Ibu!” Anka kembali memanggilnya, setelah sosok Ibunya itu menjawab pertanyaannya.
“Kau ingin Ibu yang menggendongmu?” Anak laki-laki tersebut mengangguk, mengiyakan kata-kata yang ia dapatkan.
“Baiklah.” sahutnya sambil mengangguk pelan, diikuti kedua tangannya yang terangkat meraih putranya, “apa kau masih ingin muntah?” sambung Sachi bertanya setelah Anka sudah berada di gendongannya.
“Kau sekarang berat sekali! Dulu aku masih sanggup menggendong kalian berdua secara bersama-sama. Tapi sepertinya sekarang, hal itu akan menjadi mustahil untuk aku lakukan,” tutur Sachi sesaat Anka menjawab pertanyaannya sebelumnya dengan gelengan kepalanya.
“Aku juga ingin.” Sachi memalingkan tatapannya, menatapi Sema yang bergumam sambil tertunduk memandangi bekas muntahan Anka di punggung Manticore.
Zeki yang saat itu terdiam, segera mundur beberapa langkah lalu melanjutkan langkahnya tadi mendekati Sema. “Apa kau bersedia kugendong?” Sachi masih terdiam melihat Zeki yang bertanya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya di samping Sema.
“Paman, siapa?”
“Zeki Bechir. Aku Ayah kalian,” jawab Zeki, ketika Ayah dan Putranya itu saling bertatap.
Sachi mengangguk, tatkala Sema membuang lirikan kepadanya, “aku tidak ingin digendong. Aku hanya ingin berjalan.”
Sachi terenyuh saat melihat kekecewaan tersirat di wajah suaminya itu, disaat Sema juga menolak ajakannya dan memilih untuk meloncat turun dari atas punggung Manticore yang ia tunggangi. “Kalau saja wajahku tidak mirip dengan Ryuzaki, mereka juga pasti tidak akan mengenalku saat pertama kali kami bertemu,” tutur Sachi menggunakan Bahasa Yadgar hingga membuat Zeki segera berpaling padanya.
“Aku juga, tidak serta-merta diterima oleh mereka. Lambat laun, mereka juga akan terbiasa dengan kehadiranmu … Lagi pula, aku sangatlah yakin bahwa mereka hanya gugup. Aku selalu memberitahu mereka betapa hebatnya dirimu, dan mereka pun begitu ingin menjadi sepertimu saat aku menceritakannya.”
“Mereka tidak akan ikut bersamaku, kalau saja mereka tidak ingin bertemu denganmu.”
“Jadi jangan bersedih! Semuanya pasti baik-baik saja,” sambung Sachi, sambil tersenyum manis kepada laki-laki yang masih menatapnya itu.
“Apa wajahku terlihat begitu jelas kecewa?” Sachi mengangguk dikala Zeki balas bertanya menggunakan Bahasa Yadgar.
“Sema! Jangan jauh-jauh dari Ayah dan juga Ibu. Mendekatlah ke sini!” pinta Sachi, yang berbalik menatap Sema, tatkala pada saat putranya itu hampir tak berkedip memandang Ayahnya dari kejauhan.
“Kak Ihsan!”
Sachi berbalik, setelah mendengar seruan dari Anka yang ia gendong. Perempuan itu berdiri diam, sambil menanti dua Manticore yang berlari mendekati mereka. “Kak Ihsan!” Anka kembali memanggil Kakaknya, sesaat kedua Manticore tadi berhenti di hadapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...