“Apa maksud dari semua kata-katamu tadi?”
Sachi terdiam. Ia menunduk setelah kedua mata mereka saling memandang dari kursi masing-masing, “Robur Spei yang sudah pernah tercemar kegelapan, pasti akan segera layu lalu mati walau ia telah dimurnikan,” ungkap Sachi sambil menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda kontrak di antara dirinya dan Kou.
“Tanda kontrak di leherku sudah mulai memudar, dan saat tanda ini hilang sepenuhnya … Aku tidak akan pernah lagi bisa bertemu kalian.”
“Jangan bercanda, Sachi!”
“Untuk apa aku bercanda!” Sachi turut menyahut bentakan Izumi padanya, “untuk apa aku bercanda tentang hal ini, nii-chan,” sambung Sachi sembari menunduk, menghindari tatapan Izumi ke arahnya.
“Siapa saja yang telah mengetahuinya? Siapa saja yang sudah mengetahui hal ini!”
Kepala Sachi menggeleng. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya sebelum mengangkat wajah … Memandang Izumi yang telah beranjak dari kursinya, “hanya Izu-nii, dan mereka yang berada di bawah kontrak denganku.”
“Berkaca dari reaksi Izu-nii sekarang, merupakan salah satu alasan terbesarku untuk menyembunyikan semua ini.”
Sachi menghela napasnya, tepat ketika dia hendak beranjak, “kami tinggalkan pedang tersebut di sini. Kembalikan saja nanti pedangnya kalau nanti lamaran dari kami kalian tolak, karena itu merupakan pedang kesayangan Suamiku.”
“Nii-chan, jangan terlalu risau dengan ucapanku barusan! Jangan jadikan kata-kataku, sebagai alasan kau mengingkari janji dengan Haru-nii. Karena tanpa bantuan siapa pun, sebagai Ibu … Aku akan tetap melindungi anak-anakku, walau itu berarti aku harus membawa mereka pergi menjauh dari kalian semua. Membawa mereka, ke tempat yang sama sekali tidak bisa dikunjungi Manusia.”
“Tolong jangan berpikiran buruk dengan kata-kataku barusan! Aku tidak ingin kalian berada dalam bahaya karena terlibat dengan keluarga kecil kami. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk kita semua.”
“Kami pulang, nii-chan! Kumohon, anggap pembicaraan tadi tidak pernah terjadi,” lanjut Sachi seraya berbelok lalu melenggang pergi meninggalkan Izumi yang masih mematung.
“Sachi!” Sachi menghentikan langkahnya lalu berbalik menjawab panggilan Kakaknya, “katakan sekali lagi bahwa kau sedang tidak mempermainkanku saat ini!”
Sachi melempar senyum, saat menatap kedua mata Izumi yang telah memerah, hampir menangis memandangnya, “apa pun keputusanmu nanti, Izu-nii. Kau tetaplah Kakak yang paling kusayang,” jawab Sachi sebelum dia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
“Sachi!” Ebe menyambut Sachi dengan penuh kekhawatiran tatkala Sachi baru saja membuka pintu di hadapan mereka.
Mata Sachi berpaling pada Takumi yang berdiri di samping Ibunya. Berdiri, dengan raut wajah yang juga dipenuhi oleh rasa khawatir, “jangan menekannya! Biarkan Kakakku memutuskan semuanya sendiri,” tutur Sachi sambil melirik Ebe di sebelahnya.
“Kita pulang, Zeki! Kau juga masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, kan?” sambung Sachi sembari menepuk lengan Takumi yang ia lewati, “jangan terlalu menekan Ayahmu! Dia pun serba salah saat ini,” lanjut Sachi seraya menyambung langkahnya mendekati Zeki yang berdiri tak terlalu jauh, menunggunya.
“Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?” Sachi mengangkat tangannya. Menggelayut, mengandeng lengan suaminya, “wajahmu terlihat tegang sekali! Santai, atau keriput di wajahmu akan bertambah!” Sachi mengucapkannya sambil menarik lengan Zeki agar berjalan mengikutinya.
“Apa yang kalian bicarakan di dalam? Bagaimana keputusan Izumi?”
Sachi berhenti. Perempuan itu segera memalingkan wajahnya, membalas tatapan Zeki yang tertuju padanya, “jongkok!”
“Aku memintamu untuk jongkok!” Sachi mengulangi perintahnya, diikuti tangan yang ia tarik dari mengandeng lengan Zeki, “aku ingin pulang sambil digendong olehmu, jadi cepatlah jongkok!” pinta Sachi sekali lagi, ketika alis Zeki mengerut, berusaha mengartikan maksud dari ucapan sebelumnya.
“Kenapa kau ti-”
“Darling! Apa kau ingin menolak permintaanku?” sergah Sachi sambil melepas senyum.
Senyum Sachi semakin mengembang, ketika Zeki mendongak lalu menghela napasnya, “kenapa kau tiba-tiba bersikap aneh seperti ini?” celetuk Zeki sembari berjongkok, sesuai permintaan Sachi kepadanya.
“Saat Huri tiba-tiba meminta untuk dinikahkan, aku merasa bahwa saat ini aku sudah tua sekali,” sahut Sachi, ia berjalan mendekati punggung Zeki lalu membungkuk hingga kedua lengannya melingkar di pundak suaminya, “melihatnya jatuh cinta, mengingatkanku dengan awal-awal hubungan kita yang masih begitu panas.”
“Apa hubungan kita sudah sedingin Salju di Dunia Kou saat ini?” Kali ini Zeki lagi-lagi menyeletuk, sesaat dia beranjak sambil menggendong Sachi di punggungnya.
Sachi terkekeh, ia mengangkat wajahnya … Menatap langit yang selalu mendung di atas sana, “kau tidak perlu khawatir! Huri akan menemui kebahagiaannya.”
“Seperti aku yang akhirnya bisa menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Dia pun, akan merasakan hal yang sama … Jadi jangan risau!”
“Aku sangat mengenal Kakakku itu. Aku mengetahui kelemahannya … Dia pasti akan menerima lamaran kita,” tutur Sachi, diikuti wajahnya yang kembali ia turunkan, “apa aku memberatkan punggungmu? Saat mengandung Zehra, berat badanku naik banyak sekali.”
“Aku masih kuat! Walau kau bertambah berat lagi, aku masih kuat untuk menggendongmu.”
Senyum di bibir Sachi merekah mendengar jawaban Zeki atas ucapannya. Perempuan itu mengangkat salah satu tangannya mendorong pipi Zeki, hingga wajah Zeki dipaksa menoleh ke belakang. Cukup lama, kedua mata Sachi berpapasan dengan sepasang mata biru milik suaminya yang hanya berjarak beberapa jari saja dari wajahnya … Sebelum, ia mendaratkan kecupan singkat di bibir Zeki.
“Kau terlihat gagah sekali saat berbicara dengan Kakakku tadi,” tutur Sachi dengan mempererat rangkulannya di leher Zeki, “aku yakin, Huri akan merasa sangat bersyukur memiliki Ayah sepertimu kalau saja dia melihat apa yang kau lakukan tadi.”
“Berhenti sebentar, Zeki! Aku ingin turun! Ada sesuatu yang aku lupakan.” Sachi menyambung ucapannya, diikuti tepukan yang ia lakukan di pundak Zeki.
Sachi bergerak turun, dikala Zeki mendengar permintaannya, “kau pulanglah terlebih dahulu! Aku akan segera pulang setelah menemui Adinata,” ungkap Sachi, yang melangkah mundur beberapa langkah.
“Apa yang ingin kau lakukan dengan menemuinya?”
“Aku ingin menemui Julissa. Aku ingin memastikan keadaannya. Aku tidak mungkin mengunjunginya dengan membawa Zehra … Kau luang hari ini, kan? Jadi kupikir, aku bisa mengunjungi Julissa sekarang.”
“Baiklah, tapi jangan terlalu lama! Segera kembali kalau urusanmu telah selesai,” tutur Zeki yang segera dibalas anggukan Sachi.
Sachi melambaikan tangannya, disaat Zeki sendiri telah berbalik … Melenggang pergi meninggalkannya. “Lux, kembali ke sini dan bawa air mata Uki bersamamu!” pungkas Sachi, ketika ia menghentikan lambaiannya pada punggung Zeki yang kian menjauh.
“Baiklah, akan kulakukan! Tapi apa kau yakin dengan tindakanmu tadi yang menceritakan semuanya pada Izumi?”
“Kalau apa yang kulakukan tadi dapat memberikan keraguan pada Izumi untuk menerima lamaran Haruki, maka akan kulakukan dengan senang hati.”
“Izumi, akan selalu merasa bersalah kalau melihat tangisanku. Aku, hanya ingin melihat anak-anakku bahagia … Lagi pula, Takumi memiliki darah keturunan duyung yang menjalin kontrak dengan Kou. Kelak jika mereka menjadi pasangan, Takumi tidak akan pernah bisa mengkhianati Huri karena ia terikat kontrak pada Huri yang akan menggantikanku menjadi Tuannya.”
“Takumi, merupakan pilihan terbaik untuk Huri, karena itu juga … Tidak akan kuserahkan pada seseorang yang belum tentu menjulurkan tangannya untuk membantu anak-anakku disaat mereka menghadapi masalah.”
“Aku tidak ingin, Huri mendapatkan nasib yang sama denganku … Melakukan banyak hal sia-sia, untuk menolong seseorang yang bahkan lupa bahwa mereka menggantungkan hidupnya padaku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasySambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...