“Apa yang kalian ungkit hingga membuat mereka kesal? Ucapkan kembali! Aku ingin mendengarnya.”
“Tidak ada yang ingin berbicara?” sambung Haruki setelah pertanyaannya dibalas dengan keheningan di antara mereka.
“Huri, apa kau bisa memberitahu Paman, kata-kata seperti apa yang mereka ucapkan hingga membuatmu kesal!”
“Maaf, Paman! Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Huri sambil menoleh pada Haruki, “Ibu selalu menasihatiku untuk selalu berhati-hati dengan isi dan niat hati seorang manusia. Apa ada seorang Manusia yang akan menerima kalau rahasia dan kesalahan yang ingin dia sembunyikan, dibeberkan oleh seseorang? Apa Paman dapat menjamin keselamatanku, jika aku melakukannya?”
“Paman saja tidak tahu dengan apa yang sudah mereka lakukan … Apa Paman bisa tahu, mereka akan berbuat apa padaku kalau saja aku menceritakan semuanya? Mereka ada di samping Paman yang jaraknya lebih dekat dibanding jarakku dengan Paman … Kenapa tidak langsung bertanya saja pada mereka?”
“Paman Ryuzaki!” Ryuzaki yang saat itu berjalan, segera terhenti lalu berbalik menoleh pada Huri yang memanggilnya, “esok pagi aku akan memurnikan tempat ini! Aku harap Paman Ryuzaki dapat menolongku! Aku tidak ingin, ada yang berprasangka buruk dengan mengira bahwa kami memiliki hati yang jahat karena keluarga kami tinggal di tempat yang layak … Sedang keluarga dari orangtua kami tidak!”
“Aku tidak ingin Ibuku terbebani lagi oleh masalah seperti ini!” ujar Huri lagi sembari beranjak lalu berjalan meninggalkan mereka, “aku tidak ingin Ibuku tertidur lagi oleh keburukan yang dilakukan manusia di sekitarnya! Aku tidak ingin menjaganya sendirian di tempat gelap itu lagi!” lanjutnya dengan terus berjalan mendekati bentangan kain yang dipersiapkan untuk tempat tidur mereka malam itu.
“Tolong bersikap baiklah pada Ibuku! Atau aku akan membawanya pergi ke tempat yang tidak pernah bisa kalian jangkau!” sambung gadis itu lagi, sembari membaringkan tubuhnya dengan posisi miring di sana, “aku terlahir sebagai Elf terkuat setelah Nenek Buyut … Apa pun bisa aku lakukan hanya untuk kebahagiaan Ibuku.”
“Tidak akan pernah kubiarkan, manusia-manusia lemah seperti kalian menyakitinya!”
Bau harum menyeruak memenuhi ruangan saat itu, tepat setelah beberapa saat Huri menghentikan seluruh ucapannya. Menyusul semuanya … Lux keluar dari persembunyiannya, dari balik rambut Sachi yang tergerai lalu terbang mendekati Huri yang berbaring di sana. Mengerti dengan apa yang terjadi pada putrinya, membuat Sachi ikut berdiri, “aku tidak ingin membahasnya lagi! Aku tidak peduli kalau ada yang menyukaiku atau tidak karena setelah kondisi Ayah membaik … Aku akan segera meninggalkan tempat ini!”
“Maaf untuk sikapnya yang lancang tadi! Tapi aku tidak bisa memintanya diam disaat aku sendiri yang memintanya untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala dan hatinya! Selama ini dia memendam semuanya sendirian karena harus memurnikanku … Ketidakberdayaanku sudah merenggut kepercayaan dirinya! Merenggut keceriannya!”
“Aku harap kalian dapat memaafkan sikap arogannya malam ini! Dia hanya tidak ingin aku terluka lagi untuk kesekian kalinya,” tutur Sachi yang berbelok lalu melangkah pergi, “Zeki, jangan biarkan Sema dan Anka tidur terlalu larut! Hal yang sama juga berlaku untukmu, Ihsan!”
“Kalian dengar perkataan Ibu kalian? Berdirilah dan beristirahat seperti ucapannya!” Zeki menyahut, diikuti tubuhnya yang juga beranjak lalu melangkah menyusul Sachi.
___________.
Huri membuka matanya lalu beranjak, duduk sambil mengusap pelan kedua matanya itu. Dia menoleh sejenak pada keluarganya yang pulas tertidur di dekatnya, sebelum gadis itu berdiri. “Ingin ke mana kau?” suara yang terdengar, membuat Huri seketika mencari asalnya.
“Aku ingin itu, Ayah. Aku sudah tidak bisa menahannya,” jawab gadis tersebut kepada Zeki yang juga membuka matanya.
“Ayah akan menemanimu!”
“Tidak perlu, Ayah!” sergah Huri disaat Zeki baru saja hendak beranjak, “Ayah bersama Ibu saja!”
“Kalau begitu, biar aku yang menemanimu!”
“Kak Ihsan?” Kepala gadis itu dengan cepat menggeleng, “ti-tidak perlu! Aku bisa sendiri!” sambungnya kepada pemuda yang menyahut di antara perbincanga dirinya dan Zeki.
“Terlalu berbahaya untuk pergi sendirian, Huri!”
“Tapi, Ayah-”
“Huri! Bagaimana kalau Bibi yang mengantarmu? Kebetulan Yuichi ingin pergi ke tempat yang sama!” suara perempuan yang memotong kata-katanya, membuat wajah Huri menoleh. Sarnai tersenyum sesaat Huri menatapnya, sebelum perempuan tersebut berdiri dengan menggandeng seorang anak laki-laki bersamanya, “kalau kau mau, ikutlah bersama kami!”
“Bibi tunggu!” panggil Huri yang dengan cepat berdiri, “aku pergi bersama Bibi saja, Ayah!” sambungnya, begitu terburu-buru berlari menyusul Sarnai yang menunggunya.
Huri sesekali berdesis, seperti seseorang yang sedang menahan sakit. Apa yang dilakukan gadis tersebut, membuat rasa penasaran Sarnai tergugah hingga akhirnya dia menoleh, “Huri, apa kau-”
“Karena apa yang terjadi tadi, aku tidak sempat memakan apa pun. Rasa sakitnya terasa berkali-kali lipat karena aku tidak memakan apa-apa,” rintih Huri, sambil berjongkok dengan kepala tertunduk.
“Kenapa tidak jujur saja pada Ayahmu tadi?” sahut Sarnai yang segera melangkah mendekatinya.
“Aku malu untuk membicarakan hal ini kepada Ayah dan Kakakku. Ibu juga terlihat tidak sehat … Aku tidak bisa merepotkannya!”
“Lalu bagaimana? Baiknya kita kembali, karena siapa tahu di sana masih ada makanan. Bibi juga akan meminta Pamanmu menumbuhkan tanaman obat, agar Bibi bisa membuatnya jadi ramuan untuk sakitmu.”
Kepala Huri lagi-lagi menggeleng, “aku akan pergi ke ruangan tersebut. Paman Ryuzaki sepertinya mendengar pembicaraan kita dan dia menumbuhkan pohon di sana. Aku akan mengambil buah di pohon tersebut! Bibi Sarnai ajak dia saja, soalnya wajahnya sudah penuh dengan keringat sekarang.”
“Apa kau yakin?”
Huri menarik napas lalu beranjak dengan bantuan tangan Sarnai yang memegang pundaknya, “tidak perlu khawatir, Bibi. Aku pasti akan langsung baik-baik saja setelah memakan sesuatu.”
“Apa kau yakin dapat pergi ke sana sendirian?”
Huri mengangguk, “aku bisa merasakan sihir milik Paman Ryuzaki. Aku akan mengikuti sihirnya, jadi aku tidak akan tersesat,” jawabnya sembari melangkah begitu pelan melewati Sarnai.
“Bibi, terima kasih telah menolongku!”
Huri melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti saat mengucapkan kata-kata sebelumnya … melanjutkan langkahnya mengikuti aliran sihir Ryuzaki di bawah lantai yang ia pijak. “Kenapa Istana di sini luas sekali!” gerutu Huri yang kembali berhenti sambil menekan punggung dan pinggangnya.
“Aku sudah lama berjalan, tapi ruangan tersebut masih terasa jauh. Paman, tumbuhkan di sini saja! Aku sudah tidak bisa berjalan lagi,” sambungnya yang kembali berjongkok dengan tangan melingkar di perutnya.
“Apa kutumbuhkan sendiri saja? Tapi bagaimana kalau aku tak sadarkan diri? Sekarang saja aku sudah tidak memiliki tena-”
“Kenapa kau meringkuk sendirian di sini?” Pertanyaan sekaligus tepukan di pundaknya, cukup membuat Huri menghentikan semua gumamannya.
“Apa kau sedang tersasar saat ini? Aku bisa mengantarmu kembali ke sana!”
“Huri?” suara itu kembali terdengar, memecah kesunyian di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasíaSambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...