“Kau harus memercayainya!” ucap Lux padanya, sembari menarik rambut laki-laki yang ia duduki pundaknya itu, “dia Ibumu! Wanita yang telah melahirkanmu dengan mempertaruhkan nyawanya. Kau, haruslah memercayai keputusannya, Huri!” sambung Lux ketika laki-laki jelmaan Leshy yang ia tunggangi pundaknya itu tengah melangkahkan kakinya mendekati Huri di sana.
“Paman Lux!” Huri menyahut, walau tatapannya enggan berpaling pada sosok Naga yang terbang … kian menghilang dari pandangannya, “ini kesempatan terakhirku untuk menyelamatkan Ibu. Jika kali ini gagal,” lirih Huri, sambil menggenggam tangannya yang gemetar.
“Jika kali ini gagal,” lanjutnya, mengulangi kata-kata sebelumnya, “aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.”
“Apa di setiap kehidupan yang sebelumnya kau jalani, terdapat sebuah perbedaan di antara kehidupan satu dan kehidupan lainnya?”
Lux melempar senyumnya tatkala Huri berbalik kala mendengar ucapannya, “kalau iya … Akhir yang bahagia bukanlah sebuah kemustahilan untuk didapatkan.”
“Aku memercayainya lebih dari siapa pun. Aku memercayainya bukan karena dia adalah Tuan yang harus aku layani. Namun aku memercayainya karena dia adalah Sachi.”
“Jadi Huri, segeralah buka gerbang ke Dunia Elf! Mereka sudah menunggu kedatanganmu di sana.”
__________.
“Apa kau baik-baik saja, My Lord?”
“Aku akan mendarat sejenak agar kau bisa beristirahat,” lanjut Kou ketika ia mendengar suara batuk dari Tuannya untuk kesekian kalinya.
“Tidak perlu, Kou!” Sachi menyahut, diikuti tangan kanan terangkat menutupi mulut saat dia hendak kembali batuk, “aku memanglah tidak memperhitungkan bahwa kegelapan ini sangatlah menggangguku kala berada di udara.”
“Apa kau tahu di mana persisnya letak Kekaisaran?” sambung Sachi sembari membaringkan kepalanya hingga menyentuh leher Kou, “karena aku ingin beristirahat di punggungmu saja. Lanjutkan perjalanan, Kou! Kita sudah terlalu lama menyia-nyiakan waktu.”
“Baiklah, My Lord!” Kou berseru. Kepakan sayapnya begitu keras memukul angin, Membuatnya semakin cepat membawa terbang Tuannya.
Makhluk Putih Bersayap itu, tetiba menggeram lemah. Geramannya hampir tidak lebih kuat dari embusan angin di sekitarnya, hal tersebut disebabkan oleh satu alasan saja … Ia tidak ingin membangunkan sosok manusia yang sedang terlelap di punggungnya.
Merah. Kedua bola mata Kou berubah merah bahkan hampir menghitam, layaknya gumpalan darah yang sudah ternoda. “Tidak berguna! Jangan membantah perintahku atau kalian akan menanggung akibatnya!” Kou berbicara pada benaknya sendiri.
“Kami sudah berusaha, akan tetapi bangkitnya….”
“Diam!” geram Kou sesaat ia mendapatkan suara lain yang membalas kata-katanya, “aku tidak pernah berniat menolong Manusia. Makhluk rendahan seperti mereka tidak pantas mendapatkan kebaikan darinya,” tutur Kou sambil membuka mulutnya hingga hawa dingin melenggang begitu bebas keluar, memenuhi udara.
“Jangan murnikan lautan tanpa perintah dariku! Murninya lautan, akan memurnikan seluruh air di Dunia Manusia. Daratan akan murni kembali dan Manusia akan kembali memiliki harapan.”
“Bukankah itu yang diinginkannya? Our Lord … Bukankah dia selalu mengunjungi pantai hanya untuk memberikan kami kekuatan untuk memurnikan laut?”
“Kami tidak bisa bertahan lebih lama! Bangsa Duyung akan musnah kalau saja kami tidak sesegera mungkin memurnikan lautan!”
“Bertahanlah sedikit lagi!” balas Kou. Ia memperkuat sihir di tubuhnya, sampai-sampai jemari tangan Sachi yang menyentuh sisiknya turut membeku, “kalau manusia mendapatkan apa yang mereka harapkan, maka tidak ada lagi manusia yang mungkin akan menghargainya.”
“Aku ingin manusia mengakui kebaikannya. Jadi, sebelum dia menduduki takhta tertinggi, manusia-manusia rendah seperti mereka haruslah tetap menderita.”
“Tidak ada yang bisa mengerti semua rasa sakit yang ia lalui selama ini selain kita. Setiap kali manusia menyakitinya, kita berbagi rasa sakit yang teramat sangat. Saking menjijikannya manusia, membuatku tidak sudi untuk menjadikan mereka makanan.”
“Tahan kekuatan kalian! Jangan murnikan laut tanpa aba-aba dariku! Kita harus menunggu agar semua hal tersebut menguntungkan baginya. Tidak boleh ada kegagalan!”
“Cicak!”
Bola mata Kou bergerak ke ujung, ke pelupuk tatkala suara perempuan menyeruak, menyelip di antara pembicaraan mereka, “apa yang kau inginkan?” Kou bertanya. Sayapnya yang mengepak kuat, membuktikan kejengkelannya saat perbincangan sebelumnya terganggu.
“Dia hanya mengajakmu. Kalau saja kau gagal melindunginya, meninggalkan luka sedikit saja di tubuhnya, aku tidak akan mengampunimu!”
Kou terkekeh sampai beberapa saat sebelum tawa keras melanjutinya, “yang lemah sedang menasihati yang kuat?”
“Kekuatanku sudah cukup untuk menghancurkan Duniamu ini!” suara penuh kekesalan perempuan itu membalas tawa Kou.
“Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang!” lanjut suara Uki yang berbicara melalui pikiran satu sama lain di antara dirinya dan Kou, “kita bertambah kuat hanya untuk membantunya di saat-saat sekarang.”
“Aku akan membawanya kalau nanti kau tidak sanggup menyembuhkannya. Aku akan menyembuhkan seluruh lukanya walau itu diartikan bahwa darahku akan kering-kerontang hanya untuk menyelamatkannya.”
“Apa masih belum sampai?”
Kou sesegera memutus pembicaraannya. Kedua bola matanya mulai berangsur kembali sesaat ia mendengar gumaman dari sosok Tuan di punggungnya, “kembalilah beristirahat, My Lord. Dari jejak sihirku saat kalian mengunjungi Kekaisaran beberapa belas tahun yang lalu, membuatku masih mengingat di mana letak Kekaisaran.”
“Jadi kita masih lama sampainya?” Sachi balas bertanya. Ia menguap lebar, masih berusaha menahan kantuk ketika dia tengah mencoba beranjak dari punggung Naga kesayangannya itu, “walau terbang pun … Aku lelah sekali, Kou!” ungkap Sachi, secara tiba-tiba mengalihkan pembicaraannya.
“Kou, tentang Naga Kaisar … Apa kau bisa mengalahkannya?”
“Aku memiliki alasan untuk tidak kalah darinya.”
Sachi terkekeh oleh jawaban Kou yang terngiang di dalam kepalanya, “kau benar-benar menakjubkan, Kou. Aku sangatlah beruntung bisa menemukanmu kala itu,” tutur Sachi dengan kedua tangan bergerak memeluk leher besar milik Naganya tersebut.
“Sudah tak terhitung jumlahnya kau sudah menyelamatkanku selama ini. Maaf, kau memilikiku yang kurang berguna ini sebagai Tuanmu.”
“Apa yang kau katakan, My Lord!” Kou menyergah ucapannya, “bukan Manusia yang memilih Naga untuk berkerja di bawah perintahnya. Justru Para Nagalah yang memilih Tuan mereka sendiri.”
“Sejak aku baru menetas, kau telah mengajarkanku banyak hal. Kau melimpahkanku kasih sayang yang begitu banyaknya. Jika ada Naga lain selain aku di Dunia ini … Mereka pastilah iri karena aku memiliki Tuan sepertimu.”
“Kau benar-benar pandai berbicara!” seru Sachi, dengan kepala yang kembali ia sandarkan ke leher Kou, “apa kau tadi sempat meningkatkan sihirmu? Jari-jariku sempat membeku tadi.”
“Maafkan ketidaknyamanan yang aku perbuat, My Lord.”
Kepala Sachi menggeleng atas jawaban darinya, “bagi Makhluk lain, mungkin itu adalah udara dingin yang bisa membunuh mereka kapan saja. Namun bagiku, itu terasa seperti selimut yang begitu hangat. Kehangatan yang sama, yang sempat aku rasakan saat di mana kita membuat kontrak … Saat di mana, kau menyelamatkanku saat itu.”
“Aku begitu mencintainya karena dia adalah sosok Ayah yang begitu kuidam-idamkan. Aku masih ingat bagaimana dia dulu memelukku, menenangkanku yang saat itu ketakutan dengan apa yang terjadi … Bahkan aku begitu mempercayakan nyawaku pada keputusannya saat aku dikurung di Yadgar dulu.”
“Siapa yang tahu kalau ternyata dialah orang pertama yang menginginkan kematianku.”
“Menyedihkan sekali! Hidupku benar-benar menyedihkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Carpe Diem
FantasiSambungan dari Our Queen : Memento Mori. Diharapkan, untuk membaca judul tersebut terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psychology. Warning! Ba...