030

273 23 7
                                    

¡Hola!
I'm back!
~Happy Reading!~
•••
Austin Saverio Marquez
Point of View
•••

Termas de Río Hondo—Argentina.

"Kau sudah memeriksa?" tanyaku pada Fredico yang tengah meneguk secangkir kopi di pagi hari. Aku menemui laki-laki ini di kamar hotelnya tepat setelah bangun.

Dia mengangguk berikut meletakkan cangkir kopi di meja kaca sampingnya. "Kurasa kecurigaanmu benar, ada yang menyabotase listriknya. Aku bertanya pada seorang penjaga, seseorang masuk tepat setelah listrik diperiksa. Dan saat itu juga listrik langsung padam," jelasnya.

"Bagaimana menurutmu?" Aku memastikan.

Fredico tampak menghela napas saat aku memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak menemukan tanda-tanda kalau dia mengancammu... maksudku Mr. S. Dia berhasil ditangkap saat itu juga dan mengatakan kalau dia adalah bagian dari teknisi dan tidak sengaja melakukan kesalahan dengan listriknya." Kemudian tawanya mengudara. Aku melongo dan tidak paham bagian mana yang lucu dari kalimatnya. Setelah mencerna beberapa saat, aku akhirnya paham.

"Bajingan!" umpatku sangat kasar. "Lalu apa yang kau bilang dengan menyabotase itu, huh?! Kau juga mengatakan orang itu masuk tepat saat listrik diperiksa dan langsung padam. Kau ini bicara apa, berengsek?!" Aku benar-benar tersulut emosi. Kupikir Fredico menanggapi masalah ini dengan serius yang ada dia malah menjadikan ini sebagai candaan.

Tawanya berhenti dan dia menyengir bagaikan tanpa dosa. Aku berniat menyiram wajahnya itu dengan kopi akan tetapi ia mencegahku merealisasikan niat yang sudah menumpuk itu.

"Calm down, Dude! Ini hanya listrik padam tapi kau menanggapinya terlalu serius. Kita di Argentina. Musuh kita tidak ada di sini."

"Bagaimana kau memastikan bahwa mereka tidak ada di sini? Itu terjadi tepat saat aku dan Alessia ada di dalam lift. Kau pikir itu tidak berbahaya? Bagaimana jika lift nya bermasalah lalu jatuh?" Aku sungguh tidak percaya dengan pola pemikiran Fredico mengenai insiden ini. Aku tahu ini hanya insiden kecil tapi tidak membuatku tenang sama sekali. Alessia sampai kehilangan kesadaran dan kesulitan bernapas.

Aku beranjak dengan emosi yang sudah tersulut, menutup pintu balkon dengan kasar dan berlalu ke kamar Alessia. Aku membuka pintu dengan pelan takut akan membangunkannya. Namun Alessia memang sudah bangun. Gadis itu sudah duduk di tepi ranjang dengan rambut yang masih acak-acakan.

Aku berjalan mendekat dan berjongkok di depannya. Alessia terlihat pucat dan tidak bertenaga. Aku membingkai wajahnya dan membuatnya mendongak menatapku. "Bagaimana keadaanmu?"

"Sudah lebih baik," jawabnya masih dengan suara lemah.

"Bagaimana dengan sarapan?"

Alessia menggeleng lemah. "Aku tidak ingin."

"Aku tidak akan memaksa." Setelahnya keheningan menghinggapi kami berdua. Aku tenggelam memikirkan kenapa Alessia bisa begitu ketakutan dalam kegelapan. Mengamati wajahnya yang terlihat pucat dalam hati aku mengumpat. Siapa yang dengan tega melakukan itu?! Aku tidak percaya pada gagasan yang dipikirkan Fredico. Bagiku itu disengaja. "Bagaimana itu bisa terjadi? Kau sangat ketakutan," cetusku masih menatap matanya dalam.

Netra kami saling bertatapan. Ada binar kesedihan di matanya. Sejak kapan? Kenapa aku baru melihat dan menyadarinya bahwa ternyata Alessia tidak sekuat yang aku lihat?

Bibirnya mulai bergerak membentuk kata-kata. "Setiap orang memiliki masa lalu yang buruk. Maka aku juga."

Aku tertarik untuk mendengar ceritanya. "Seperti apa itu?" tanyaku.

Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang