¡Hola!
I'm back!
~Happy Reading!~
•••Spielberg-Austria.
Bagaimana aku akan baik-baik saja jika Austin seakan menarik ulur perasaanku? Dia bersikap sok romantis tadi pagi dan sekarang dia justru marah-marah kemudian pergi menghabiskan malam dengan wanita jalang.
Austin Saverio Márquez lebih dari manusia menyebalkan. Dia marah karena aku akrab dengan Alexis dan Fredico sementara dia di depan mataku menggandeng Jovanna yang tersenyum penuh kemenangan.
Seharusnya laki-laki itu tidak boleh bersikap demikian. Logisnya, jika dia dingin padaku maka aku akan mencari orang lain agar tidak kesepian. Apakah aku harus menghabiskan hari dengan menunggu es di kutub mencair? Ia bahkan tidak mengajakku bicara sejak pulang dari mansion ayahnya. Ah, kurasa sebelum itu kami juga tidak bicara.
Aku masih belum kembali ke Barcelona. Hari Rabu nanti akan ada tes di sirkuit Austria. Bahkan selama berada di sini aku dan Austin tidak saling bertegur sapa. Ia hanya menyuruhku semaunya tanpa memandang wajahku. Itu sangat menjengkelkan.
Belum lagi Jovanna yang selalu menggandeng Austin kemana pun ia ingin pergi. Rasanya aku seperti semut yang tidak sengaja menempel pada pakaian mereka.
Jika mempunyai nyali lebih sudah kucakar rupa jalang itu. For God's sake!
Baru aku akan merebahkan diri di hotel super mewah ini, suara dering telepon mengganggu indra pendengaranku. Aku dengan cepat mengambil benda itu dan menempelkannya di pipiku. Austin Márquez menghubungi itu artinya ada perintah.
"Halo?" sapaku lebih dulu dengan nada yang dibuat sok malas padahal dalam hati aku berdebar mendapat panggilan darinya.
"Bawakan kopi ke kamarku! Cepat!" Kemudian sambungan terputus. Aku melongo seraya menatap ponsel yang menunjukkan riwayat panggilan terakhir dengan Austin.
What?! Kenapa harus aku? Bukankah ia bisa menyuruh pekerja hotel untuk mengantarkan kopi padanya? C'mon! Ini sudah malam. Tidak akan bagus jika aku terlihat berkeliaran di kamarnya.
Aku merutuki Austin dalam hati tapi tetap menjalankan perintahnya. Memesan secangkir kopi di cafe hotel dan membawanya ke tempat tuan muda menyebalkan itu.
Aku mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban dari dalam. Kuulangi lagi tapi tetap sama. Rasa kantuk sudah mulai menyerangku. Jika tidak segera tidur aku tidak akan bangun besok pagi. Kuketuk saja pintu ini dengan keras. Tiba-tiba pintu dibuka dan menampilkan Austin Márquez dengan wajah segar sehabis mandi di baliknya.
Rambut laki-laki itu basah, airnya mengalir membasahi pipi. Aku menelan ludah dengan kasar. Tercekat selamat beberapa saat.
Austin membalik tubuh tanpa berkata. Aku mengikuti saja tak lupa menutup pintu.
"Lama sekali, kemana saja kau?" tanyanya dengan sinis. Austin tengah merapikan rambutnya di depan kaca. Sementara secangkir kopi masih kupegang dengan erat.
"Banyak orang di sana," jawabku dengan jujur.
"Oh, kupikir kau bertemu dengan Fredico. Aku sempat ingin memecatnya jika kau masih bertemu dengannya malam ini."
Hei! Omong kosong macam apa ini?! Beraninya dia!
"Memangnya kenapa? Kau bahkan menghabiskan malam dengan Jovanna. Kenapa aku tidak boleh pergi dengan Fredico! Kami hanya berteman asal kau tahu!" Suaraku naik satu oktaf tanpa bisa aku kendalikan. Laki-laki ini benar-benar menguji kesabaranku. Austin sukses membangkitkan kekesalan dalam diriku.
Austin menegakkan badan ketika menatapku. Ia berjalan perlahan kemudian berhenti tepat di depanku. Wajahnya ia condongkan hingga mengikis jarak di antara kami. Aku mundur perlahan. Sialnya Austin mengikuti.
Lidah di tenggorokanku terasa pahit. Tanganku bahkan mulai bergetar. Aku harus bisa melepaskan diri dari jeratan laki-laki ini. Namun sialnya, seakan semesta tengah mempermainkan aku, tanpa kusadari tubuhku telah menyentuh dinding.
Jadi aku tidak memiliki celah untuk kabur karena di detik berikutnya kedua tangan Austin berada di samping kepalaku-mengurungku.
Laki-laki itu makin mendekatkan wajahnya. Aroma mint dari napasnya menyeruak membuatku hampir gila. Austin dengan jarak yang sedekat ini sangat luar biasa. Dia sempurna.
Netra coklatnya yang dibingkai alis lentik masih menatapku. Tatapan kami saling mengunci. Dalam keadaan terdesak seperti ini aku tidak bisa berpikir jernih. Bahkan aku tidak tahu sudah berapa lama napas ini kutahan.
Austin memberikan jarak yang lumayan. Ia cukup peka kalau aku tidak bernapas dalam waktu yang lama.
"Kau cemburu pada aku dan Jovanna?" Suara beratnya menusuk gendang telingaku.
Enggan untuk menatapnya, aku memalingkan wajah. "Tidak," dustaku. Jelas saja aku cemburu. Ia menggandeng perempuan lain di depanku. Bahkan aku dan Fredico saja tidak pernah bersentuhan.
Menyadari kebohonganku, Austin kembali mengikis jarak antara kami. Hidung mancung kami saling bersentuhan. Aku gelagapan dibuatnya.
"Benarkah?" Ada smirk di wajahnya. Aku bisa melihat dengan jelas meski jarak kami sangat dekat.
Salah satu tanganku yang bebas mencoba untuk mendorong tubuh kekarnya. Tidak bisa. Kekuatanku tidak sebanding dengan kekuatan laki-laki aneh ini. "Austin, minggir! Nanti ada yang melihat kita," bisikku mulai kewalahan dengan jarak kami yang tidak bisa dikatakan jauh. Sangat dekat. Bahkan hidung kami sudah saling menempel. Jika aku menoleh sedikit pasti bibir kami akan bertemu.
"Kau senang jika tidak ada yang melihat kita?" Dia benar-benar mengujiku.
"Minggir!"
"Pintu sudah kau tutup dengan benar. Mau bagaimana lagi?"
Demi Tuhan! Apa yang dia inginkan?! Jika aku tidak menyukainya sudah pasti wajah ini habis oleh kukuku yang tajam.
"Austin...."
Bukannya mundur, ia justru makin memangkas jarak kami. Bibir kami hampir bertemu. Jantungku meronta ingin keluar dari rongga dada. Mataku terpejam tanpa bisa aku kendalikan. Takut dengan apa yang akan laki-laki ini lakukan. Kuyakini kalau pipiku sudah merah seperti tomat busuk.
Napas Austin sangat jelas di depanku. Sedikit lagi bibir kami pasti bertemu. Tubuhku bergetar. Aku secara tidak sengaja malah menumpahkan kopi di bajunya.
Austin langsung mundur begitu aku membuka mata.
"Fuck!" umpatnya kesal.
Lidah dalamku kugigit dengan keras. Ini lebih menakutkan dari saat ia akan menciumku. Aku menyadari bahwa ini adalah masalah besar. Kemarahan laki-laki itu sangat nyata.
Ada celah, aku langsung lari tanpa memandang wajahnya yang kesal.
"Aku baru saja mandi, Alessia!" teriaknya dari dalam. Aku enggan menoleh. Kututup pintu kamarnya dengan keras berikut lari ke kamarku.
Aku ambruk dengan posisi duduk di belakang pintu kamarku menginap. Menyentuh dadaku dimana jantungku berada. Jantung ini berdetak kencang. Seakan aku baru lari marathon. Ini sungguh di luar dugaan. Kupikir aku akan tenggelam dalam ciuman Austin Saverio Márquez malam ini.
Aku sangat bersyukur kopi itu tidak kutaruh di meja. Entah apa jadinya aku sekarang jika kopi itu tidak menyelamatkanku.
Namun, ini lebih membuatku takut. Austin harus mengulang mandinya karena aku. Bagaimana aku bisa menghadapi laki-laki itu besok pagi?!
Ya Tuhan! Masalah apa lagi ini?!
***
To Be Continued
Thanks for reading!
Your vote and comment, please!Ze✨
![](https://img.wattpad.com/cover/263970216-288-k831056.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA!! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!! ••• Semua orang mengira dengan keberuntungan dan bakat yang luar biasa mampu membuat Austin Saverio Márquez menjadi orang paling bahagia. Hidup di lingkungan orang-orang berkasta. Ter...