Haii!!
Apa kabar? Siap baca part ini?
Langsung saja nih, tapi lihat dulu peringatannya biar yang belum cukup umur nggak dosa, weheheh.
18+⚠
~Happy Reading!~
•••Valencia—Spain.
Aku terus mengikuti kemana Austin ingin pergi. Dia menggandeng tanganku menuju lantai dua di mansion bak kastil ini. Genggaman tangannya baru terlepas saat kami sampai di balkon yang sepi. Austin mengusap wajahnya frustrasi sementara tangannya menumpu pada pembatas. Tatapannya mengarah pada pemandangan lautan lepas dengan debur ombak yang lumayan kencang.
Dari belakangnya, aku bisa merasakan emosi yang ada pada dirinya. Punggungnya naik turun mencoba menetralkan emosi yang membakar jiwanya. Hampir beberapa saat Austin masih belum mengatakan apa pun setelah pertengkaran tidak terduga dengan ayahnya di ruang makan.
Aku mendekat—memeluk tubuhnya dari belakang. Berharap dengan ini dia bisa kembali tenang. Austin mengelus tanganku di perutnya sementara aku mencium wangi tubuhnya dalam-dalam. Membenamkan wajahku di punggung tegapnya.
"Kendalikan dirimu!" bisikku.
Terdengar helaan napas lelah yang keluar dari hidungnya. Nampaknya Austin mulai tenang. Kini, dia membalik tubuhku agar aku bisa memeluknya dari depan. Dia yang kini membenamkan wajah di ceruk leherku. Aku yang lebih pendek membuatnya harus sedikit merendahkan tubuhnya. Pelukan kami sangat erat. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya yang kurang normal.
Untuk beberapa saat dia tidak mengatakan apa pun. Aku mengelus punggungnya dengan sayang. Pikiranku benar-benar dibuat tidak paham mengapa Austin begitu marah ketika ayahnya menyinggung soal masa depan kami. Tidak—lebih tepatnya masa depan anak kami nanti yang bahkan belum diketahu kehadirannya.
Tanganku mengelus rambut tebalnya berikut membingkai wajahnya agar menatapku. Api kemarahan dalam dirinya sudah hilang seiring dengan pelukan kami yang merenggang. Aku mendaratkan bibir sekilas pada bibirnya—memberinya ciuman lembut dan menenangkan. Kemudian sebersit senyum tipis muncul di permukaan wajahku.
Kedua ibu jariku mengelus pahatan wajahnya yang sempurna. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat mata coklatnya yang sanggup membuat jantungku berdetak lima kali lebih cepat. Austin selalu sanggup menenggelamkan jiwaku dengan tatapannya.
"Aku tidak suka dikekang. Aku lelah dengan semua ini." Akhirnya dia bersuara.
"Aku juga. Tapi kau tidak perlu marah seperti itu, sayang. Kurasa ayahmu sangat bijaksana. Dia memikirkan masa depan nyawa yang bahkan belum diketahui kehadirannya. Lantas apa—"
"Kau tidak mengerti! Dia melakukan ini demi keuntungannya sendiri!" Austin protes akan gagasanku. Kini emosinya kembali menyulutnya. Gegas aku mencium bibirnya dan melumatnya pelan. Hanya dengan cara ini dia bisa tenang.
"Oke, terserah apa yang kau pikirkan. Aku tidak ingin kita bertengkar karena masalah ini," ucapku pada akhirnya. Memilih untuk mengalah daripada harus melihatnya lebih marah dari sebelumnya.
"Aku juga tidak mau!" tandasnya.
Kemudian kami dilanda hening untuk yang kesekian kalinya. Aku kembali mendekapnya erat. Jiwaku sangat senang ketika harus berperan meredakan emosinya. Selama lima belas menit kami berdiri dalam posisi ini. Semilir angin malam bahkan tak mengusik kami untuk berpindah tempat. Ini sangat menenangkan lebih dari apa pun.
Tiba-tiba dering ponsel milik Austin menyita waktu. Laki-laki itu melepaskan pelukan gegas merogoh sakunya. Sebuah telepon dari Fredico membuatnya harus undur diri menerima panggilan untuk beberapa saat. Aku mengangguk setuju atas permintaannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA!! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!! ••• Semua orang mengira dengan keberuntungan dan bakat yang luar biasa mampu membuat Austin Saverio Márquez menjadi orang paling bahagia. Hidup di lingkungan orang-orang berkasta. Ter...