Barcelona—Spain.
Terhitung sudah sepuluh hari aku dan Austin resmi menikah. Selama itu pula aku merasakan perbedaan yang luar biasa. Aku juga merasa sangat bahagia ketika kami harus menghabiskan waktu bersama sepanjang hari.
Pagi ini, aku menemani Austin yang tengah mengelap motor yang biasa ia gunakan untuk bermain motocross. Austin memiliki banyak koleksi motor dan sepeda, bahkan beberapa mobil sport yang tidak aku ketahui apa saja jenisnya. Rencananya dia akan melakukan latihan motocross di sirkuit yang tidak jauh dari tempat kami tinggal lantaran dua hari lagi balapan akan kembali di mulai. Austin terlihat sangat semangat menyambut datangnya paruh kedua musim ini.
Dia masih memimpin klasemen sebagai kandidat kuat juara dunia tahun ini. Dia tak henti-hentinya tersenyum ketika bercerita padaku tentang harapan besarnya bisa meraih gelar juara dunia ke sepuluhnya nanti.
Sembari bersenandung ria mengikuti alunan musik klasik yang dinyanyikan salah satu musisi paling terkenal di Spanyol, Austin mengelap motornya dengan bangga. Dari kejauhan aku mengamati wajahnya yang dipenuhi kebahagiaan. Ini adalah kali pertama aku melihatnya sangat senang.
"Kapan kau selesai?" tanyaku saat menghampirinya. Jujur, aku sudah bosan berdiam diri di sini.
Austin menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Sudah. Aku akan pergi begitu Fredico datang. Kau tidak apa-apa kutinggalkan sendiri?" tanyanya dengan wajah yang mendadak berubah cemas. Ia menaruh serbet di atas motornya lalu mendekatiku.
Selama kami menikah belum sekalipun Austin meninggalkan aku seorang diri di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemaniku belajar memasak atau mengurus beberapa pekerjaan rumah. Aku tidak ingin menjadi benalu dalam hidupnya yang harus selalu ikut kemanapun dia pergi dan membuatnya tidak tenang lantaran harus fokus pada kegiatannya dan menjagaku. Akhirnya, aku menggeleng penuh pengertian. "Aku baik-baik saja. Asalkan kau kembali sebelum petang. Omong-omong, Sylvia juga ada di sini jadi aku tidak akan kesepian."
Austin mengacak gemas rambutku. Hal yang sering ia lakukan belakangan ini. "Kau sangat pengertian. Aku mencintaimu."
Perutku rasanya mual mendengar kalimat manisnya di pagi hari begini. Austin benar-benar berbeda dari saat pertama kali kami bertemu. "Berhenti membual!"
Kekehan Austin terdengar mengudara. Ia menaruh tangannya di punggungku, menuntunku untuk duduk di sofa dekat jendela. Hanya ada satu tempat untuk duduk, Austin menarikku ke pangkuannya. Tangannya menahan tubuhku agar tetap ada di pangkuannya.
"Kenapa kau sangat cantik, Alessia?"
Keningku berkerut samar sementara bibirku tertarik ke atas sedikit. "Memangnya aku tidak pernah cantik selama ini?" Aku memasang wajah merajuk.
"Kau selalu cantik."
"Jadi kau menikahiku hanya karena aku cantik begitu?" Wajahku masih terlihat merajuk berniat untuk membuatnya panik atau apa jika aku marah tapi Austin terlihat masih tenang.
"Karena aku mencintaimu."
Aku mencubit lengannya pelan membuat Austin mengaduh kecil. "Cinta saja tidak cukup untuk menjadi alasan pernikahan, Austin!"
Austin lantas berdecak karena aku merasa tidak pernah puas dengan jawabannya. "Kau ingin aku menjawab apa?!" Austin mulai kesal. "Aku tampan dan kaya siapapun tidak akan menolakku dan aku bebas memilih. Intinya aku mencintaimu, sudah jangan bertanya lagi!"
Kini aku yang terkekeh melihat kekesalannya. Sangat puas bisa mengerjai suamiku di pagi hari seperti sekarang. Aku memberinya kecupan singkat di pipinya. Dari jarak sedekat ini bisa kulihat wajah Austin seketika memerah hanya karena kecupan dariku. Betapa manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA!! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!! ••• Semua orang mengira dengan keberuntungan dan bakat yang luar biasa mampu membuat Austin Saverio Márquez menjadi orang paling bahagia. Hidup di lingkungan orang-orang berkasta. Ter...