017

197 19 0
                                    

¡Hola!
I'm back!
~Happy reading!~
•••

Madrid-Spain.

Satu fakta yang baru kuketahui hari ini. Ternyata Austin memiliki seorang adik perempuan. Elena Nieva Márquez. Gadis kecil yang aku lihat di bingkai foto bersama dua anak laki-laki waktu itu. Sayangnya, aku tidak bisa bertemu dengan Elena.

Gadis malang itu rupanya sudah meninggal enam belas tahun yang lalu. Itu artinya ketika ia baru berumur tujuh tahun.

Hari ini adalah hari peringatan kematiannya yang akan berlangsung sampai malam nanti. Semua persiapan untuk melakukan upacara sudah siap.

Mansion ini sudah dihias sebagaimana mestinya. Terdapat bunga mawar yang menjadi hiasan setiap sudut rumah. Beberapa foto Elena terpasang di dinding. Lilin-lilin juga menyala di beberapa titik. Suasana mansion ini sangat berbeda dari terakhir kali aku datang. Kini hanya sunyi dan senyap. Pun kental akan suasana duka.


Aku menatap iba pada Bibi Roseline. Lama tidak berjumpa raut wajahnya hari ini terlihat berbeda. Wanita itu masih terlihat bersinar di usianya yang tidak lagi muda, tapi hari ini justru memancarkan kesedihan yang nyata. Wajar saja, ibu mana yang akan baik-baik saja di hari peringatan kematian anaknya.

Paman Julian sudah rapi dengan jas hitam dan kemeja putihnya. Pun dengan Alexis yang sedang menyatukan tangan berdoa di depan foto Elena kecil. Beberapa lilin merah turut ada di samping foto itu.

Beberapa orang yang mengenal Paman Julian dan Bibi Roseline sudah hadir dan memberikan penghormatan serta doa untuk mengenang Elena. Aku juga sudah melakukannya. Hanya berdoa semoga Elena tetap bahagia di alam yang berbeda. Aku bahkan tidak mengenal gadis kecil itu.

Semua anggota keluarga sudah berkumpul, minus Austin Márquez. Entah kemana perginya laki-laki itu. Bahkan aku tidak melihat Fredico di sini. Kudengar dia sangat akrab dengan keluarga Austin.

Bibi Roseline tampak tidak kuasa menahan tangis di depan foto Elena. Ini sudah enam belas tahun tapi wanita itu masih tidak sanggup untuk mengingat bagaimana Elena pergi.

Kodrat setiap makhluk hidup adalah mati. Namun, hatiku dibuat bertanya-tanya. Apa yang membuat Elena meninggal di usianya yang masih muda? Kupikir jika dia sakit, Paman Julian akan mengusahakan segala cara untuk menyembuhkan anak gadisnya mengingat kekayaannya yang tidak sedikit.

Alexis duduk di sampingku. Ia tampak lebih tegar dari ibunya. Laki-laki itu mendesah pelan sambil menghirup napas dalam-dalam.

"Austin tidak ada di sini, dimana dia?" tanyaku dengan suara yang sangat lirih. Pagi tadi Alexis menjemputku ke Barcelona. Kami datang tanpa Austin.

Alexis menoleh, mengedikkan bahu sebagai jawaban. "Aku tidak tahu. Dia selalu pergi tiba-tiba dan datang kemari tanpa diduga," jelasnya.

Aku kembali memusatkan perhatian pada foto Elena. Dia gadis yang manis. Memiliki warna mata hijau serta rambut coklat yang indah. Sekilas dia mirip dengan Bibi Roseline.

"Aku turut berduka atas kepergian Elena meski baru tahu sekarang."

Alexis yang nendengarku menoleh. "Terima kasih. Kau sangat perasa," jawabnya sambil tersenyum tipis. Hari ini tidak ada Alexis yang humoris. Semua orang seakan berubah menjadi manusia berbeda. Wajar saja, ini ucapan peringatan kematian. Tidak akan ada yang tertawa di hari ini. Kecuali dia telah kehilangan kewarasan.

"Aku tidak tega melihat Bibi Roseline harus menangis seperti itu, Alexis," ucapku. Bahkan aku hampir menangis melihat Bibi Roseline yang tengah menahan tangis di pelukan Paman Julian.

"Mommy akan baik-baik saja nanti. Dia selalu seperti itu jika peringatan kematian Elena tiba. Sejak ... enam belas tahun yang lalu. Itu sudah menjadi acara tahunan kami. Jadi, setiap tahun kami akan mengalami hari ini. Mommy sangat perasa sepertimu. Karena kalian adalah perempuan," tutur Alexis.

"Aku tidak percaya ternyata kalian memiliki adik perempuan. Kupikir kalian hanya dua bersaudara." Aku mengatakan apa yang ada dalam pikiranku sejak tadi.

Alexis menarik napas dalam dan menegakkan tubuhnya. Ia menatapku sangat dalam. Baru kali ini ia menatapku seperti itu. Aku merasa sedikit canggung tapi tetap membalas tatapannya itu sebagai bentuk aku menghargai Alexis yang ingin bicara.

"Tidak banyak yang tahu. Hanya teman-teman dekat Daddy yang tahu kalau kami memiliki saudara perempuan. Lagi pula Elena meninggal saat usia tujuh tahun. Kami juga jarang mengajaknya ke tempat-tempat ramai. Keluarga kami sedikit mengutamakan privasi," jelasnya yang mana membuatku sedikit bingung tapi tidak tahu bagian mana yang harus aku mintai penjelasan.

Tidak banyak yang tahu? Julian Raul Marquez adalah orang terpandang. Bahkan secara tidak sengaja aku pernah menemukan namanya di surat kabar beberapa tahun yang lalu sebagai orang paling berpengaruh di negara matador ini.

Biasanya, orang terpandang akan dicari cerita kehidupannya. Orang akan mencari dari kehidupannya di masa lalu. Siapa orang tuanya, bagaimana latar belakang pendidikannya, teman-temannya dan siapa pasangannya.

Lagi pula, bukan hanya Paman Julian yang terkenal. Seorang Austin Saverio Marquez lebih terkenal daripada ayahnya. Namun tak ada yang tahu kalau Austin memiliki adik perempuan. Ini benar-benar aneh. Atau mungkin, Elena memiliki nasib yang sama denganku?

Jika memang iya, sulit dipercaya. Paman Julian terlihat sangat tenang dan tidak terlalu berambisi seperti ayahku yang akan melakukan segala cara untuk mencapai impiannya. Termasuk dengan harus menyembunyikanku dari dunia.

Aku merasa ini adalah teka-teki yang besar. Teka-teki yang harus aku pecahkan. Namun aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ini sangat ... rumit. Jika kutanyakan langsung pada Alexis tidak akan baik.

Alexis juga sudah berkata bahwa keluarga mereka sedikit mementingkan privasi. Itu artinya aku tidak boleh bertanya apa yang tidak menjadi hakku.

Di tengah pikiranku yang berkelana entah kemana saja, sosok laki-laki yang aku cari dan yang aku tunggu kedatangannya telah muncul. Namun, tak seperti keinginanku untuk melihatnya baik-baik saja, laki-laki itu terlihat sedikit kacau. Dengan pandangan yang langsung mengarah pada sebuah foto berbingkai besar di depan sana.

Austin berpakaian formal seperti yang lainnya, dengan satu kancing teratas yang terbuka.

Laki-laki itu berjalan dengan pelan, aku bisa melihat kesedihan di matanya. Ini adalah pertama kali aku melihat seorang Austin Marquez tampak tak berdaya meski tak ada air mata yang mengalir dari mata coklatnya.

Ia baru datang. Tunggu, apa dia ... lupa akan hari ini?

***

To Be Continued

Alurnya emang loncat-loncat, ya. Untuk menghindari scene yang nggak penting. Jadi kaya tiap part itu ada plot twist yang menghubungkan dengan bagian kedepannya. Aku buat cerita ini modelnya kaya film gitu, langsung ke intinya. Atau lebih kaya K-drama genre Action/Thriller yang nyaris 90% berisi plot twist.

Btw aku double update!

Thanks for reading!
Your vote and comment, please!

Ze✨

Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang