045

257 23 5
                                    

Hi, ges!
Awas nggak kuat
Tapi ttp kuucapkan happy reading!
•••

Bagnaia, Elba Island, Toscana—Italian.

Mataku memandang lurus pada cermin yang memantulkan diriku sepenuhnya. Sejak lima belas menit yang lalu seorang penata rias selesai dengan pekerjaannya terhadap diriku, tapi aku tak kunjung beranjak. Padahal aku tahu bahwa laki-laki yang selama ini mendiami hatiku tengah menunggu kehadiran pengantin wanitanya yang tak lain adalah aku sendiri.

Kendati aku belum siap untuk menemuinya. Bukan karena aku meragukannya. Lantaran aku hanya takut bagaimana jika keluargaku tahu bahwa aku menikah tanpa kehadiran mereka. Juga tanpa izin dari ayah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap diriku. Pun dengan orang tua Austin. Tak seorangpun tahu bahwa kami akan menikah tiga hari setelah Austin melamarku di tepi pantai kala petang datang waktu itu.

Wajahku yang berhias bedak berwarna beige, dengan blush on berwarna merah muda serta bulu mata lentik yang menambah kecantikan alamiku. Bagian atas mataku tak lupa diberi perpaduan eyeshadow yang menambah kesan istimewa untuk riasan. Juga bibir berwarna merah muda seakan tampak natural. Aku menarik seulas senyum tipis yang bahkan tak seorang pun tahu bahwa aku tengah tersenyum mendapati diriku harus berhias sedemikian rupa lagi.

Otakku dengan cepat bernostalgia—kembali memutar peristiwa dimana aku hampir menjadi istri orang yang tidak aku cintai. Hari di mana aku mengkhianati kepercayaan ayah untuk kedua kalinya.

Air mataku tanpa bisa dicegah langsung menetes kala mataku terpejam pelan. Batinku meringis kala menyadari bahwa kali ini aku begitu egois. Aku kembali mengkhianati kepercayaannya untuk membuat diriku bahagia. Aku akan menikah tanpa izinnya. Cepat sekali kubuat keputusan tanpa mempertimbangkan seperti apa respon ayahku nanti jika dia tahu putrinya telah menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya.

Namun, seberapa pun aku ingin kembali, aku tidak akan bisa. Aku menginginkan Austin sepenuhnya. Hanya dia yang aku miliki setelah aku mengkhianati kepercayaan ayah. Hanya dia yang bisa kujadikan sandaran ketika nanti dunia mengejekku dengan dalih bahwa aku bukan anak yang berbakti. Aku tidak lagi percaya siapapun selain Austin. Aku juga tidak menaruh harapan untuk kebahagiaanku selain padanya. Dia adalah segalanya yang mampu membuatku berani mengambil keputusan sebesar ini.

"Alessia, kau sudah siap?" Suara Fredico Carl Andrews terdengar seiring pintu kamar dibuka.

Gegas aku mengusap air mata yang sejak tadi mengalir tanpa bisa aku cegah. "Ya, aku akan keluar tiga menit lagi. Kau temani saja Austin," ucapku lantas merapikan riasanku yang sedikit berantakan, tanpa menoleh padanya. Yakin bahwa dia telah melihat air mataku dari kaca yang memantulkan segalanya.

Aku tidak ingin terlihat kacau di hari bahagiaku meski Tuhan paling tahu bahwa di dalam lubuk hatiku terdapat dua rasa. Antara bahagia dan sesak tiada tara. Gegas pula aku mengambil sebuket bunga lily di atas meja rias, tak ingin membuat calon pengantinku menunggu lebih lama.

Dua orang wanita yang menjadi perias wajahku datang. Mereka membantuku untuk keluar dengan mengangkat sedikit ujung gaunku yang lumayan panjang. Aku tersenyum saat mereka menawarkan bantuan.

Saat aku keluar dari vila tempatku dan Austin menginap selama ini, mataku langsung dibuat takjub dengan hiasan pernikahan yang lebih dari sederhana. Pernikahan dengan tema outdoor menjadi salah satu yang Austin pilih. Dia tidak mengundang orang-orang yang dia kenal.

Tempat ini terasa sepi, karena tak ada satupun undangan yang datang. Lantaran aku dan Austin sama-sama tidak memiliki keinginan mengundang siapa pun yang kiranya kami kenal. Ini adalah pernikahan kami, hanya kami yang seharusnya saling melihat dalam wujud raja dan ratu di hari bahagia ini. Lebih tepatnya, kami tidak suka berbagi. Bahkan untuk keluarga kami pun.

Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang