Valencia—Spain.
4th Months Later....
Aku menemani Austin di balapan terakhirnya tahun ini. Dua pekan yang lalu, Austin sukses mengunci gelar juara dunianya yang kesepuluh di Thailand. Apresiasi para penggemarnya benar-benar menakjubkan. Sayang sekali, hari itu aku tidak bisa ikut dengannya untuk menemani. Austin lebih memilih aku untuk tinggal bersama kedua orang tuanya selama dia pergi ke Asia.
Itu pilihan yang tepat lantaran aku tidak ingin merepotkannya jika harus berada di sampingnya terus. Kadang, laki-laki itu selalu ingin aku menemani saat dia balapan, tapi kadang pula dia ingin aku tetap di rumah. Dengan alasan agar aku tidak kelelahan. Padahal aku sangat kesepian jika dia tidak ada. Apalagi dia pergi ke negara lain dan baru kembali setelah satu pekan.
Perihal pernikahan kami, Austin baru berbicara pada publik kemarin sore. Sisa waktu sebelum hari penguncian gelar, Austin benar-benar bungkam perihal pernikahannya dan memilih untuk fokus pada semua hal tentang balapan. Ketika ada wartawan menanyakan tentang kehidupan pribadinya, ia tak menjawab sepatah kata pun, malah dia selalu tertawa dan mengatakan bahwa ia sangat bahagia. Tidak menyinggung apa pun tentang diriku. Semua itu atas permintaanku.
Aku juga tidak muncul di publik dengan wajah tanpa penutup. Ketika Austin menggandeng tanganku saat kami keluar, aku harus memakai masker dan kacamata hitam. Aku benar-benar tidak membiarkan wajahku menjadi makanan gratis para paparazi dan orang-orang di luar sana.
Saat Austin memberikan klarifikasi bahwa benar dia sudah menikah, semua orang langsung patah hati. Selama empat bulan banyak orang yang berharap bahwa Austin tidak benar-benar menikah karena dia tidak memberikan klarifikasi apa pun. Dia sangat fokus pada balapannya bukan kehidupan pribadinya termasuk cintanya.
Namun, saat seorang wartawan menanyakan kabar itu, semua orang harus menerima kenyataan—terutama para penggemar wanita, bahwa Austin Saverio Márquez sudah memiliki aku di sampingnya.
Sebenarnya alasan aku tidak ingin Austin mengabarkan pernikahan kami pada publik lantaran aku tidak ingin membuat kecewa para penggemarnya. Meski dia bukan public figure yang membutuhkan penggemar untuk popularitasnya, tetap saja, tanpa penggemar Austin akan kurang motivasi. Aku hanya takut mereka akan meninggalkan dan berhenti mencintai Austin. Meski aku juga cemburu menjadi kesekian orang yang mencintainya.
Aku memberinya kecupan singkat di pipi sebelum dia turun untuk balapan. Bibirnya lantas melengkung sempurna gegas ia melumat bibirku dengan lembut.
"Good luck!"
Jujur, setiap kali harus membiarkan Austin mengendarai motornya dalam kecepatan penuh tanpa memedulikan nyawanya, aku benar-benar takut. Takut akan bayangan bahwa ia akan jatuh dan terluka. Namun senyum, semangat, dan keberhasilannya memberiku kekuatan. Meyakinkan jiwaku bahwa Austin memang berbakat dalam bidangnya dan tak semudah itu untuk terluka.
"Sayang, apa kau tidak mau minum dulu?" tawarku saat ia sedang memakai helm di kepalanya. Cuaca di luar sangat panas bahkan beberapa kali aku mengibaskan tangan guna mengusir rasa gerah.
Austin menggeleng setelah selesai memasang helmnya. "Nanti saja di luar. Kau di sini saja, ya! Di luar sangat panas," pintanya. Ia cukup paham bahwa aku tidak bisa berada di bawah terik matahari terlalu lama. Atau kejadian aku pingsan di starting grid akan terulang lagi. Gegas suamiku memacu motornya untuk bersiap di garis start.
Selepas kepergiannya aku terus memandang layar monitor. Beberapa kali ia disorot tengah duduk di atas motor besarnya, mengacak-acak rambut usai melepas helmnya. Masih dua puluh menit lagi balapan terakhir akan dimulai. Jantungku berdebar seiring dengan detik jam yang terus berputar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Close to YOU | MM93 Fanfiction ✔
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA!! JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!! ••• Semua orang mengira dengan keberuntungan dan bakat yang luar biasa mampu membuat Austin Saverio Márquez menjadi orang paling bahagia. Hidup di lingkungan orang-orang berkasta. Ter...