Pukul 4 pagi Jennie berlari cepat seperti orang kesetanan, wajah belum dibasuh dan rambut berantakan belum disisir. Pakaiannya turut compang-camping setelah ia mengenakan amat terburu-buru bahkan sepatu belum benar terpakai sampai ia harus menginjak bagian belakang tak perduli nantinya ada bekas terlipat.Jennie diam berdiri di tempat sesudah ia sampai di lantai dasar. Memastikan kedua kali jika tidak ada barang tertinggal ataupun ia tak memberi jejak jika ia masih tinggal. Nafasnya tak beraturan, seumur hidupnya belum pernah ia lari sekencang itu. Masih dalam pencarian di mana ia meletakan mobilnya karna demi Tuhan ia tak hafal, ini baru pertama kalinya ia pergi ke tempat seperti ini. Ia terus menekan alarm mobilnya, kelimpungan mencari terus menerus oleh kakinya yang juga lemas, sebisa mungkin pergi dari tempat ini sebelum terlambat, sebelum matahari terbit.
Tangannya gemetaran, tiada ampun baginya untuk terus menekan remote alarm mobil sampai 15 menit akhirnya ia menemukannya. Ia bergegas tapi disaat yang sama lunglai, duduk tak sabaran masih dalam nafas terputus-putus, membanting pintu, menyalakan kendaraannya dan ia pergi tanpa pikir panjang.
Mengebut dikelilingi lampu kuning jalanan, ia tak kira-kira tak perduli berapa puluh atau ratus km/jam ia habiskan agar ia segera menjauh, menjauh, terus menjauh tidak tentu arah.
Bukannya mereda, nafasnya kian tersenggal oleh perasaan panik, pandangannya berubah kabur semakin ia mencoba menahan air mata di pelupuk sampai pada akhirnya air itu leleh akibat sekelebat memori melintas.
Klik!
Sinar cahaya dan suara blitz kamera.
Klik!
Suara tawa sangat renyah menggemparkan wajah ketakutannya.
Klik!
Dia berada di atasnya.
"BRENGSEK!!!" Jennie berteriak masih dalam laju cepat mobilnya. "BRENGSEK." Ia tak tahan lagi, semakin ia memaksa semakin genggaman tangan pada setirnya gemetar. Jennie Kim membanting kemudi, ban depan nyaris mencium trotoa, ia akhirnya menepi dengan selamat, tanpa mematikan mesin ia menatap tangannya sendiri yang bergetar. "Brengsek." Katanya sekali lagi.
Hatinya tidak siap. Ia tak sanggup, ia mendelik pada kaca tengah di dalam mobil, menatap setajam-tajamnya benda pemantul itu. Bukan untuk melihat apa ada mobil polisi yang mengikutinya karna ugal-ugalan melainkan untuk bercermin apakah ia akan sanggup jika sudah sampai rumah. Didampret oleh ibunya kemana saja dirinya sampai baru pulang.
Jennie bergerak cepat membuka kancing kerah sampai di bawah dada tak tertutup bra, bersusah payah memutar kaca karna terlalu gemetaran sampai kaca yang ia pegangpun ikut bergetar, matanya menyaksikan sendiri kulit lehernya terlukis warna merah nyaris keunguan, warna yang mendominasi leher sampai ke payudara. Ia kira itu adalah milik Yoongi, namun ia ingat betul bahwa lelaki itu saja tidak pernah mengigiti kulitnya sampai ada banyak bekasnya. Milik Yoongi saja bahkan sampai tertindih.