Bab 4 Back Home

47.6K 3.9K 24
                                    

Jangan lupa vote dan komen biar semangat akunya nulis

***
Inka menatap ke arah pintu rumah sakit, seharusnya Ia sudah pulang, dokter sudah membuka infus Inka namun dokter menyuruhnya menunggu.

Ia mendatangi bagian administrasi untuk melakukan pelunasan, mungkin karena Ia belum bayar.

Inka bediri dan menyebutkan namanya.

"Biaya rumah sakit ibu sudah dibayarkan," ujar staff administrasi tersebut membuat Inka mengerutkan keningnya.

"Siapa yang bayar?" gumam Inka namun didengar oleh sang petugas.

"Suami ibu," ujar gadis ber-name tag Indah itu.

Suami? Pikiran Inka langsung tertuju pada Sadam. Ia yakin ini kerjaan lelaki itu. Inka akan mengembalikannya nanti, Inka merasa tak enak karena banyak merepotkan Sadam.

Inka kembali ke kamar. Ia berencana pulang saja. Ia mengemasi barang-barangnya. Beberapa baju yang dibelikan Sadam karena tak mungkin Inka menyuruh Sadam mengambil pakaiannya kekontrakan. Inka menghela nafas, banyak sekali hutangnya pada Sadam.

Ia keluar kamar, Ia hampir saja terkejut melihat Sadam sudah berdiri didepannya menatap tajam kearah Inka. "Mau kemana?" tanya Sadam datar.

"Pulang," cicit Inka, entah mengapa suaranya mengecil saat melihat tatapan tajam Sadam kepadanya.

Sadam mengambil pakaian Inka mereka berjalan beriringan. Beberapa perawat yang pernah merawat Inka memberikan salam pada Inka dan Sadam.

Sadam membawa masuk tas Inka kedalam mobilnya, melihat mobil Sadam, Inka diam. Kontrakannya di pinggiran kota dan masih wilayah kampung, masuknya mobil mewah milik Sadam akan menarik perhatian orang-orang..

"Kenapa?" tanya Sadam melihat Inka tak kunjung masuk.

"Saya bisa naik taksi," ujar Inka sembari menunjuk taksi diseberang sana. Sadam menghela nafas, Ia memilih mengalah. Lelaki itu mengambil bawaan Inka dan memutuskan mengantar Inka dengan taksi.

"Ayo masuk," Inka akhirnya masuk kedalam taksi. Perjalanan diselimuti keheningan.

Sadam memandang jalanan tangan lelaki itu bekeringat. Sadam tak menyangka demi Inka Ia rela naik taksi lagi. Sadam beberapa kali meremas tangan Inka membuat Inka menoleh.

Inka tak tahu bahwa rumah Sadam berada didepan kontrakan wanita itu. Malam itu sadam baru pulang dari pesta Isabel dan Arthur. Ia melihat wanita yang ternyata Inka melambaikan tangan terlihat kesakitan. Ia cukup takut terlebih melihat darah mengalir dari paha Inka.

Sadam bergidik ngeri membayangkan kejadian itu.

Taksi sudah sampai, Sadam membayar dan mengambil barang bawaan milik Inka. "Makasih Sadam," hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Inka.

Sadam mengangguk, Ia mengelus perut Inka. Lelaki itu memang selalu suka mengelus perut Inka yang sudah mulai menyembul. "Hati-hati," ujar Sadam.

Lelaki itu berbalik, Ia menatap punggung Inka yang masuk kedalam kontrakannya.

Seorang ibu-ibu mendatangi Sadam, "Bapak suaminya mbak Inka?" tanya ibu itu.

Dengan cepat Sadam mengangguk membuat ibu itu tersenyum  senang. "Saya pikir Mbak Inka bohong soal suaminya loh."

Sadam tersenyum, Ia yakin ibu didepannya adalah salah satu admin gosip di kampung ini, "Saya suami Inka, saya beberapa hari ini berada di luar kota," jelas Sadam.

Lelaki itu menunjuk rumahnya diseberang jalan, "Itu rumah kami, saya ingin merenovasinya dulu makanya kami memutuskan untuk mengontrak sementara waktu," ujar Sadam lancar membuat ibu itu menoleh ke rumah diseberang.

Ternyata rumah paling mewah dikampung ini milik Inka. Ia menganga. "Oh gitu ya mas, mari."

Sadam menggelengkan kepalanya melihat ibu itu semangat berjalan meninggalkannya. Sadam yakin ibu tadi akan menyebarkan gosip. Dasar ibu-ibu , gumam Sadam dalam hati.

Ia melirik sebentar kontrakan Inka tersenyum kecil.

***

Inka memberikan gula dan beras pada buk Yeyen salah satu warga di kampung ini. "Ini buk," ujar Inka.

Buk Yeyen menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada Inka. Setelah memberikan kembalian Inka mengucapkan terimakasih.

Sudah beberapa minggu Inka membuka warung sederhana di ruko yang Ia kontrak. Ia membuka warung  yang menjual sembako, untung saja dulu Ia pernah bekerja di toko sehingga Ia masih menyimpan nomor supplier toko tersebut.

Inka tersmbengong mengelus perutnya yang sudah membuncit. Kalau Inka tak salah perhitungan kandungannya sudah memasuki bulan ke 4. Inka belum sempat ke dokter untuk periksa karena kesibukannya.

"Nanti kita periksa ke dokter ya nak," ujar Inka sembari mengelus perutnya.

Pikiran Inka tiba -tiba tertuju pada Sadam, sudah hampir sebulan Ia tak bertemu lelaki itu. Pertemuan terakhir mereka ialah saat Inka keluar dari rumah sakit.

Inka menggelengkan kepalanya, kenapa Ia memikirkan yang tidak-tidak.

Seorang lelaki muda mendatangi Inka. Dia adalah Dimas, mahasiswa semeter akhir yang ngekos disebelah kontrakannya. Dimas yang membantunya untuk mengantar pesanan untuk beberapa pelanggan.

"Gimana Dim, pesanan Pak RT sudah kamu follow up?" tanya Inka.

Dimas mengangguk, lelaki itu membuka kulkas dan menegak soda. "Sudah, capek banget bulak-balik," keluh Dimas.

Inka tersenyum, Ia sudah menganggap Dimas adiknya karena Ia merasa senasib. Dimas anak yatim piatu, anak lelaki itu memberanikan diri ke Jakarta dengan modal beasiswa disalah satu Universitas Negeri.

"Sana makan siang dulu," ujar Inka.

Dimas langsung ngacir ke kontrakan milik Inka membuat Inka menggelengkan kepalanya.

Inka duduk, kakinya pegal. Mungkin efek kehamilan membuatnya mudah lelah.

"Mbak, ada telpon!" teriak Dimas dari dalam kontrakan.

Inka berjalan mendatangi ponselnya. "Siapa Dim?" tanya Inka.

Dimas menggeleng, "Gak tahu, gak ngomong dia padahal masih tersambung," jelas Dimas. Lelaki itu melanjutkan makannya yabg tertunda.

Inka mendekatkan ponsel ke telingannya. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Inka sopan. Siapa tahu pelanggannya yang menelpon karena memang usaha Inka menawarkan COD yang dibantu oleh Dimas sebagai kurir.

Diam sesaat, "Matiin aja mbak, orang iseng mungkin," ujar Dimas dengan mulut penuh.

Inka menatap tajam Dimas, "Telen dulu baru ngomong, keselek baru tahu rasa," omel Inka yang hanya dibalas cengiran oleh lelaki itu.

"Jika memang tidak ada yang dibicarakan bisa saya tutup," ujar Inka akhirnya.

Inka hendak menutup telponnya. "Eh tunggu,"ujar seseorang diseberang sana.

Inka mengerutlan kening, "Maaf saya berbicara dengan siapa?" tanya Inka formal.

Pria diseberang terkekeh. "Saya Sadam Gunawan, Apa benar saya berbicara dengan Nyonya Inka Pratiwi," ujar lelaki itu terkekeh.

Inka memutar bola matanya malas, "Ada apa?" tanyanya judes. Perut Inka tiba -tiba merasa bergejolak. Sepertinya bayinya juga mendengar suara Sadam.

Lelaki itu terkekeh,"Tunggu saya, saya masih ada kerjaan diluar kota membuat saya gila," cerita Sadam membuat Inka terkekeh.

"Tanpa kerjaan itu kau juga sudah gila," ujar Inka.

Inka yakin bahwa Sadam merenggut diseberang sana. "Saya ingin segera kembali," ujar Sadam.

"Pulanglah kalau begitu," ujar Inka langsung mematikan sambungannya.

Inka menatap ponselnya sembari tersenyum pelan, Ia seperti anak muda kasmaran.

Tidak.. tidak.. Inka langsung menggeleng.

"Fokus pada bayimu Inka," gumam Inka pada dirinya sendiri.

Fated to LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang