Bab 14 Move in (2)

39K 2.8K 22
                                    

Sadam merasa tak nyaman sepanjang rapat pasalnya Gita terus menatap Sadam membuat lelaki itu risih. Gita adalah mantan tunangannya dulu namun mereka memilih berpisah karena merasa tak mampu menjalani hubungan yang egois. Tak ada harmonisasi hanya ada perdebatan membuat Sadam yakin bahwa dirinya dan Gita memang tak bisa bersatu.

Kesepakatan telah dilakukan, hanya ada beberapa hal yang perlu ditinjau kembali. Ini sudah jam makan siang, Ia berencana menjemput Inka dari rumah neneknya dan memberikan Inka surprise.
Sadam malah tersenyum geli membayangkan wajah cengo Inka.

Lelaki itu bahkan tak sadar bahwa dirinya masih berada diruang meeting, Brenda sampai mengucek matanya melihat senyuman lebar Sadam sedangkan Gita merasakan kembali jatuh cinta pada Sadam. Lelaki ini tampak lebih dewasa dari saat mereka bersama.

"Sadam, bisa kita makan siang bersama?" tanya Gita.

"Maaf buk Gita, saya sudah ada janji lebih dulu," jelas Sadam dengan bahasa formalnya.

Brenda diam diam tersenyum melihat penolakan Sadam untuk Gita. Rasain, gumam gadis itu dalam hati.

"Brenda hari ini saya tak akan kembali kekantor," ujar Sadam.

Ternyata benar, Sadam memang ada janji. Brenda sedikit worry jika bosnya ini berhasil kepincut dengan Gita, wanita itu tampak memuja Sadam. Pokoknya Brenda gak boleh kalah!

"Baik pak,"

Sadam berjalan meninggalkan Gita yang menatap lelaki itu sendu, Gita menyesal telah memutuskan berpisah dengan Sadam dulu. Memang tak akan ada lelaki sebaik Sadam.

Sadam mengemudikan mobilnya, Ia memang tak memiliki supir pribadi karena Ia tak suka namun sekarang Ia akan memikirkannya. Ia akan menambah asisten rumah tangga dan supir terutama untuk keperluan Inka.

"Kamu sudah siap?" tanya Sadam. Lelaki itu mengecup  kening Inka. Kegiatan baru setelah mereka bersuami istri.

Inka terdiam menimang, haruskan Ia salim pada Sadam. Setelah berbagai macam pergolakan dalam batinya, akhirnya Inka mengambil tangan Sadam memberikan salim untuk pertama kalinya selain pada saat prosesi pernikahan.

"Kok pulangnya cepet? kamu bolos ?" tanya Inka pada Sadam.

Dengan jujur Sadam mengangguk, "Iya, kebetulan gak ada kerjaan yang terlalu daripada saya nganggur lebih baik saya menggunakan waktu dengan baik bersama istri dan anak saya kan," jelas Sadam.

"Aduh papa lupa nyapa putri cantik papa," ujar Sadan pada perut Inka.

Putri?

"Putri?" tanya Inka, Ia bahkan belum tahu jenis kelamin anaknya.

"Firasat seorang Papa,"jelas Sadam membuat Inka terkekeh. Ia mengelus kepala Sadam yang sejajar dengan, perutnya.

"Iya papa" ujar Inka menirukan suara anak kecil.

Sadam mendongak, Ia menatap kearah Inka. "Coba bilang lagi, bilang lagi," tagih Sadam.

Inka menggeleng terus menerus. "Ayo bilang lagi, kayak tadi itu, Iya Papa gitu," tagih Sadam mengejar Inka yang sudah masuk ke dalam rumah.

Inka menggeleng kepalanya, Ia menutup mulutnya dan menjauhi Sadam membuat Sadam tersenyum jahil. "Ok, berarti panggil aku Papa sekarang," ujarnya.

"Bodo amat," teriak Inka dari dalam kamar. Sadam benar benar tahu bagaimana menggoda Inka hingga membuatnya tak bis berkata kata.

"Mama sudah siap?" tanya Sadam sembari menahan kekehannya. Inka bersiap melayangkan cubitan pada perut Sadam namun lelaki itu malah berlari.

"Sadam sini kamu," teriak Inka. Sadam membuat sikap kalemnya hilang entah kemana. Mengapa lelaki itu sangat jahil. Inka harus mengelus dadanya. "Sabar,"gumam Inka pada dirinya.

"Mama... mamama.... mamama," lelaki itu malah bersenandung riang membuat kuping Inka panas. Ia malu.

Inka memilih diam, Ia bersiap akan membawa pakaian yang sudah di packing tadi. "Sini papa yang bawa," ujar Sadam lagi.

"Aduh," pekik Sadam saat Inka berhasil mencubit perut ratanya.

****
Perjalan dari rumah nenek menuju kerumah Sadam -Inka hanya memakan waktu lima belas menit. "Ini rumah siapa?" tanya Inka.

eh iya , Inka lupa bahwa rumah Sadam tepat berada didepan kontrakannya.

"Aku mau kekontrakan dulu, ngambil barang sekalian ngecek. Sudah hampir seminggu aku tinggalin," jelas Inka.

Sadam mengangguk berpura -pura membaca ipad-nya. "Satu.. Dua .. Tiga," hitungnya dalam hati.

Inka kembali ke rumah dengab wajah panik, "Sadam, Sadam. Kayaknya kontrakan aku dirampok," jelas Inka dengan suara terhengah. Sadam merasa dirinya keterlaluan.

"Enggak sayang, Semua barang barang kamu udah Dimas pindahin kerumah ini" jelas Sadam membuat Inka bernafas lega.

"Untung saja," gumam Inka terduduk di sofa lega.

Sadam melihat wajah shock ini merasa bersalah. Ia tak menyangka Inka akan sekaget ini, padahal yang Ia bayangkan Inka dengan wajah cengo dan panik.

"Maafin saya," ujar Sadam duduk disebelah Inka.

Wanita itu tersenyum "Tak apa, aku aja yang emang berlebihan," ujarnya.

"Enggak,"

"Saya dulu kalau naik taksi sama kayak kamu tadi panik dan shock,"cerita Sadam.

"Bahkan supir taksinya pernah bilang saya lebay,"

Inka menoleh ke Sadam. Lelaki itu tersenyum menceritakan kelemahannya "Namun sekarang saya sudah bisa melawannya. Saya bisa naik taksi tanpa harus tampak ketakutan," ujar Sadam.

Inka mengingat wajah Sadam saat mengantarnya pulang dari rumah sakit. Pantas saja saat itu lelaki itu diam dan bahkan beberapa kali meremas tangannya. Inka menjadi orang paling tak peka karena tak menyadari kecemasan Sadam.

"Maafin aku, saat itu tak peka bahwa kamu cemas," Inka menundukan Kepalanya.

Sadam memeluk Inka. "Tak apa, lain kali kamu harus lebih peka terhadap perasaan saya," jelas Sadam. Inka hanya mengangguk.

Duggg.

"Lihat Inka. Anak kita setuju dengan ucapan saya," pamer Sadam saat merasakan tendangan lagi dari perut.

Inka hanya tersenyum sembari menahan ringisannya. Anaknya akan sangat aktif jika berada didekat Sadam.

Fated to LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang