Bab 12 The Wedding

45.7K 3.1K 10
                                    

Sadam sudah rapi, lelaki itu duduk sembari memainkan hpnya. Ia sedang menunggu Inka yang bersiap-siap. Sadam akan memperkenalkan Inka kepada neneknya, Ibu dari ayahnya.

Sadam melihat Inka yang sangat cantik dengan dress  bermotif bunga, Dress itu membuat aura keibuan dari calon istrinya terpancar.

"Ayo," Sadam menggenggam tangan Inka erat. Wanita itu tersenyum hangat merasakan tangan hangat Sadam.

"Kita kemana?" tanya Inka akhirnya. Ia penasaran.

"Ketemu nenek," jelas Sadam singkat.

"Oma Elisye?"

Sadam menggeleng, Nenek yang lainnya? Deg... Tiba-tiba tangan Inka mendingin. Ia memang akan mengalami seperti ini jika bertemu dengan orang baru. Apakah nenek Sadam yang ini menerimanya?

Inka diam, "Sadam, apa nenekmu menerimaku?" tanya Inka.

Sadam malah tersenyum, "Jika nenek tak setuju, aku akan melawannya," kekeh Sadam santai.

Inka meneguk ludahnya susah payah. mobil Sadam sampai dirumah besar sederhana berbeda dengan rumah Oma Elisye yang mewah dan megah.

Sadam membukakan pintu untuk Inka, "Masuk," pinta Sadam.

Inka mengikuti Sadam masuk, Disana seorang wanita tua sedang memasang hiasan pada dinding tembok. Inka terkejut melihat nenek tua yang masih enerjik itu.

"Nek itu terlalu miring ke kanan," jelas Sadam dengan santai.

Wanita itu menoleh, Ia tersenyum senang saat melihat wajah Sadam. "Apa kabar cucu nakal nenek?" tanya Nenek itu sembari memukul lengan Sadam.

"Duduk dulu nenek tua, Sadam mau minta restu." ujar Sadam santai.

Weni, nenek Sadam menaikan alisnya. Ia kemudian menyadari makhluk mungil tepat dibelakang tubuh Sadam.

"Dengan dia?" tunjuk Weni, Sadam mengangguk.

Weni menatap Inka naik turun. Tangan Inka sudah meremas kemeja Sadam gugup. Terlebih lagi tatapan tajam Nenek itu kepadanya seolah menilai Inka dari atas ke bawah.

"Sudah hamil?" tanya Nenek Weni.

"Sudah mau lima bulan," jelas Sadam.

Weni menatap Inka, "Saya tanya kamu bukan Sadam."

Inka tertunduk, jujur saja setelah sekian banyak penolakan yang Ia dapat dihidupnya membuat Inka memiliki percaya diri rendah. Ia bahkan malu dan gugup untuk bertemu dengan orang baru.

"Iya," cicit Inka akhirnya.

"Sudahlah nek, jangan terlalu keras kepadanya. Dia lagi hamil," Sadam segera duduk. Ia kasihan pada Inka yang ketakutan ditambah dengan kemejanya yang diremas sejak tadi.

"Siapa namamu?" tanya Weni.

"Inka nek,"

"Ayah? Ibu?" tanya Weni lagi.

Inka menggeleng, pertanyaan ini sudah biasa Ia dengar sejak dulu ketika Ia mengunjungi rumah teman ataupun mantan pacarnya. "Saya tak punya ibu dan ayah nek," jelas Inka.

"Sudah meninggal?"

"Saya dibesarkan di panti," jelas Inka tersenyum meski rasanya begitu getir.

Weni menatap Inka lama, wanita didepannya tampak gugup. Ia bahkan sesekali meremas dress-nya. Weni tersenyum mengelus rambut Inka.

Inka mendongak menatap nenek Weni tersenyum hangat padanya. Hati Inka menghangat, Ia tak ditolak, nenek Sadam menerimanya. Weni menanggup kedua pipi Inka.
"Tak usah gugup, saya yakin dan percaya pada pilihan Sadam," jelas Weni.

Air mata Inka mengalir, sesak yang sejak tadi Ia tahan hilang entah kemana. Ia lega benar-benar lega. Ia menatap Sadam yang juga menatapnya. Lelaki itu mengangguk pada Inka.

"Cepatlah menikah, aku tak mau calon cicitku lahir diluar nikah," ujar Nenek. Wanita paruh baya itu bangkit.

Inka seketika merasa bersalah bagaimana kalau Nenek tahu bayi dikandungannya bukan anak Sadam melainkan Arthur cucu menantunya yang lain.  "Nenek," panggil Inka.

"Sebenarnya ini bukan anak Sadam," jujur Inka membuat Sadam melotot dan Nenek menghentikan langkahnya.

"Apa??"

***

Inka tampak cantik dengan gaun putih gading yang senada dengan warna jas milik Sadam. Dress yang dibuat khusus untuk dirinya bahkan tak akan ada yang menyadari perut buncit miliknya.

Arthur datang bersama dengan Isabel, perut Isabel nampak sudah sedikit membuncit. Inka hanya terbengong. Bayangan bertemu dengan Arthur dipertemuan terakhir mereka masih mengahantuinya.

"Selama Kak Sadam, Kak Inka," ujar Isabel riang. Ia memang tak tahu jika Inka adalah mantan kekasih Arthur.

"Makasih Isa," ujar Inka

Arthur lelaki itu tersenyum namun sebagai orang yang pernah bersama Arthur. Inka tahu bahwa senyum lelaki itu tak tulus, Arthur memang sedang memainkan peran bahwa lelaki itu tak mengenalnya.

Arthur dan Isabel turun dari panggung sedangkan Sonya ibu Arthur menatap Inka terkejut. Ia tak menyangka bahwa mantan pacar Arthur menikahi Sadam.

"Tangkapan bagus," bisik Sonya membuat senyum Inka terhenti.

"Saya pikir kamu bisa dapat wanita lebih dari pada dia," ujar Sonya pada Sadam.

Sadam malah tersenyum miring, "Saya rasa juga begitu," ujar Sadam membuat Sonya tersenyum pongah pada Inka sedangkan wanita itu tertunduk.

"Saya rasa Isabel bisa dapat yang lebih baik dari Arthur," lanjut Sadam.

"Maksud kamu apa?" tanya Sonya jengkel pada Sadam.

"Lalu maksud tante apa?" Bukan menjawab Sadam malah balik bertanya.

Sonya geram denga sikap menyebalkan Sadam langsung berbalik. Wanita patuh baya itu langsung bergabung dengan besannya.

Sadam menggeleng dengan tingkah mertua Isabel. "Memilih kamu adalah pilihanku, kelebihan dan kekuranganmu juga pilihanku," bisik Sadam menggengam tangan Inka erat.

"Terimakasih,"cicit Inka.

Ia benar-benar sesak sejak tadi, pasalnya tatapan orang-orang kepadanya. Ia tak pernah berhadapan dengan orang sebanyak ini. Ia selalu berfikir bahwa tak ada diruangan ini yang menyukai keberadaannya.

Pernikahan Sadam dan Inka dilaksanakan sederhana, dikediaman Nenek Weni karena permintaan wanita tua itu. Yang hadirpun hanya keluarga dekat mereka.

Inka menyukai ide nenek Weni namun tidak dengan Sadam. Lelaki itu banyak berdebat saat persiapan pernikahan, mengingat itu membuat Inka tersenyum.

"Ngapain senyum senyum hmm?" tanya Sadam dudum disebelah Inka.

Acara sudah selesai, Inka dan Sadam baru saja selesai membersihkan diri. "Ingat wajah bete kamu waktu konsep pernikahan dirubah semua sama nenek," jelas Inka tertawa hingga matanya menyipit satu.

Inka sudah mulai rileks dan banyak tersenyum di depan Sadam. Sifat aslinya yang jahil sudah kelihatan membuat Sadam senang bahwa Inka merasa nyaman dengan keberadaannya.

"Jahil banget," Sadam memencet hidung Inka hingga merah.

Bukannya marah, Inka malah makin tertawa membuat Sadam gemas melayangkan kecupan kecupan di wajah Inka.

Satu hal yang Sadam ketahui, meski jutek dan kadang cuek. Inka sangat tidak mudah marah.

"Sayang kamu," gumam Sadam

Tawa Inka terhenti, Ia menatap dalam Sadam yang juga menatapnya. Sadam mendekat mengecup bibir Inka dalam.

Fated to LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang