Inka sudah menghubungi Dimas mengatakan bahwa Ia tak kembali ke kontrakan hari ini. Ia juga berpesan agar Dimas mengantar pesanan besok ke rumah bu RT dan Bu Lurah.
"Inka, ayo makan malam" panggil Oma.
Inka mengangguk, wanita itu tampak anggun dengan dress milik ibu Sadam. "Melihatmu memakai dress itu membuatku seperti melihat Elisa," kenang Oma.
Elisa putri kecilnya, Oma menangis mengingat Elisa. Inka menghapus pelan air mata oma. Wanita itu memeluk Oma erat. "Tante Elisa sudah bahagia disana oma," ujar Inka.
Oma memgangguk kemudian mengurai pelukannya. Sadam melihat Inka tak memungkiri bahwa Inka memang secantik mamanya.
"Cantik," puji Sadam secara tak Sadar.
Inka yang mendengar itu tak sengaja menoleh, Oma Elisye malah memberikan senyuman menggoda pada kedua orang itu.
Mereka bertiga beriringan menuju meja makan. Sadam duduk disebelah Inka. Lelaki itu meminta Inka untuk mengambilkannya nasi dan lauk. "Saya mau ayam itu," tunjuk Sadam.
Lelaki itu menunjuk dada ayam yang tersaji di piring, Inka hanya menggeleng. Sadam memang tak terlalu menyukai paha ayam kata lelaki itu berkeringat.
"Kamu kan suka ini, makan yang banyak," ujar Sadam sembari meletakan sebuah paha ayam di piring Inka.
Mereka makan dengan tenang, Inka menatap Sadam yang juga menatapnya. Entah mengapa Ia merasa deg-degan, pipinya memerah tak kala tak sengaja saling pandang dengan Sadam.
"Gimana kantor?" tanya Oma pada Sadam.
"Baik Oma," jawab menjawab sembari meminum air putihnya.
Oma Elisye mengangguk, "Kata Sadam, kamu buka ruko ?"
Inka mengangguk, "Iya Oma, kecil-kecilan," jelas Inka
***Oma sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar, kini tersisa Inka dan Sadam yang masih duduk didepan TV.
Sadam nampak terbengong, Ia masih meyakinkan dirinya apakah dia pantas menjadi seorang Chairman. Entah dari mana keberanian tadi, Ia hanya kesal pada Om Ferdi yang bertindak sesukanya.
Inka menepuk pundak Sadam, "Are you okay?" ujar Inka.
Sadam menoleh dan terlekeh, "Saya hanya khawatir,"cerita Sadam.
"Untuk?"
"Tanggung jawab besar dipundak saya," jelas Sadam. Inka menepuk pundak Sadam.
"Entah ini keyakinan dari mana tetapi saya yakin seyakin yakinnya kamu mampu," ujar Inka.
"Makasih," Sadam tersenyum, lelaki itu memegang tangan Inka yang berada di pundaknya. Mereka saling tatap, Sadam mendekat hingga Cup. Sadam mencium Inka membuat wanita itu terkejut. Dengan cepat Inka bangkit dan meninggalkan Sadam yang terkekeh melihat wajah memerah Inka.
"Astaga," gumam Inka sembari memegang bibirnya yang tadi dikecup Sadam. "Inka sadar, sadar" wanita memukul pelam kepalanya.
Inka merasakan pipinya memanas, Ia tak yakin seberapa merah pipinya saat ini. Inka memegang jantungnya yang berdegub berkali lipat lebih cepat. "Ada apa denganku?" tanya Inka pada dirinya sendiri.
"Sadam sialan," gumam Inka. Kenapa lelaki itu membuat perasaanya tak menentu. Ia merasakan seperti jatuh cinta lagi. Tidak! ini terlalu cepat. Inka belum siap untuk kehilangan lagi terlebih dengan kondisinya seperti ini.
Inka memutuskan untuk memejamkan matanya, Kilasan kata-kata buruk Ibu Arthur kembali melayang di dalam pikirannya. Inka terbangun, kenapa bayangan itu muncul lagi? Inka kembali menangis. Air matanya mengalir, suara isakannya menyayat hati.
Meski selalu tampak kuat sebenarnya Inka berusaha mengubur dalam luka hatinya pada Arthur. Bagaimanapun juga lelaki itu yang pernah sangat Ia andalkan. Ternyata benar kata orang jangan terlalu mengantungkan diri pada orang lain.
Suara isakan membuat Sadam yang hendak mencari minum menajamkan pendengarannya. Awalnya Ia pikir hantu atau kunti tetapi Ia mendekat ke kamar tamu suaranya berasal dari sana. Mata Sadam melebar. Itu tangisan Inka.
Ia membuka pintu dengan tergesa, Inka terduduk di kasur sembari memeluk tubuhnya sendiri. "Inka," panggil Sadam. Lelaki itu langsung memeluk Inka.
"Saya masih sakit hati Sadam," ujar Inka pada lelaki itu. Inka menangis dalam pelukan Sadam.
"Arthur lelaki itu... Jahat," rancau Inka.
Sadam hanya diam, Ia membiarkan Inka mengeluarkan amarahnya, tangisannya. Setelah beberapa menit Inka berangsur tenang.
Sadam memegang kedua pundak itu, "Arthur lelaki itu bahkan tak mengakui anak yang saya kandung, padahal... padahal," perkataan Inka tercekat.
"Inka, listen to me!" pinta Sadam menatap Inka dalam. "Jika Arthur memang tak mengakui anak itu, tak menginginkan anak itu. Saya siap dan saya mau jadi ayah anak itu karena sejak awal melihatnya di layar saya sudah langsung jatuh cinta pada bayi itu," jelas Sadam.
Inka diam, wanita itu menggeleng. Terlalu sering dikecewakan membuatnya susah untuk mempercayai lagi. "Kamu bisa keluar, saya ingin istirahat," ujar Inka dingin.
Sadam menghela nafas, lelaki itu bangkit dan mengelus perut Inka sayang. "Istirahatlah," ujar Sadam.
***
Sadam menatap Inka yang masih diam. Hubungan mereka merenggang. Inka seolah-olah menghindari percakapan dengannya bahkan wanita itu akan menjawab singkat pertanyaan Sadam.
"Inka," panggil Sadam saat mobil milik lelaki itu sampai didepan kontrakan Inka bahkan Inka yang biasanya protes saat mobil mewah Sadam mengantarnya hanya diam.
"Makasih," wanita hamil itu berjalan tanpa menoleh membuat Sadam kembali menghela nafas.
Ia langsung menjalankan mobilnya. Hari ini Ia harus kekantor untuk mengurus beberapa hal sebelum pelantikannya sebagai Chairman. Ia akan super sibuk.
Inka diam-diam menatap mobil Sadam yang menjauh, Ia mengelus perutnya. Ia takut, sangat takut kecewa sekali lagi.
Inka memejamkan matanya, perasaanya tak karuan. Ia bahkan bingung mengidentifikasi apa yang sedang Ia rasakan hari ini.
"Mbak udah pulang?" tanya Dimas hanya dibalas anggukan oleh Inka.
Dimas mengindikan bahunya, Ia membuka daftar pesanan yang harus Ia hantar hari ini.
Matanya tak sengaja menoleh kearah kontrakan Inka. mata lelaki itu melebar dan segera berlari. "Mbak ngapain?" tanya Dimas dengan nada panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated to Loved
RomantizmFollow dulu sebelum baca 😁 ** Inka mengandung anak dari kekasihnya namun lelaki itu tak mengakui dan malah menuduh Inka berselingkuh. Inka hancur ditambah dengan fakta bahwa sang kekasih menikahi wanita lain yang juga mengandung anak dari lelaki i...